Rapimnas HIMKI di Bali: Adanya Kebijakan Kontraproduktif Membuat Industri Mebel dan Kerajinan Kurang Berkembang
(Baliekbis.com),Adanya kebijakan yang kontraproduktif membuat industri mebel dan kerajinan Indonesia kurang berkembang. Seperti adanya sistem verifikasi dan legalitas kayu (SVLK) yang diberlakukan pemerintah.
“Hal ini membuat harga bahan baku bagi industri kayu tak kompetitif dibanding pesaing kita seperti Malaysia dan Vietnam. Karena untuk mengurus SVLK dan beberapa izin pendukungnya membutuhkan biaya yang sangat besar,” ujar kata Ketua Umum HIMKI (Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia) Ir. Soenoto didampingi Sekjen HIMKI Abdul Sobur di sela-sela Rapimnas HIMKI di Kuta, Kamis (25/7/2019).
Untuk itu, tambah Soenoto kalangan pengusaha yang bergerak di sektor industri mebel dan kerajinan yang tergabung di HIMKI telah meminta agar pemerintah menghapus pemberlakuan SVLK untuk industri mebel dan kerajinan. Penerapan kebijakan SVLK berdampak pada tidak maksimalnya kinerja ekspor nasional mengingat rumit dan mahalnya pengurusan dokumen tersebut. Padahal saat ini industri mebel tengah bersaing ketat dengan pelaku industri mebel mancanegara seperti Malaysia, Vietnam, China dan negara-negara produsen di kawasan Eropa dan Amerika.
Masalah lain yang dibahas di Rapimnas HlMKl yang anggotanya sekitar 3 ribuan adalah masih adanya pihak-pihak yang menginginkan dibukanya ekspor log dengan berbagai alasan. Mereka menginginkan ekspor log karena menganggap lebih praktis dan menguntungkan dcngan mengekspor bahan baku ketimbang ekspor barang jadi berupa mebel dan kerajinan.
Padahal, jika mengacu pada matrik pengembangan industri mebel dan kerajinan nasional mengenai pengamanan bahan baku sebagai jaminan penunjang utama terjadinya pertumbuhan industri, yang digagas HlMKl, maka adanya rencana membuka keran ekspor log harus dicegah karena bahan baku tersebut pada akhimya akan diekspor habis-habisan.
Seperti yang terjadi beberapa tahun lalu terhadap bahan baku rotan. “Ekspor bahan baku sangat bertentangan dengan program hilirisasi yang telah dicanangkan pemerintah,” tegas Soenoto.
Adanya desakan dibukanya kran ekspor log dan bahan baku rotan menimbulkan keresahaan bagi pelaku usaha yang bergerak di bidang barang jadi. Mengingat bahan baku kayu yang ada di Indonesia sangat dibutuhkan oleh para pelaku industri di dalam negeri. Bahkan saat ini sudah semakin susah untuk mendapatkan kayu yang berkualitas. Dengan demikian, apabila kran ekspor bahan baku dibuka akan terjadi penurunan daya saing industri di dalam negeri.
Ekspor kayu gelondongan (log) merupakan langkah mundur mengingat pemerintah telah menggalakkan hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah dan dampak berganda (multiplier effect). Ekspor kayu bulat hanya akan menguntungkan sebagian kecil pelaku usaha di bidang kehutanan, tetapi banyak pelaku usaha yang nilai ekspornya tinggi akan kekurangan bahan baku. Di sisi lain, kebijakan ekspor log bertolak belakang dengan kebijakan yang ditempuh banyak negara di dunia sebagai penghasil kayu gelondongan seperti Brasil, Amerika Serikat, Ukraina, Malaysia, dan lain-lain.
Di sisi lain Soenoto menegaskan Rapimnas HIMKI yang digelar di Bali mengangkat tema “Meningkatkan Daya Saing Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia dengan Memperbaiki Regulasi yang Menghambat Pertumbuhan Industri Nasional”.
Rapimnas bertujuan untuk pengembangan dan penguatan industri mebel dan kerajinan nasional yang meliputi keberlangsungan supply bahan baku dan penunjang, desain dan inovasi produk, peningkatan kemampuan produksi, pengembangan sumber daya manusia, promosi dan pemasaran, serta pengembangan kelembagaan agar dapat memberikan kontribusi nyata bagi industri mebel dan kerajinan nasional.
Soenoto menambahkan ekspor mebel dan kerajinan Indonesia tahun 2018 mencapai 2,5 miliar dolar atau setara dengan Rp35 triliun. Ekspor terbanyak ke Amerika. (bas)