Ketua BPPD Bangli: Mahalnya Biaya Tes Covid-19, Hambat Pemulihan Kunjungan Wisatawan ke Bali
“JANGAN bebani kami -pelaku sektor wisata yang sudah sekarat dengan syarat dan aturan yang terlalu ketat. Ini tamu yang berkunjung saja belum tentu banyak yang akan datang, apalagi ditambah dengan berbagai beban syarat seperti tes Swab PCR yang mahal. Harga tiket sudah mahal terus ditambah harga tes Covid-19 yang tinggi, siapa yang mau disuruh berwisata ke Bali,” ujar Pak Wayan S. -seorang sopir pariwisata yang kini berjualan makanan agar bisa menyambung hidup.
(Baliekbis.com),Pebisnis pariwisata yang juga GM Toya Devasya Hot Spring Waterpark Dr. I Ketut Mardjana mengatakan komponen pariwisata sangat mengapresiasi langkah pemerintah melakukan relaksasi di sektor pariwisata. Ini tentu bagaikan air hujan yang sangat diharapkan turun ketika musim kemarau berkepanjangan.
“Tiga bulan lebih pariwisata dan sektor kehidupan lain di Bali berhenti total. Pelaku sektor pariwisata seperti saya harus bertahan hidup dengan beban bulanan operasional seperti biaya listrik, iuran BPJS pekerja dan lain-lain. Sementara penghasilan tidak ada sama sekali, perputaran modal juga harus kami pikirkan di saat usaha wisata kami buka kembali,“ ujar Ketut Mardjana, Minggu (7/6/2020).
Toya Devasya Natural Hot Spring
Namun sayangnya kebijakan relaksasi itu masih diikuti berbagai syarat yang dirasakan sangat membebani seperti surat tes Swab PCR yang berbiaya mahal. Ini belum ditambah harga tiket pesawat yang juga masih mahal sehingga berlibur menjadi tidak feasible bagi wisatawan.
“Bali dominan tergantung pada wisatawan luar negeri namun sesuai keputusan pemerintah baru akan dibuka bulan Oktober 2020. Jadi sementara waktu kita mengharapkan kunjungan wisatawan lokal Bali yang utama dan kemudian wisatawan dari berbagai wilayah di Indonesia. Tapi kalo mereka dibebani berbagai syarat masuk ke Bali dan harga tiket pesawat yang mahal tentu sulit mengharapkan mereka akan berkunjung,” kata Ketut Mardjana yang juga Ketua BPPD Bangli.
Bersama berbagai komponen pariwisata yang lain, Ketut Mardjana berharap pemerintah memikirkan soal beban tanggungan wisatawan yang bisa berdampak pada keengganan mereka untuk berlibur ke Bali. Mantan Dirut PT Pos Indonesia ini minta jika pun harus memberlakukan tes Swab PCR dan Rapid Test kepada wisatawan yang berkunjung ke Bali agar bisa difasilitasi dan dibiayai oleh pemerintah.
Sebagai ilustrasi seorang penumpang sebuah maskapai berangkat dari Jakarta ke Yogyakarta dipatok harga 1 juta rupiah dan ke Bali sekitar 1,5 juta rupiah. Selain itu juga harus memiliki tes Swab PCR yang biayanya di atas harga tiket.
Mahalnya biaya tes kesehatan itu dikhawatirkan penumpang tidak mau menggunakan moda transportasi udara yang artinya pasti berimbas pada berkurangnya minat orang berwisata dengan jarak yang cukup jauh. Bahkan penerbangan swasta Indonesia yaitu Lion Air menyetop penerbangan mulai tanggal 5 Juni yang secara implisit tentu mempertimbangkan faktor bisnis karena lesunya penumpang sebagai dampak syarat kesehatan untuk terbang bagi penumpang yang membebani.
Selain itu Ketut Mardjana bersama komponen pariwisata Bali berharap sedapat mungkin menghilangkan segala pungutan di sektor pariwisata yang membebani seperti misalnya pungutan di masuk di jalan raya ke kawasan Kintamani.
“Jadi kebijakan pemerintah soal relaksasi di sektor pariwisata di Bali bisa memberi manfaat betul-betul bagi sektor dan pelaku pariwisata di Bali. Harapan kita bersama protokol kesehatan pencegahan penularan Covid-19 bisa berjalan dengan baik dan ekonomi masyarakat khususnya sektor pariwisata di Bali bisa menggeliat, hidup kembali,” pungkas Ketua PHRI Bangli ini.
Mardjana menambahkan di tengah penantian cukup panjang ini, pihaknya memang tidak tinggal diam. Pembenahan internal Toya Devasya Natural Hot Spring tetap dilakukan baik menyangkut sarana dan prasarana serta SDM-nya. “Nanti ketika kondisi pulih dan bisa buka, kita sudah lebih siap menerima wisatawan,” ujarnya. (bas)