Begini Cara Berpakaian ke Pura yang Benar
(Baliekbis.com), Belakangan ini banyak terjadi penyimpangan cara berpakaian adat ke pura dan pakaian pengantin sudah tidak sesuai dengan pakem yang ada. Bahkan berpakaian adat ke pura sudah tidak sesuai dengan estetika seperti memakai kain kamen selutut. Tentunya ini harus mendapatkan perhatian serius sehingga tidak terus menyimpang. Untuk itu workshop pakaian ke pura dan pakaian pengantin yang di gelar pada ajang PKB XL, Sabtu (8/7) di Gedung Ksir Arnawa mendapatkan sambutan baik dari seluruh PKK Kabupaten/Kota se-Bali. Seperti Kota Denpasar yang menampilkan pakaian pengantin khas Denpasar dan menampilkan pakaian ke pura untuk anak remaja dan dewasa. Kadis Kebudayaan Kota Denpasar I Gusti Ngurah Mataram yang menjadi salah satu peserta parade pakaian ke pura mewakili PKK Kota Denpasar mengaku sangat terkesan dengan pengalaman untuk mengikuti parade pakaian ke pura di ajang PKB. “Ini bagai kami merupakan pengalaman berharga karena dapat menampilkan bagaimana berpakaian ke pura sesuai dengan pakemnya,” ujarnya. Di Kota Denpasar sendiri menurut Ngurah Mataram sering dilaksanakan workshop pakaian pakaian sehingga sekarang sebagaian besar masyarakat di Kota Denpasar memahami bagaimana berpakaian sesuai dengan pakemnya. Dengan semakin sering dilaksanakan workshop diharapkan masyarakat semakin paham untuk berpakaian adat sehingga tidak melenceng norma. “Kami harapkan kedepannya tidak ada lagi masyarakat kalau ke pura berpakaian kain sampai di lutut,” ujarnya.
Sementara nara sumber workshop Tude Togog bersama Cok Abi mengaku manfaat dari workshop yang dilaksanakan selama ini benar-benar telah dirasakan oleh seluruh masyarakat di Bali. Hal ini dapat dilihat tidak ada lagi masyarakat yang berpakaian kain sampai di lutut dan memakai kebaya lengan pendek saat ke pura. “Tentu tidak etis jika ke pura mengggunakan kain cukup tinggi hingga memperlihatkan paha ataupun menggunakan kebaya yang transparan. Kita bersembahyang tujuannya mencari keheningan, pastinya konsentrasi akan terganggu kalau melihat gaya busana yang demikian,” ucapnya. Menurut dia, penggunaan kain “kamen” yang benar itu adalah pas di mata kaki dan kain yang melilit panjangnya sejajar hingga ujung terakhir yang menutup dari arah kiri.
“Demikian juga dengan kebaya sebaiknya menggunakan model kebaya kartini dengan ciri khas bagian depan tertutup. Jika menggunakan kebaya dari kain brokat, diupayakan yang bermotif rapat sehingga tidak memperlihatkan dengan jelas lekuk tubuh,” ucapnya. Sedangkan warna kebaya berdasarkan kesepakatan sosial beberapa tahun terakhir, cenderung menggunakan warna kuning dan putih yang melambangkan kesucian. “Berbeda halnya dengan zaman dulu, masyarakat kita lebih memilih menggunakan warna-warna cerah sesuai dengan ciri khas warna Bali. Memang sejauh ini tidak ada pakem khusus dan harus menggunakan warna tertentu,” ucapnya. Sementara untuk tata rambut, ujar dia, bagi anak-anak dan remaja putri dicirikan dengan “pusungan gonjer” yang dicirikan dengan setelah diikat dan digulung ada juntaian rambut ke bawah, sedangkan bagi wanita yang sudah berkeluarga dengan jenis “pusungan tagel”.
“Untuk busana ke pura bagi kaum laki-lakinya pada intinya terdiri atas destar, saput, kamen, kemeja, dan umpal. Kain kamen harus dibuat ujungnya mengarah ke bawah sebagai simbolis menuju ibu pertiwi,” ujarnya. Sedangkan destar atau ikat kepala, kata dia, kedua ujungnya harus mengarah ke atas. Yang tidak kalah penting perpaduan “saput” dan kamen harus terlihat, jangan sampai tertumpuk. “Laki-laki ataupun perempuan dalam penggunaan bunga segar di kepala supaya secukupnya saja. Yang wanita, sangat cocok jika di atas pusungan rambut diisi bunga segar sebanyak tiga hingga lima kuntum. Bagi pria, bunga segar bisa ditaruh di telinga,” kata Tude Togog.(Gst)