“Bali Megarupa” Membaca Peta Baru Seni Rupa Bali
SENI yang tak pernah mati dan selalu menggeliat di Bali ialah dunia seni rupa. Bali telah lama membuktikan diri dalam seni yang satu ini. Di masa lalu, Bali adalah ‘destinasi’ bagi pelukis-pelukis nasional yang kini telah menjadi maestro, seperti Affandi, S. Soedjojono, Hendra Gunawan, Agus Djaja, Dullah Suweileh dan beberapa lagi yang lain. Beberapa di antara mereka bahkan menetap di Bali.
Bali bukan saja menjadi ‘destinasi’ bagi pelukis-pelukis nasional, juga menjadi sasaran kunjungan bagi seniman luar negeri di masa lalu. Mereka tinggal cukup lama di Bali. Beberapa tempat seperti Ubud, Sanur dan Denpasar menjadi bukti jejak kunjungan mereka di Bali. Beberapa di antara mereka juga akhirnya menetap di Bali seperti Don Antonio Blanco, Le Mayeur dan Arie Smit. Seorang pelukis asal Mexico bernama Jose Miguel Covarrubias bahkan membuat buku terkenal tentang Bali, yakni The Island of Bali (1937).
Sementara itu seniman-seniman tradisional Bali sejak awalnya juga melakukan kegiatan menggambar. Hanya saja mereka mengabdikan kemampuan keindahan visualnya itu pada kehidupan ritual agama. Hampir semua yang bertalian dengan urusan keagamaan tak ada yang luput dari sentuhan keindahan. Bukan saja mereka melakukan kegiatan menggambar pada elemen ritual, melainkan juga membuat patung. Dan semua itu, baik menggambar dan mematung sama seriusnya.
Dengan begitu, kehidupan kesenian Bali, terutama seni rupa (patung, lukisan, ukiran, ornamen-ornamen), telah berlangsung sejak mereka ada. Dan menilik dari sejarahnya, kesenian bagi orang Bali, apa pun bentuknya, bukanlah hal terpisah dari kehidupan mereka. Hanya saja kemudian perubahan terjadi seiring perkembangan zaman. Faktor pariwisata Bali sangat berperan besar dalam membawa perubahan ini.
Signifikansi perubahan aktivitas dan tujuan seni rupa Bali itu dapat ditandai dengan terbangunnya ‘bertanda nama’ pada karya-karya mereka. Di masa lalu, seni rupa, atau kesenian Bali pada umumnya adalah anonim dan dibaktikan kepada persembahan keagamaan. Bertanda nama itu makin gencar terbangun ketika mereka makin menyadari betapa besar arti karya-karya mereka ketika direspon oleh orang lain, kebanyakan adalah turis asing.
Signifikansi berikutnya adalah kesadaran ekspresif. Ketika seni-seni persembahan masih berlangsung, di pihak lain seniman juga dengan sadar meng-create seni rupa sebagai pertanggungjawaban ekspresif, personal dan mulai merujuk pada tindak apresiasi. Mereka mulai menyadari bahwa seni rupa mereka telah berada pada kancah estetika di publik luas, khususnya di kalangan pengamat, pecinta seni, kolektor dan institusi seni seperti museum dan galeri.
Di dalam sosiologi seni rupa Indonesia modern, selepas kancah seni rupa didahului oleh nama-nama seniman yang kini telah menjadi maestro, selanjutnya seniman-seniman Bali memasuki kancah seni rupa modern nasional yang secara kuantitas dan kualitas mengisi khasanah seni rupa nasional, selain para perupa dari Yogyakarta. Sementara di Bali sendiri, pertumbuhan dan ‘kelahiran baru’ para seniman seperti tak pernah memiliki rantai putus, baik seni tradisional Bali mau pun seni rupa modern, yang belakangan kemudian sebagiannya bermain di ranah kontemporer.
Megarupa
Tercetusnya sebuah peristiwa kesenian besar yang digagas oleh Pemerintah Provinsi Bali yang bernama Festival Seni Bali Jani 2019 (FSBJ 2019) ini mengundang harapan baru bagi seluruh masyarakat seniman dan budayawan Bali. Harapan baru ini, dalam sejumlah pemberitaan di media massa, mengindikasikan ruang-ruang terbuka bagi gagasan, eksplorasi, eksperimentasi dan berbagai kemungkinan ekspresi bagi seni nontradisi.
Harapan ini juga disambut dengan suka cita di ranah seni rupa Bali. Tidak main-main ketika festval ini untuk kali pertama digelar tahun ini, para kalangan seniman rupa menyambut antusias perhelatan FSBJ ini. Dengan tajuk yang ditawarkan pihak panitia, dalam hal ini pelaksana operasional adalah Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, adalah Bali Megarupa. Sementara tema yang diusung juga adalah berkaitan dengan filosofi atau kearifan lokal Bali dalam memandang tanah, air dan ibu.
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, I Wayan Adnyana, yang akrab disapa dengan panggilan Kun, dalam sebuah kesempatan mengungkapkan bahwa dalam FSBJ 2019 ini sungguh-sungguh memberi ruang kepada hal-hal yang bersifat eksplorasi, inovasi dan kebebasan dalam mewujudkan ranah estetika bagi seniman Bali yang berada di ranah seni-seni modern. Dalam konteks dunia seni rupa, undangan berekspresi ini sesungguhnya menjadi peluang bagi para perupa Bali modern untuk menggali potensi kreativitas diri.
Inilah kali pertama di Bali di mana pemerintah memiliki concern terhadap seni-seni nontradisi yang selama ini berkesan mengutamakan seni-seni tradisional, dan ini pula kali pertama pemerintah Bali, dalam hal ini adalah Pemerintah Provinsi Bali, menjadi pelaksana utama bagi suatu even besar kesenian modern. Secara historis, peristiwa FSBJ 2019 adalah suatu peristiwa kesenian yang menyejarah. FSBJ 2019 adalah suatu kemajuan kultural di Bali di tengah kentalnya suasana kehidupan tradisi di Bali.
Gubernur Bali I Wayan Koster, dalam sambutan tertulisnya di katalog pameran “Bali Megarupa” mengungkapkan keyakinannya bahwa pameran ini semakin mengukuhkan Bali sebagai pusat seni budaya rintisan para pendahulu yang melakukan aktivitas sebagai kegiatan adat dan agama yang kini berkembang mewarnai relung kehidupan masyarakat Bali. Seni rupa yang menjadi bagian dari aktivitas keseharian tersebut perlu mendapatkan ruang yang lebih luas dan insprastruktur yang memadai.
Teristimewa pada gerakan seni rupa modern di Bali, Bali Megarupa adalah momentum awal untuk sebuah permulaan kreativitas baru bagi kalangan perupa Bali. Lemparan tema yang sangat seksi; eksplorasi, inovasi, kebebasan ekspresi, adalah suatu suasana yang sungguh-sungguh menggairahkan ‘urat nadi’ para perupa Bali untuk berpikir sejenak, merenung sejenak, memasang ancang-ancang untuk akhirnya mempersembahkan penggalian mutakhirnya terhadap kerja kreatifnya.
Sebetulnya letak daya kreatif Bali Megarupa adalah tawaran yang diberikan pihak panitia, ialah menantang para perupa Bali menggali filosofi Bali yang diterjemahkan dengan kearifan lokalnya. Ini menjadi menarik ketika suatu even besar di Bali justru mengangkat ‘watak’ Bali dalam warna contemporary art. Bali sendiri dengan kekayaan budayanya memiliki ‘daya pesona’ untuk dihadirkan kembali dalam ‘suasana baru’. Bali sendiri, sebagaimana yang diungkapkan banyak seniman nasional dan internasional, adalah sumber inspirasi.
Dengan demikian, tawaran tematik dalam Bali Megarupa ini memberi peluang bagi perupa Bali untuk melihat kembali peluang-peluang estetika yang disediakan Bali. Dunia seni rupa sangat berpeluang untuk menangkap pesan itu karena seni rupa memiliki jangkauan yang luas, memiliki lintas sektoral dalam mengungkapkan ekspresi estetiknya.
Kebetulan juga Bali Megarupa adalah debut pertama bagi seni rupa moden Bali dalam sebuah hajatan kolosalnya, maka pertanyaannya adalah dapatkah para perupa Bali menangkap kesempatan dan peluang besar estetika ini untuk menunjukkan kejatidiran kreatifnya dalam pertarungan estetik.
Bali Megarupa, entah di tahun depan kemudian apakah namanya juga sama, namun kita harus melihat esensi dari peristiwa ini sebagai telah tersedianya ruang pertarungan besar seni rupa bagi para perupa di Bali. Pemprov Bali telah membuatkan ‘arena kolosal’ untuk sebuah supremasi seni rupa di mana dalam ruang besar ini para seniman rupa dipersilakan dengan hormat untuk melakukan pencapaian-pencapaian estetik optimalnya.
Barangkali konsep estetik dalam ruang rupa Bali Megarupa ini, pada debut pertamanya, belum sepenuhnya menjadi ‘pemahaman serius’ bagi para perupa Bali mengingat ruang dan waktu yang pendek dan kali pertama digelar, namun yang utama harus disosialisasikan adalah bahwa baik para seniman Bai mau pun pihak panitia harus terus-meneruskan mendengungkan ruang besar seni rupa ini sebagai ajang prestisius yang sesungguhnya dalam mengasah diri, menjadikan ruang rupa ini sebagai pencapaian-pencapaian estetika rupa mutakhir.
Secara faktual, sejauh ini Bali belum memiliki satu hajatan seni rupa yang akbar, kolosal dan prestisius yang membawa Bali kepada kewibawaan barometer peristiwa seni rupa. Kita sempat hampir memiliki hal yang dimaksud, yakni Bali Biennale pada 2005 silam, namun menjadi berantakan karena beberapa hal.
Ada beberapa hal yang dicoba dimunculkan seperti BAS, Bali Act, namun semua itu tenggelam pada akhirnya. Suatu ironi bahwa Bali sebagai basis penting seni rupa Indonesia tapi kenyataannya tak memiliki satu pun event monumental sebagaimana Yogya dengan Artjog-nya, Singapura dengan Art Stage-nya, Sydney dengan Sydney Biennale-nya yang berjalan sangat managerial.
Maka, hadirnya untuk pertama kali sebuah ruang besar bagi seni rupa Bali dalam Bali Megarupa ini, menjadi kesempatan emas untuk benar-benar menempatkan event ini sebagai momentum baru dalam mewujudkan, meminjam ungkapan ormas, ‘seni rupa Bali bersatu’. Bali Megarupa ini, pertama-tama, harus dilihat esensi konsepnya. Karena di situlah letak landasan urgensinya dalam membangun kesadaran baru seni rupa Bali. karena selama ini, gemurun seni rupa Bali adalah suatu rutinitas berkesenian tanpa menawarkan hal-hal baru dalam tingkat gagasan dan eksplorasi.
Maka, yang paling penting kini adalah tersedianya ruang baru bagi kiprah pencapaian estetika, semacam achievement kalau tak mau dikatakan enlightement dalam dunia seni rupa Bali. Kita harus berani belajar untuk merasa memiliki bersama suatu wadah yang telah diberikan dan disediakan sebagai milik bersama. Setelahnya kemudian bagaimana kemudian menjadikan wadah itu sebagai ruang kompetisi bagi diri-sendiri untuk memperlihatkan pencapaian paling mutakhir dari yang pernah dicapai selama ini.
Membaca Peta Baru Seni Rupa Bali
Segala pencapaian kediddayaan (achievement) memang memerlukan semacam ‘show room’ yang sangat representatif di mana publik dengan nyata dan jelas dapat melihat pencapaian-pencapaian estetik itu. Bali Megarupa bisa menjadi cikal-bakal ‘show room’ yang paling representatif untuk melihat kabar paling mutakhir dari pencapaian seni rupa Bali. Kita membutuhkan ruang besar ini untuk menjawab kegagalan-kegagalan kita selama ini akan impian tentang event besar yang harus dimiliki dunia seni rupa Bali.
Bali Megarupa sebagai debut pertama peristiwa besar seni rupa memiliki makna yang luar biasa strategisnya bagi pertumbuhan, perkembangan dan pencapaian prestasi para senimannya. Ada beberapa alasan mengapa pernyataan ini dimunculkan, pertama; Bali adalah basis yang lengkap tentang kejatidiran dunia seni rupa. Apa yang tak dimiliki Bali dalam dunia seni rupanya sendiri?
Dari sejarah seni rupa yang rapi, para seniman legenda yang mendunia (Lempad, Tjokot, IB Made dan beberapa lagi yang karya-karya mereka telah disimpan di beberapa museum penting di Eropa dan dikoleksi pula oleh para orang kaya dunia), kunjungan seniman asing sejak awal 1900-an, aktivitas seni rupa yang terjaga terus, menjadi bagian yang utama dalam booming seni rupa sejak awal 1990-an, dan hingga kini para seniman muda terus ‘lahir’.
Kedua, posisi Bali sebagai destinasi pariwisata dunia menawarkan peluang apresiasi yang lebih mengglobal dibandingkan kawasan lain di Indonesia. Dalam beberapa kesempatan, hal ini sudah beberapa kali saya wacanakan kepada para seniman dan pelaku pariwisata Bali. Tetapi selama ini sinergi seni rupa – pariwisata Bali belum juga menemukan muaranya yang tepat. Mungkin dalam kesempatan tersendiri, hal ini bisa dibahas lebih serius dalam ruang wacana Bali Megarupa ini.
Ketiga, dengan potensi pariwiasata Bali yang demikian besar, ditambah pula pertumbuhan seni rupa Bali yang rata-rata stabil dalam aktivitas dan kebesinambungan regenerasinya, maka Bali Megarupa memiliki kans yang besar sebagai basis penting senin rupa di Asia jika Bali Megarupa ini benar-benar dikelola oleh kebersatuan seniman-pemerintah Bali-instusi-institusi seni. Bali Megarupa, jika ditumbuhkan dengan baik dan benar, ia bisa mendampingi apa yang selama ini telah lebih dulu dilakukan oleh China dengan beberapa kegiatan biennale seni rupanya yang prestisius itu.
Keempat, Bali Megarupa, atau apa pun namanya nanti, yang paling penting adalah menjadi baromater yang qualified dalam membaca perkembangan seni rupa Bali mutakhir. Dengan demikian, event ini akan menjadi yang ditunggu untuk melihat, menakar dan menjadi rujukan ke depan dalam membaca kecenderungan dan arah seni rupa Bali. Dengan menjadi ‘bahan bacaan’ bagi arah baru seni rupa Bali, maka besar kemungkinan akan menggairahkan para art observer dalam dan luar negeri untuk melakukan studi bagi perkembangan terkini seni rupa Bali.
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, I Wayan Adnyana, dalam sambutan tertulisnya di katalog pameran “Bali Megarupa” mengatakan bahwa pameran “Bali Megarupa” merupakan sebuah pembacaan awal dinamika dinamika seni rupa Balidari tradisi hingga kontemporer menuju “Bali Megarupa” sebagai agenda tahunan yang memanggungkan seni rupa lintas batas multimedia dengan ragam capaian ekspresi pribadi maupun komunal.
Kelima, dan pada akhirnya Bali Megarupa akan menjadi event internasional di mana dalam peristiwa ini akan menjadi ruang berbagi, bersinergi dan berkolaborasinya seniman-seniman dunia. Bali akhirnya bukan lagi sekadar mengandalkan pariwisata alam, masyarakat yang tradisional, namun juga menjawab tantangan dunia global dalam strategi kebudayaan. Maka sangat beralasan jika Gubernur Bali I Wayan Koster mengharapkan acara ini mampu mengawali niat baik pemerintah untuk menyediakan sarana dan prasarana untuk sebuah kegiatan yang diharapkan menjadi embrio pameran besar seni rupa dalam sekala besar sesuai dengan harapan yang disematkan pada nama “Bali Megarupa”.
B
ANYAK hal yang bisa diberdayakan dari event Bali Megarupa ini. Kuncinya hanya satu; menumbuhkan peristiwa ini sebagai kebersamaan yang bahu-membahu. Inilah peluang yang luar biasa bagi para perupa Bali untuk memiliki satu event strategis, baik dalam sosiologi budaya mau pun pencapaian estetika paling mutakhir. Jika peristiwa ini pun akhirnya layu sebelum berkembang karena ketiadaan kebersatuan dalam menumbuhkembangkan, akan sulit bagi Bali untuk memiliki kejayaan event besar yang berkesinambangunan dan prestisius. *putu suasta (budayawan)