Abraham Samad: Ada Lima Patologi Birokrasi Kronis yang Ancam Kinerja Pemerintahan
(Baliekbis.com), Sejak berdiri pada 2003 hingga Januari 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangkap dan memenjarakan 600 koruptor. Sebagian besar di antara mereka adalah anggota DPR/DPRD, yakni 146 orang, disusul 82 bupati/walikota dan 19 gubernur. Maraknya koruptor yang terjerat KPK di mana di dalamnya juga terdapat sejumlah menteri, Ketua MK, Ketua DPD, Ketua DPR menunjukkan patologi birokrasi atau penyakit birokrasi saat ini masih menjadi PR besar bangsa Indonesia, khususnya pemerintah.
Di satu sisi jumlah koruptor yang besar menunjukkan berfungsi dengan baiknya kerja KPK, akan tetapi di sisi lain jumlah koruptor yang besar itu menunjukkan bahwa patologi birokrasi sudah sedemikian akut menjangkiti para pejabat dan birokrat yang pada gilirannya mengancam kinerja dan jalannya roda pemerintahan.b“Tidak ada cara lain mengatasi penyakit birokrasi akut yang berujung pada prilaku koruptif para pejabat birokrasi itu selain tersedianya obat manjur untuk memberantasnya,” kata Ketua KPK periode 2011-2015 Abraham Samad, Jumat (6/4) di Jakarta.
Abraham akan menyampaikan butir-butir pemikirannya ini pada seminar motivasi “Spirit Of Infonesia”, Sabtu 7 April 2018 pukul 09.00-12,30 Wita di Auditorium Universitas Udayana, Bali, dilanjutkan pukul 13,30-16,30 Wita di Auditorium Universitas Warmadewa di kota yang sama. Menurut Abraham, diperlukan adanya suatu penanggulangan untuk memperbaiki birokrasi agar lebih baik, cepat tanggap dan mampu merespon apa yang menjadi kepentingan masyarakat.
Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mengobati penyakit birokrasi atau menyembuhkan penyakit kronis yang melekat pada birokrasi itu antara lain mengembangkan kebijakan pembangunan birokrasi yang holistis (menyeluruh). Cara ini dimaksudkan agar mampu menyentuh semua dimensi, baik itu sistem, struktur, budaya, dan perilaku birokrasi. “Tidak kalah pentingnya adalah mengembangkan sistem politik yang demokratis dan mampu mengontrol jalannya pemerintahan dengan maksud agar pemerintah lebih transparan, tanggung jawab terhadap apa yang mereka lakukan dan masyarakat dengan mudah mengakses informasi publik,” kata Abraham.
Menurut Abraham, mengembangkan birokrasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi seperti e-government dan e-procurement juga harus diprioritaskan untuk mempermudah interaksi antara masyarakat dengan para pemberi layanan. “Namun demikian sistem berbasis teknologi ini tetap perlu dimonitoring dan dikawal, khususnya terkait implementasinya guna meminimalisir terjadinya kecurangan yang dilakukan birokrasi,” kata Abraham.
Abraham kemudian mengemukakan lima macam patologi birokrasi, yaitu paternalistik, penggelembungan anggaran, prosedur berbelit dan tidak transparan, pembengkakan struktur birokrasi, dan fragmentasi birokrasi. Paternalistik, yaitu atasan bagaikan seorang raja yang wajib dipatuhi dan dihormati, diperlakukan spesial, tidak ada kontrol secara ketat, dan pegawai bawahan tidak memiliki tekad untuk mengkritik apa yang telah dilakukan atasan yang penting bagaimana menyenangkan atasan (ABS: Asal Bapak Senang).
“Birokrasi cenderung mengabaikan apa yang menjadi kepentingan masyarakat sebagai warga negara yang wajib menerima layanan sebaik mungkin,” kata Abraham. Penggelembungan anggaran dimaksudkan, semakin besar anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan, semakin besar pula peluang untuk menggelembungkan (mark up) anggaran. Selain itu, tidak adanya kejelasan antara biaya dan pendapatan dalam birokrasi publik, terdapatnya tradisi memotong anggaran yang diajukan pada proses perencanaan anggaran sehingga memunculkan inisiatif pada orang yang mengajukan anggaran untuk melebih-lebihkan anggaran, dan kecenderungan birokrasi mengalokasikan anggaran atas dasar input.
“Penggelembungan anggaran akan semakin meluas ketika kekuatan masyarakat sipil lemah dalam mengontrol pemerintah,” kata Abraham. Selain prosedur berbelit dan tidak transparan, pembengkakan struktur birokrasi juga salah satu patologi birokrasi yang harus segera dipangkas. Menurut Abraham, penambahan jumlah struktur pada birokrasi dengan alasan untuk meringankan beban kerja dan lain-lain yang sebenarnya struktur tersebut tidak terlalu diperlukan keberadaannya berakibat banyak pada dana APBN yang dikeluarkan pemerintah yang secara tidak langsung dapat merugikan negara. “Akibatnya, anggaran menjadi kurang tepat sasaran,” kata Abraham. Sedangkan patologi birokrasi terkait fragmentasi birokrasi antara lain banyaknya kementerian baru yang dibuat oleh pemerintah yang lebih sering tidak didasarkan pada suatu kebutuhan untuk merespon kepentingan masyarakat agar lebih terwadahi, tetapi lebih kepada motif tertentu. (ebi)