Aice dengan Inovasi Pertama dan Kualitas Merajai Industri Es Krim Indonesia
(Baliekbis.com), Es krim Aice sudah hadir di Indonesia sejak lima tahun terakhir ini, dan telah cukup dikenal oleh masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa penghargaan yang diakui oleh industri dan masyarakat yang telah diraihnya seperti SuperBrand, Top Brand, WOW Brand, dan lain sebagainya. Setelah langkah awalnya masuk pasar es krim Indonesia dengan akuisisi mereka atas PT Alpen Food Industry pada 2015, produsen Aice Mochi dan Aice Susu Telur ini langsung gas pol dalam pengembangan dan pemasaran.
Langkah pemasaran pertama yang dilakukan Aice Group adalah penguatan rantai pendingin, jaringan distribusi, dan pemasar kecil serta tradisonal (UMKM). Plus strategi Aice Group menetapkan produk yang inovatif dan pertama di pasar Indonesia serta strategi harga yang tidak mengambil margin besar sehingga inline dengan daya beli masyarakat Indonesia. Ratusan distributor berskala besar plus lebih dari 250 ribu warung yang menjual es krim AICE di semua sudut kampung hingga kota Indonesia menjadi big push pertama buat produsen es krim Aice menjadi semakin mantap di industri es krim Indonesia. Tentunya ini bukanlah perkara yang mudah.
Semua pelaku pasar yang berjaringan pemasaran besar dan mencapai segmen menengah bawah tentunya paham bahwa problem capex yang sangat besar sudah menunggu. Terlebih bagi para pemain baru di pasar retail. Belum lagi, pemain baru akan menemui kesulitan melakukan upaya konversi ataupun komplementer di poin penjualan warung atas produk es krim Aice. Di soal ini, Aice telah berhasil dan terlihat dari jumlah ratusan ribu jaringan distribusi yang dimilikinya.
Para ahli pemasaran retail mungkin sudah faham, kerja keras dalam menentukan resep kerjasama B2B dan model konsinyasi yang pas dengan pewarung, akhirnya sukses dituai Aice dengan banyaknya warung yang masuk dalam jaringan pemasar tradisionalnya. Angka 250 ribu adalah angka yang fantastis, terutama dengan kondisi negara Indonesia yang memiliki kendala dalam hal infrastruktur.
Konsekuensi capex yang sangat besar bukan hanya ada di soal pengadaan ratusan ribu freezer, distributor juga harus memiliki gudang penyimpanan yang cukup banyak dan besar di banyak simpul wilayah pemasaran. Karakter produk yang harus selalu dingin juga membuat sarana transportasi yang mesti disediakan tentu akan memakan biaya modal dan operasional yang lumayan besar.
Kombinasi dari strategi Aice melakukan “revolusi es krim untuk semua lapisan konsumen” dan kejelian melihat daya beli di segmen pasar tengah dan bawah, mengakselerasi volume penjualan Aice dalam lima tahun terakhir ini.
Harga Terjangkau untuk Strategi Temporer, Inovasi untuk Kekuatan Jangka Panjang
Jika dulu es krim diposisikan oleh produsen sebagai barang yang “cukup mewah” dan hanya dekat dengan momen khusus konsumen, maka kini Aice membongkar kemapanan itu dengan strategi volume dan harga jual yang terjangkau. Tidak berhenti sampai disini, inovasi Aice juga dengan menghasilkan produk pelopor, dimana Aice telah meluncurkan berbagai varian es krim pertama kalinya di pasar Indonesia, seperti Aice Mochi, Sweet Corn dan Double Chocolate Crispy.
Lalu bagaimana Aice bisa mempertahankan karakter produk dan brand-nya dalam jangka panjang? Tentunya menjadi absurd jika semua pelaku pasar akhirnya hanya menjadi follower dalam strategi pemasaran jangka pendek. Tentunya, ini bisa menjadi disinsentif bagi pelaku pasar yang memulai gelombang kesuksesan produksi varian baru es krim.
Brand Manager sekaligus Juru Bicara Aice Group Sylvana punya beberapa kuncian jawabannya. Menurutnya, Aice ingin selalu dikenal masyarakat sebagai es krim yang selalu punya inovasi dan menjadikan “Yang pertama selalu dari Aice”. Wanita yang juga dikenal publik dalam banyak momen pembagian jutaan masker medis ke grassroot di masa pandemi ini, mengatakan bahwa strategi pemasaran yang dijalankan perusahaannya adalah buah dari proses bisnis sejak tahap penemuan atau inovasi.
Menurut Sylvana, kesuksesan berbagai varian produk Aice tidak melulu disebabkan oleh faktor harga atau beberapa resep pemasaran saja. Ia membuka rahasia inovasi yang sangat intensif dilakukan oleh perusahaannya dalam memulai sebuah komersialiasi produk baru.
“Varian Aice Mochi adalah contoh kekuatan inovasi tinggi produk kami. Kulit mochi yang kenyal dirasakan konsumen adalah hasil dari inovasi pengolahan yang cukup high-end. Adonan kulit Mochi dengan proses produksi ditumbuk puluhan ribu kali untuk mendapatkan kulit mochi dengan tekstur dan kekenyalan yang sempurna,” ungkap Sylvana.
Selain itu es krim Aice Mochi juga dijejali dengan berbagai pilihan bahan baku yang berkualitas. Cara pengolahan yang sesuai dengan tahapan resep tradisional ini akhirnya mampu menghasilkan kulit yang kenyal ketika dinikmati konsumen. Inovasi dalam produk Aice Mochi ini mungkin menjadi alasan mengapa hingga kini Aice Mochi menjadi salah satu produk unggulan Aice yang sangat disukai masyarakat.
Selain di Mochi, Aice juga piawai membuat banyak inovasi yang tak kalah unik dan sangat disukai konsumen. Perusahaan asal Singapura ini menjadi pelopor untuk es krim rasa jagung dengan bentuk gung di Indonesia. Aice Sweet Corn sangat disukai konsumen karena lapisan kulit jagung yang sangat mirip dengan jagung asli. Kulit Aice Sweet Corn dinilai konsumen lebih wangi dan memiliki aroma smoked di bagian kulit. Inilah yang membuat rasanya klop dengan isian es krim rasa jagung saat lumer di mulut konsumen.
Saat ditanyakan mengenai inovasi atas varian es krim dengan bentuk dan rasa yang “klasik”, Sylvana kembali membuka satu kuncian inovasi produk Aice lainnya. Ia memulainya dengan membuka posisi penjualan yang primadona di jajaran produk Aice. Menurutnya, Aice Double Chocolate Crispy adalah salah satu best seller Aice di pasar.
Es krim varian ini adalah contoh inovasi lain dari Aice. Produk ini memelopori double chocolate dan double crispy di pasar es krim kita. Dengan teknologi produksi yang kami miliki, Aice bisa meletakkan lapisan pertama cokelat yang krispi di lapisan paling luar es krim. Lalu kami letakkan lagi lapisan kedua cokelat yang crispy sama persis di tengah-tengah es krim,” jelas Sylvana.
Seperti kutipan atas ahli pemasaran dunia Philip Kotler di awal tulisan bahwa pada akhirnya setiap entitas usaha harus memodali diri dengan inovasi, Aice juga melakukan hal yang sama. Aice sedari awal bisnisnya melengkapi semua produk dengan inovasi yang tinggi untuk menemukan kualitas produk yang terbaik dan mampu menjawab keinginan baru konsumen.
Buat Aice Group, inovasi yang mampu terus menerus melahirkan produk yang unggul dan sesuai dengan keinginan konsumen adalah standar dari proses bisnisnya. Bahkan di masa pandemi covid-19 ini, beberapa langkah inovasi produk juga dilahirkan oleh tim riset Aice Group. Kalau di soal distribusi puluhan juta masker medis gratis ke publik mungkin banyak orang sudah tahu. Tapi tanpa banyak bicara Aice Group memanfaatkan juga stik es krim untuk mengedukasi konsumen soal Protokol Kesehatan.
Mungkin untuk pengumuman hadiah yang diperoleh konsumen lewat stik adalah hal yang sudah biasa. Namun menggabungkan pesan yang edukasi covid-19 dalam cara yang lebih inovatif dan funky, melalui stik es krim adalah hal yang unik dan mungkin efektif bagi kalangan milenial atau Gen-Z.
Sylvana menambahkan bahwa inovasi dimanfaatkan Aice bukan hanya untuk keperluan profit making. Dalam proses bisnisnya, inovasi menjadi bagian yang tak terlepas di semua lini. Mulai dari stik es krim Aice Jagung dan Double Chocolate Crispy yang edukatif. Bahkan hingga bagaimana Aice mencari cara melindungi konsumen dari pandemi dengan memproduksi sendiri puluhan juta masker medis, Aice melakukan langkah yang inovatif.
“Berbagai langkah bisnis kami yang dinilai sebagian pihak sebagai cara yang revolutif dan super inovatif sesungguhnya berawal dari nilai-nilai sederhana yang Aice terapkan. Ada empat huruf yang mewakili empat nilai inti Aice. A untuk kualitas grade A atau terbaik. I untuk inovasi. C untuk cheerful atau ceria. Dan E untuk share atau berbagi ke seluruh masyarakat Indonesia,” tutup Sylvana. (ist)