BEM Universitas Udayana Catat Tradisi Siat Sambuk, Tradisi Masuryak, dan Tradisi Legong Andir ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
(Baliekbis.com), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Udayana (Unud) Kabinet “Udayana Bangkit” melalui Departemen Kebudayaan menghadiri undangan peserta Kegiatan Kerjasama Pemantauan/Pengawasan di Bidang Kekayaan Intelektual yang bertempat di Discovery Kartika Plaza Hotel, Kabupaten Badung pada Senin (14/8/2023). Dalam kegiatan tersebut dilakukan penyerahan sertifikat pencatatan Hak Kekayaan Intelektual untuk budaya yang sudah berhasil dicatatkan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) oleh Departemen Kebudayaan, Badan Eksekutif Mahasiswa, Universitas Udayana. Budaya-budaya tersebut, yaitu :
- Tradisi Siat Sambuk dengan nomor pencatatan EBT : 51202300189
- Tari Legong Andir dengan nomor pencatatan EBT : 51202300189
- Tradisi Mesuryak dengan nomor pencatatan EBT : 51202300190.
Sekilas gambaran mengenai budaya tersebut, yaitu yang pertama tradisi Siat Sambuk merupakan tradisi dari Desa Pohgending, Desa Adat Poh Gending, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali. Tradisi ini dilakukan pada malam Pengerupukan atau sehari menjelang Hari Raya Nyepi. Tradisi ini digelar pada waktu Sandikala atau sebelum matahari tenggelam. Dalam tradisi ini akan mempertemukan dua kelompok pemuda yang berperang menggunakan senjata sambuk atau serabut kelapa yang dibakar. Tradisi Siat Sambuk dipercaya sebagai penolak bala dan meminimalisir hal-hal negatif di lingkungan desa.
Kemudian yang kedua, yaitu Tari Legong Andir yang berasal dari Desa Tista, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan, Bali. Tarian ini merupakan sebuah tarian dalam bentuk tari Palegongan Klasik yang umum dikenal oleh masyarakat Tista dengan sebutan Andir. Struktur koreografi dari Tari Legong Andir sangat dekat dengan Tari Legong Keraton, hanya yang membedakannya yaitu tarian Legong Andir berkembang di Desa Tista. Tari Legong Andir difungsikan sebagai seni wali dan bebali yang dalam pementasannya akan melibatkan rangda atau perwujudan dari Ida Sang Hyang Widhi yang diistanakan di Pura, baik ditampilkan sebagai bagian dari cerita maupun hanya sebagai “saksi” pementasan. Tari Legong Andir dilestarikan oleh Sanggar Seni Usana Budaya yang berada di Desa Tista.
Lalu yang ketiga, yaitu tradisi Mesuryak yang berasal dari Desa Bongan, Kabupaten Tabanan. Tradisi ini merupakan sebuah bentuk tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Bongan sebagai simbol untuk menghantarkan arwah leluhur kembali ke tempat-Nya, sekaligus sebagai bentuk rasa syukur atas berkah yang telah dilimpahkan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Adapun keunikan dari tradisi Mesuryak, yaitu tradisi ini hanya dilakukan pada Hari Raya Kuningan dan dalam tradisi ini menggunakan sesuatu yang berharga untuk di suryak (dilempar) misalnya uang.
Ketua BEM Universitas Udayana dalam kesempatannya mengapresiasi kinerja dari Departemen Kebudayaan, “Kami dari BEM Universitas Udayana tentunya paham dengan posisi Bali sebagai daerah yang kental akan budaya dan warisan leluhur, sehingga BEM Udayana hadir tidak hanya sebagai mitra kritis pemerintah, namun juga mitra strategis dalam menjaga Budaya Bali. Tentu dengan upaya dan kinerja dari Departemen Kebudayaan yang termasuk ke dalam Bidang Kemasyarakatan, harapannya hal ini mampu menghapus stigma buruk BEM di mata masyarakat dan tentunya melalui pencatatan ini mampu memberikan kepastian dan perlindungan hukum dari obyek EBT yang dicatatkan. Sebagai mahasiswa hukum, saya mencoba mengarahkan Departemen Kebudayaan untuk berfokus pada pencatatan dan perlindungan hukum dari suatu budaya. Saya sangat mengapresiasi Departemen Kebudayaan karena telah berhasil mencatatkan ketiga budaya ini. Tentu saja tiga ini baru awalan, kami targetkan akan ada 50 budaya yang dapat dicatatkan tahun ini,” ucap I Putu Bagus Padmanegara.
Menyambung hal itu, Kepala Departemen Kebudayaan juga akan selalu bekerja keras di dalam berupaya menjaga kelestarian kebudayaan yang ada di Bali khususnya, “Tentu bukanlah hal yang mudah untuk dapat mencatatkan budaya yang ada, khususnya di Bali. Karena di setiap daerah memiliki budaya yang hampir sama, hanya saja tentu terdapat perbedaan yang dipengaruhi oleh daerah hingga masyarakat di dalamnya. Kita di Departemen Kebudayaan di dalam proses pencatatan telah melalui proses seperti permohonan izin untuk pencatatan, penggalian informasi dengan turun langsung ke desa terkait, pembuatan berkas, hingga pada akhirnya setelah melalui beberapa revisi yang diberikan oleh pihak Kemenkumham, budaya tersebut dapat dicatatkan. Ini bukanlah pekerjaan yang mudah, akan tetapi bukanlah pekerjaan yang tidak mungkin untuk dituntaskan,” ucap I Gusti Ngurah Made Prabhaswara.