Subak Harus Dipromosikan dengan Benar
(Baliekbis.com), Dalam rangka mendukung pengembangan pemasaran pariwisata mancanegara Jumat lalu Konsorsium Riset Pariwisata Universitas Udayana/Unud bekerja sama dengan Kementerian Pariwisata menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Strategi Pemasaran Pariwisata Berbasis Subak di Bali untuk Wisatawan Mancanegara” dengan mengambil kajian daya tarik wisata Jatiluwih Tabanan, bertempat di Ruang pertemuan Bali Tourism Board/GIP Bali, jalan Raya Puputan Denpasar. FGD dibuka oleh Kadis Pariwisata Provinsi Bali yang diwakili oleh Ibu Andriani. Peserta FGD terdiri dari berbagai unsur antara lain; Perwakilan Kementerian Pariwisasta RI, Sekretaris Bali Tourism Board I Gede Nurjaya, Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Bali yang juga selaku Ketua PHRI Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace), Praktisi Pariwisata/Ketua PHRI Tabanan I Gst Bagus Damara, Disbudpar Tabanan I Wayan Widiatmaja, Bappeda Tabanan I Wayan Loter, Perbekel Desa Jatiluwih I Nengah Kartika, Ketua Operasional DTW Jatiluwih I Nengah Sutirtayasa, Travel Agen, Asosiasi, akademisi serta pemerhati pariwisata lainnya.
Dalam pengantar FGD, Ketua Konsorsium Riset Pariwisata Universitas Udayana, AA. Suryawan Wiranatha, MSc, PhD., memaparkan kegiatan FGD kali ini merupakan kegiatan yang kedua kalinya, sebelumnya FDG sudah dilakukan melibatkan masyarakat subak dengan mengambil tempat di Jatiluwih. AA. Suryawan Wiranatha menambahkan, diangkatnya kajian daya tarik wisata Jatiluwih sebagai model mengingat daya tarik wisata subak di Jatiluwih sudah cukup dikenal di mancanegara, terlebih Jatiluwih telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai kawasan Warisan Budaya Dunia (WBD. Kadis Pariwisata Provinsi Bali dalam sambutan tertulisnya mengatakan, melalui FGD ini diharapkan adanya komunikasi lintas pelaku sehingga bentuk-bentuk promosi pariwisata berbasis subak semakin terbuka dan konpersif serta dapat dihasilkan rumusan-rumusan penting yang nantinya dapat dijadikan pedoman dalam menyusun strategi promosi pariwisata berbasis subak. Ditegaskan, “Walau Bali sudah dikenal dengan sistem subaknya di mancanegara, namun daya tarik pariwisata subak harus tetap dipromosikan dengan strategi dan cara-cara yang benar,” tegasnya.
Pada kesempatan ini Cok Ace mewakili BPPD Bali memberi masukan, berbicara pemasaran pariwisata subak, adanya sistem rilegi dan sistem sosial membuat budaya subak mendapat pengakuan dari UNESCO, artinya strategi pemasaran pariwisata subak harus berbicara “diferensiasi” (perbedaan). Sistem relegi dan sistem sosial dalam budaya subak merupakan kekuatan, selama ini promosi baru menyentuh wilayah “palemahan” (hamparan-red). Kedepan promosi pariwisata berbasis subak harus mampu menyentuh dan menjelaskan sistem relegi dan sistem sosial yang menjadi kekuatan dan daya tarik subak. “Kedepan wisatawan tidak hanya melihat-lihat saja, tetapi bisa terlibat langsung dalam aktivitas subak, persoalannya bagaimana kita mengkemas,” terang Cok Ace.
Selanjutnya peserta FGD lainnya banyak mengkaji dan memberi pandangan terkait permasalah dan kendala yang terjadi selama menangani paket wisata subak. Seperti dikatakan oleh Koordinator DTW Jatiluwih I Nengah Sutirtayasa, selama ini di Jatiluwih wisatawan umumnya baru sebatas melihat-lihat saja dilanjutkan dengan makan siang. Namun belakangan ini kami sudah mulai melakukan sosialisasi dan pembinaan ke petani dan masyarakat lokal terkait dengan informasi dan nilai-nilai budaya subak, jelas Sutirtayasa. Lebih jauh dari hasil kajian pariwisata subak selama ini, khususnya Jatiluwih, AA. Suryawan Wiranatha mengatakan, faktor kebijakan dan kepastian hukum menjadi sesuatu yang sangat mendesak dan mendasar. Selama ini ketidakjelasan hukum dan kebijakan menyebabkan adanya berbagai benturan dan kendala pengelolaan, paparnya.
Khusus untuk DTW Jatiluwih, sekretaris BTB I Gede Nurjaya yang juga mantan Kadis Pariwisata provinsi Bali ini mengatakan, melestarikan subak merupakan pekerjaan yang berat, untuk DTW Jatiluwih terlebih setelah ditetapkan sebagai kawasan WBD jangan sampai setelah terkenal dan banyak tamu yang datang malah membebani kawasan ini. Termasuk soal sarana dan prasarana, misalnya perluasan areal parkir, kita jangan selalu berpikir saat “high season” saja, bagaimana kalau “low season”, hal itu perlu dikaji lebih lajut. “Saya berharap bagaimana Jatiluwih tetap menarik tanpa banyak merubah kawasan,” tandas Nurjaya.
Selain hal-hal diatas, soal strategi media, informasi dan komunikasi dalam memasarkan pariwisata berbasis subak juga masih perlu dibenahi. Ada pendapat paket wisata berbasis subak termasuk paket wisata minat khusus dan kedepan perlu dikembangkan model pemasaran yang terintegrasi. Konsorsium Riset Pariwisata Universitas Udayana akan merangkum hasil FGD ini, selanjutnya akan digunakan sebagai acuan dalam menyusun strategi pemasaran pariwisata berbasis subak dengan cara-cara yang benar sesuai dengan potensi wilayah, nilai spiritual dan sistem sosial budaya yang ada di Bali. (ist)