3 Cara Maskapai Indonesia Memenangkan Loyalitas Wisatawan Muda
(Baliekbis.com), Dalam beberapa bulan belakangan, berbagai maskapai penerbangan lokal Indonesia berfokus untuk menurunkan harga tiket. Namun, untuk mendapatkan pangsa pasar lebih besar, cara tersebut tidak cukup. Maskapai lokal harus mengubah pendekatan dan merevolusi program loyalty pelanggan, agar dapat menarik generasi wisatawan yang lebih muda. Pendekatan inilah yang diajukan oleh perusahaan penyedia teknologi pariwisata, Amadeus.
Menurut riset terbaru dari Amadeus, tercatat bahwa lebih dari sepertiga populasi di Indonesia berusia di bawah 20 tahun. Artinya, 35% masyarakat Indonesia sebentar lagi akan memasuki usia produktif dan memiliki pendapatan tetap yang dapat digunakan untuk berlibur. Ikatan Cendikiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) memprediksi bahwa jumlah wisatawan Indonesia yang berlibur ke luar negerti akan mencapai lebih dari 10 juta orang pada tahun 2019 – sebuah rekor tertinggi sepanjang sejarah. Hal ini juga disebabkan karena harga tiket penerbangan internasional yang kompetitif dibandingkan dengan penerbangan domestik.
“Memang saat ini fokus utama masyarakat adalah harga tiket penerbangan domestik. Namun, maskapai Indonesia juga tidak boleh melupakan investasi jangka panjang berupa program customer loyalty. Saat ini, Generasi Y dan Z adalah segmen travel yang mengalami pertumbuhan paling cepat di Asia Pasifik. Walaupun sebelumnya pendekatan tradisional seperti reward-based loyalty telah berhasil diterapkan pada generasi sebelumnya, loyalitas generasi yang lebih muda hanya dapat diperoleh melalui experience,” tutur Cyril Tetaz, selaku Executive Vice President Airlines Asia Pacific Amadeus.
Untuk membantu mengembangkan pendekatan ini, Amadeus mengusulkan tiga rekomendasi bagi maskapai Indonesia untuk memperoleh loyalitas dari wisatawan generasi muda:
- Menggunakan Data untuk Pelayanan yang Lebih Personal
Di era seperti sekarang, pendekatan standar one-size-fits-all sudah tidak cocok dengan segmen pasar anak muda. Sebaliknya, maskapai lokal harus menawarkan layanan yang sesuai dengan preferensi dan kebutuhan pelanggan, agar mereka setia dengan brand tersebut.
“Kita harus memahami pola pengeluaran dan perjalanan pelanggan, terutama para anggota program loyalty. Untuk itu, kita harus menggunakan data-data ini untuk mengantisipasi kebutuhan mereka. Karena, walaupun destinasinya sama, tentu kebutuhan dari tiap pelanggan berbeda-beda,” kata Tetaz.
“Salah satu contohnya adalah wisatawan bisnis. Mereka sangat mementingkan jadwal dan ketepatan waktu terbang. Mereka rela membayar lebih mahal jika bisa menghadiri meeting dengan tepat waktu. Namun, ketika pulang dari perjalanan bisnis, tipe wisatawan ini mungkin akan memprioritaskan waktu tempuh yang paling singkat, karena mereka ingin segera beristirahat dan berkumpul bersama keluarga,” tambahnya.
“Sebagai perbandingan, orang tua yang berlibur dengan tiga anaknya mempunyai prioritas yang berbeda. Mereka ingin perjalanan yang mudah dan praktis. Mereka mungkin lebih membutuhkan bagasi ekstra dan pengaturan nomor kursi yang nyaman, dibandingkan mendapatkan akses ke longue atau upgrade kursi,” ungkap Tetaz.
Berita baiknya, wisatawan Indonesia lebih terbuka untuk membagikan data pribadi mereka, asalkan mereka bisa mendapatkan layanan pariwisata yang lebih sesuai dengan kebutuhan. Menurut Riset Journey of Me yang diterbitkan Amadeus, empat dari lima orang Indonesia (79%) bersedia untuk memberikan data pribadi jika mereka bisa mendapatkan reward dan tawaran spesial untuk menerima perlakuan khusus. Angka ini lebih tinggi daripada rata-rata wisatawan di Asia Pasifik, dimana hanya 64% yang bersedia.
- Mengantisipasi Kebutuhan Pelanggan
Untuk meningkatkan loyalitas dan kepuasan pelanggan, Tetaz menyarankan maskapai penerbangan lokal untuk memberikan pelayanan lebih di setiap tahap perjalanan.
“Di hari keberangkatan, petugas maskapai akan berinteraksi langsung dengan pelanggan. Mereka bisa mendapatkan komentar atau masukan langsung dari apa yang diinginkan oleh pelanggan. Selain itu, maskapai juga bisa memberikan informasi penting yang berguna, misalnya prediksi ramalan cuaca. Dengan begitu, para pelanggan bisa mengantisipasi kemungkinan terburuk,” kata Tetaz.
“Sebenarnya, mereka tahu bahwa selalu ada kemungkinan terjadinya keterlambatan atau pembatalan penerbangan. Tapi, jika maskapai bisa memberikan respon yang baik, maka hal ini bisa memperbaiki kepuasan pelanggan. Oleh karena itu, staf maskapai juga harus dibekali dengan teknologi cukup, agar mereka bisa mengevaluasi isu yang terjadi dan melakukan booking ulang jika diperlukan,” tambahnya.
Amadeus juga menyarankan penggunaan data kontekstual untuk memberikan kejutan bagi pelanggan, agar maskapai dapat membangun interaksi dengan pelanggan. Misalnya saja, mereka bisa menawarkan hadiah khusus di hari ulang tahun pelanggan, mengirimkan rekomendasi tempat wisata baru yang cocok, atau meng-upgrade kelas kursi dari pelanggan setia. Hal-hal inilah yang akan membuat program customer loyalty menjadi efektif untuk menarik generasi muda.
“Untuk mewujudkan ini, tentu saja maskapai penerbangan harus didukung dengan teknologi canggih yang dapat menangkap, menganalisis, dan menindaklanjuti data pelanggan dalam volume besar secara real time. Teknologi baru dan kemitraan strategis dapat membantu pelanggan untuk mendapatkan pengalaman wisata terbaik,” kata Tetaz.
- Tingkatkan Frekuensi Interaksi di Luar Kanal Wisata
Dibandingkan negara-negara lain di Asia Pasifik, jumlah anggota frequent flyer di Indonesia cenderung rendah. Oleh karena itu, akan lebih baik bagi maskapai penerbangan Indoensia untuk memperkuat interaksi dengan pelanggan di luar kanal wisata.
“Maskapai penerbangan Indonesia perlu bekerja sama dengan perusahaan yang lebih sering berinteraksi dengan pelanggan, misalnya SPBU. Virgin Australia telah sukses menjalankan kemitraan ini dengan BP di Australia; dimana frequent flyer Virgin Velocity bisa mengumpulkan poin di setiap pom bensin BP, sehingga interaksi mereka pun bisa bertambah,” kata Tetaz.
Amadeus juga berharap maskapai Indonesia bisa menawarkan reward poin berupa pengalaman atau experience, agar mereka bisa memaksimalkan spending power generasi Z yang diprediksi mencapai USD 143 milyar.
Salah satu contoh kasus yang berhasil adalah program Marriott’s Moment. “Anggota Marriott bisa menukar reward mereka dengan experience yang tidak terlupakan, mulai dari berkemah di Coachella, menginap di villa mewah di Bali, hingga menikmati makan malam di restoran Michelin. Ini bisa jadi contoh yang baik untuk maskapai-maskapai di Indonesia,” kata Tetaz.
“Saat ini, industri pariwisata di Indonesia mulai mencapai titik mature. Pelanggan tidak hanya melihat harga. Karena itu, maskapai-maskapai lokal harus berinvestasi untuk memperbaiki program loyalty pelanggan, agar mereka tetap bisa bersaing dengan efektif di masa depan,” ungkapnya. (ist)