Alih Fungsi Lahan Mesti Ada Solusinya
(Baliekbis.com), Keprihatinan terhadap tingginya alih fungsi lahan pertanian di wilayah Pulau Bali, sudah begitu banyak diutarakan sejumlah tokoh dan pemerhati. Gubernur Bali Made Mangku Pastika berharap keprihatinan ini diikuti oleh pemberian solusi yang aplikabel (mudah diterapkan) dan realistis pada pelaksanaan Simakrama Gubernur yang mengusung tema ‘Alih Fungsi Lahan dan Solusinya’, Sabtu (27/5). Ia menerangkan bahwa hingga saat ini perekonomian Bali masih bertumpu dari sektor pariwisata. “Dan sejauh ini kita sepakat bahwa pariwisata yang kita kembangkan adalah pariwisata budaya yaitu budaya agraris,” ucapnya pada Simakrama yang berlangsung di Ruang Wiswa Sabha Utama, Kantor Gubernur Bali. Bertolak dari kenyataan tersebut, upaya pelestarian sektor pertanian merupakan sebuah keharusan. “Agar pertanian tetap lestari, lahannya jangan terus digerogoti. Mesti ada upaya pengendalian,” ujarnya.
Menurut Pastika, tingginya alih fungsi lahan antara lain disebabkan pertumbuhan penduduk. “Tahun 1945 penduduk Bali hanya 500 ribu jiwa, sekarang jumlahnya sudah mencapai 4,5 juta jiwa. Semuanya perlu tempat tinggal,” katanya. Selain kepadatan penduduk, keengganan generasi muda untuk menekuni bidang pertanian juga menjadi pemicu tingginya alih fungsi lahan pertanian. Karena yang muda tak mau bertani, akhirnya lahan telantar.
Ujung-ujungnya, masyarakat memilih mengintrakkan atau menjual lahan mereka sehingga terjadilah alih fungsi. Melihat kondisi ini, Pastika ingin mendapat solusi yang lebih aplikabel dan realistis untuk diterapkan.
Menambahkan penjelasan Pastika, Kadis Tanaman Pangan Holtikultura dan Perkebunan Provinsi Bali IB Wisnuardhana M.Si memaparkan, sejumlah kebijakan dalam upaya pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Upaya tersebut antara lain dengan melaksanakan Program Simantri dan pemberian insentif bagi petani. Selain itu, Pemprov juga menerapkan sejumlah regulasi hukum yang menunjukkan keberpihakan pada sektor pertanian. “Salah satunya penerapan Perda Buah Lokal,” katanya. Sementara itu, sejumlah tokoh yang diundang sebagai narasumber sepakat bahwa alih fungsi lahan tak mungkin dihentikan namun dapat dikendalikan. Alih fungsi lahan antara lain dapat dikendalikan melalui penguatan instrumen hukum dan peningkatan insentif bagi para petani.
Solusi ini ditawarkan oleh Ketua DPD Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Bali Prof DR Ir Nyoman Suparta. Mengawali paparannya, Prof Suparta mengungkap bahwa alih fungsi lahan pertanian tiap tahunnya rata-rata mencapai 380,9 hektare. Untuk mengendalikan alih fungsi lahan, dia menawarkan sejumlah solusi antara lain penguatan instrumen hukum dan kebijakan ekonomi yang berpihak pada sektor pertanian. Ia juga mendorong pembentukan Lembaga Usaha Ekomoni Subak (LUES) yang bertujuan meningkatkan produktivitas dan nilai ekonomi lahan pertanian. Lain daripada itu, dia minta Pekaseh dilibatkan dalam proses jual beli lahan pertanian.
“Status sosial dan prestise para petani juga perlu kita tingkatkan agar generasi muda lebih tertarik menekuni bidang ini,” katanya. Pada bagian lain, Prof Suparta juga mengusulkan ada bagi hasil dari sektor pariwisata untuk mendukung pembangunan bidang pertanian. “5 persen saja PHR itu dikembalikan untuk sektor pertanian, menurut saya itu bagus sekali dan para petani pasti senang,” kata dia menyarankan. Menurut pandangan Prof Suparta, Gubernur Pastika telah berupaya sebaik mungkin untuk penguatan sektor pertanian melalui Program Simantri. Namun ia menyarankan agar program Simantri dilaksanakan di tiap subak. (bp)