Agar Tak Kehilangan Hak, Ipung: Perempuan Bali Wajib Catatkan Perkawinan di Capil
Sistem patrilineal menyebabkan posisi perempuan Bali menjadi lemah, berada di posisi kedua dibanding laki-laki. Apalagi kalau dalam perkawinan hanya sebatas kawin adat. Ketika ada masalah seperti perceraian, maka perempuan Bali akan kehilangan hak warisnya.
(Baliekbis.com), Aktivis anak dan perempuan Siti Sapura mengatakan dalam perkawinan adat, secara adat perkawinan memang dianggap sah tapi apakah dalam hukum nasional, atau UU Perkawinan dianggap sah? Belum tentu.
Jika seorang perempuan Bali menikah dengan seorang laki-laki Bali secara adat saja dan tidak dicatatkan dalam perkawinan hukum nasional sesuai UU No. 1 Tahun 1974, otomatis tidak dicatatkan secara hukum di Catatan Sipil.
Sehingga tidak ada akta perkawinan. Nah apa yang terjadi jika perkawinan hanya dicatatkan secara adat? Dalam perkawinan adat ini hanya akan terjadi hak yang luar biasa untuk kaum laki-laki. “Artinya secara harta di pihak istri tidak akan punya hak apa-apa dan bagimana dengan keturunan yang dilahirkan dari perkawinan adat,” ujar Ipung sapaan akrab Siti Sapura saat ditemui di kantornya Jalan Pulau Buton.
Dikatakan anak akan menjadi anak seorang ibu, lalu apa akibat hukumnya? Anak tidak punya hak waris apapun dari apa yang dimiliki oleh harta ibu dan bapaknya.
Jika selama pernikahan (adat) suami dan istri punya harta bersama, dan kebetulan atas nama bapaknya, maka si ibu tidak bisa menuntut apa-apa. Atau ketika sebaliknya dicatat atas nama ibunya, ini tidak dicatatkan dalam hukum perkawinan nasional, artinya tidak bisa dianggap harta bersama.
Karena itu, tambah Ipung, perkawinan adat harus diurus ke Kantor Catatan Sipil sehingga keluar akta perkawinan dan akan lahirlah keturunan (anak) dengan akta perkawinan. Anak akan punya hak atas warisan yang dimiliki kedua orang tuanya.
Ipung juga menjelaskan sudah ada hukum adat Hindu yang disebut dengan perkawinan “pada gelahang”. Perkawinan pada gelahang ini merupakan bentuk perkawinan yang relatif baru dalam masyarakat adat di Bali (desa pakraman).
Bentuk perkawinan yang umum dikenal di Bali adalah perkawinan biasa (istri meninggalkan rumah dan masuk dalam keluarga suami) dan perkawinan nyentana (suami meninggalkan rumah dan masuk dalam keluarga istri).
“Jika bapak atau ibunya punya harta, maka anak perempuan pun punya hak atas itu. Kecuali jika harta itu adalah keturunan dari kakek/neneknya hanya laki-laki saja yang berhak atas warisan itu. “Inilah yang bisa diperjuangkan oleh perempuan Bali dalam menikah secara nasional,” tambah Ipung yang dikenal sangat tegas dalam membela hak-hak perempuan dan anak.
Karena itu, ia minta wanita Bali agar mencatatkan perkawinannya secara hukum nasional. Hal ini penting ketika perempuan ini bercerai, kalau menikah secara nasional maka ia berhak menuntut harta yang sudah didapat selama perkawinan itu. Apapun yang ia miliki walaupun atas nama suaminya, jika ia menikah secara hukum kedua belah pihak berhak atas hak bersama, sama-sama 50%. “Sedangkan posisi anak tergantung ikut dengan siapa, kan anak tidak ikut berpisah. Anaknya punya hak atas harta ibu atau ayahnya, tergantung kebijakan mereka,” tambahnya.
Seandainya si anak dari kecil ikut ibunya lalu harta bapaknya dipindahtangankan dan tidak dibagikan ke istrinya, maka anaknya berhak menuntut kepada bapak kandungnya jika ia punya akta kelahiran atas nama bapaknya.
Ia juga bisa gugat secara perdata bahwa ini adalah harta warisan perkawinan ibu-bapaknya. Ia juga bisa tuntut secara pidana bahwa ini ada pengalihan hak atas harta yang dimiliki oleh anaknya, bisa termasuk penggelapan atau penyerobotan.
“Saya beberapa kali menangani kasus seperti ini, jadi saya mengedukasi kepada klien saya yang perempuan sebelum berani gugat suami, tolong agar diinventarisasi harta yang dimiliki saat perkawinan, misal punya mobil catat saja STNK atas nama siapa, tahun berapa, tipe apa sampai pelatnya berapa. Misal emas, rumah, dll semua dicatat. Sementara harta bawaan tidak ikut dibagi, jadi tidak termasuk harta bersama,” ungkap Ipung.
Bagaimana jika ada pihak yang tak mengindahkan aturan? Di dalam hal penetapan, ada permohonan untuk melakukan sita jaminan maka kuasa hukum harus pintar. Jika takut salah satu pihaknya ingkar, kita bisa minta pihak pengadilan untuk melakukan sita jaminan sebelum ketentuan itu ditetapkan. Apa-apa yang ditetapkan harus dilakukan pemblokiran supaya tidak dipindahtangankan.
Terkait Perlindungan anak, menurut Ipung sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak ada 31 hak anak yang diatur, di antaranya adalah anak berhak atas ibu dan bapaknya, anak berhak kasih sayang ibu dan bapaknya.
Misal saya punya anak dan hanya sebagai rakyat jelata, sedangkan kakek neneknya orang berkuasa, saya seolah-olah tidak punya hak asuh apapun saat diceraikan oleh suami. Dikuasailah anak ini oleh kakek neneknya. Apakah ibu ini bisa menuntut anaknya? Sangat bisa. Sebab anak berhak atas kasih sayang ibu dan bapaknya. Untuk anak umur 0 hari hingga 3 atau 6 bulan, tiba-tiba bercerai. ibunya diusir, bapak menguasai anak ini sedangkan harta belum ada. Lantas anak ini dikuasai oleh kakek neneknya karena dianggap sudah pisah.
Apa yang bisa dilakukan ibunya? Berdasarkan UU Perlindungan Anak, ia bisa laporkan ke polisi bahwa anaknya dikuasai oleh orang yang bukan menjadi haknya, ini ancaman pidananya sampai 9 tahun. Polisi harus eksekusi anak ini dari tangan kakek neneknya karena mreka tidak punya hak.
Selain pentingnya hukum nasional, di mata Ipung perempuan (Bali) harus pintar, mandiri, punya uang dan kerja. Kalau sudah seperti itu baru bisa merdeka alias mandiri. Sebab perempuan kerap dianggap lemah sehingga sering jadi korban kesewenangan. (ist)