Bentara Budaya Bali Gelar Dialog “Sastra dan Kemanusiaan”
(Baliekbis.com), Program Dialog Sastra seri #68 yang berlangsung di Bentara Budaya Bali (BBB), Sabtu (14/12) mengulas sejumlah pertanyaan kritis seputar sastra dan kemanusiaan. Bukan hanya membincangkan kisah-kisah kemanusiaan dalam karya sastra Indonesia maupun dunia, namun utamanya didialogkan pula perihal peran pengarang atau sastrawan dalam mengkritisi fenomena-fenomena sosial di sekitarnya.
Tematik dialog sastra kali ini juga sengaja dipilih selaras memaknai Hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang jatuh pada 10 Desember.Adapun sebagai narasumber dialog yakni Dr. Dra. Maria Matildis Banda, M.S. Beliau merupakan seorang sastrawan yang juga dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana.
Melalui paparannya yang padat, terstruktur serta menyeluruh, Maria Matildis Banda mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkembang di seputar dunia susastra dan sisi-sisi kemanusiaan di dalamnya. Semisal tentang, masihkah karya sastra berperan menginspirasi cara pandang masyarakat perihal nilai-nilai kemanusiaan, kesetaraan sekaligus penghargaan terhadap keberagaman, termasuk bagaimana peran sastra di masa kini dan mendatang, sebagai sebuah refleksi sosial.
Maria memberikan sejumlah contoh dan ulasan karya-karya sastra Indonesia, yang menurutnya relevan dan mengangkat nilai-nilai kemanusiaan, antara lain novel Rabies (Maria Matildis Banda), Lolong Anjing di Bulan (Arafat Nur), Tiba Sebelum Berangkat(Faisal Odang), Orang-Orang Oetimu (Felix K. Nesi) dan lain-lain.
Menurut Maria, sastra dan kemanusiaan adalah pertanyaan tentang perjalanan menuju pada “Ada Siapa”. Bukan pertanyaan tentang “Ada Apa”, yang semata ukuran ekstrinsik, material, bibit bebet bobot, pangkat, jabatan, kekayaan, untung rugi, dan sejenisnya.
“Aspek instrinsik kemanusiaan adalah harkat dan martabat manusia itu sendiri. Jadi, yang harus menjadi acuan kita adalah perihal konteks ‘siapa’. Sastra sesungguhnya dapat turut memberikan sumbangsih bagi kemanusiaan apabila tema-tema sastra secara sadar dipilih demi memperjuangkan nilai intrinsik kemanusiaan tersebut, siapapun dia, ” ujarnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa sumbangan sastra bagi kemanusiaan apabila masa depan sastra dan kemanusiaan di Indonesia didasarkan pada karakteristik kebhinekaan, HAM, Pancasila, dan NKRI. Serta apabila sastrawan memiliki tanggung jawab parrhesia (hal-hal tentang kebenaran) dan parrhesiasist (pewarta kebenaran) dan berani menanggung risiko karenanya.
Maria juga menyinggung perihal bagaimana sebuah karya sastra dapat berperan sebagai sarana rekonsiliasi terhadap peristiwa maupun tragedi kemanusiaan yang terjadi di masa lalu.
“Sastra adalah sebuah jalan keluar berbagai konflik kemanusiaan, sarana rekonsiliasi. Contohnya pada novel Lolong Anjing di Bulan, itu merupakan sebentuk rekonsiliasi masalah perang dan kemanusiaan di Aceh,” ungkap Maria yang sempat mengikuti Sandwich like Program di KTLV dan Universitas Leiden di Leiden Belanda tahun 2011.
Menanggapi beberapa pertanyaan dari hadirin, Maria juga menyampaikan pandangannya bahwa apabila sebuah “karya sastra” yang nilai kemanusiaannya rendah, maka karya itu patut dipertanyakan kembali keabsahannya sebagai sebuah karya sastra.
“Realitas yang kita hadapi 10 tahun terakhir adalah kita diobrak-abrik oleh teknologi informasi, media sosial dan banyak hal. Sangat susah untuk mencari nilai luhur di tengah segala yang serba instan. Namun saya percaya bahwa karya sastra masih memiliki kelompok pembacanya. Meskipun jumlahnya kecil, tapi itu sudah cukup menjadi seperti ‘ruh’ di tengah belantara yang luas, “ pungkasnya. (ist)