“BERSAUDARA DI BAWAH LANGIT”, HUBUNGAN PANJANG DAN ERAT INDONESIA-TIONGKOK
TIONGKOK merupakan salah satu mitra dagang paling strategis bagi Indonesia. Demikian juga dalam hubungan kebudayaan. Hubungan kedua negara ini telah terentang hingga lebih satu milenium. Fakta-fakta ini agaknya perlu diketengahkan kembali di tengah merebaknya akhir-akhir ini sentimen rasial oleh orang-orang berpandangan sempit di tengah merebaknya wabah virus corona.
Seperti kita tahu, wabah tersebut memang awalnya terdeteksi di salah satu daerah di Tiongkok dan memaksa pemerintah negeri Panda tersebut mengerahkan semua kekuatan dan energi dalam perang terhadap wabah. Dalam situasi krisis yang semestinya mengundang simpati tersebut, hoaks, lelucon dan berbagai sentimen kebencian justru diumbar berbagai kalangan tak berperikemanusiaan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Tak ada manusia di dunia yang menghendaki apalagi menjemput malapetaka.
Karena itu, siapapun yang tertimpa musibah, semestinya mendapat simpati kemanusiaan. Agak mengherankan bahwa banyak orang di Indonesia, yang sering dibanggakan sebagai masyarakat berbudaya, tak mampu menunjukkan simpati kemanusiaan tersebut.
Sebagai salah satu upaya untuk menangkis berbagai hoaks dan menghentikan mobilisasi ujaran-ujaran kebencian tersebut, para seniman lukis mengadakan pameran bertajuk “Di Bawah Langit Kita Bersaudara, Wuhan Jijou”, Jumat 6 Maret 2020 di Sudakara Art Space, Sudamala (Sanur). Pagelaran tersebut diselenggarakan Konsul Jenderal Republik Rakyat Tiongkok di Depasar.
Hubungan Panjang dan Erat
Pameran lukisan tersebut hendak menggugah kesadaran banyak orang bahwa hubungan Indonesia-Tiongkok yang begitu erat telah terjalin sejak lebih 1000 tahun lalu. Maka kalau hari ini kita membaca statistik BPS, yang menempatkan Tiongkok sebagai tujuan ekspor terbesar Indonesia dan sebagai negara dengan investasi terbesar di Indonesia, hal itu wajar saja karena hubungan dua negara ini telah terjalin begitu panjang.
Mampirlah sekali-sekali ke Museum Indonesia, niscaya anda menemukan koleksi keramik Tiongkok yang diakui dunia sebagai salah satu terlengkap di dunia, memuat koleksi dari dinasti Han, Tang, Sung, Yuan, Ming, dan Dinasti Qing. Hubungan Nusantara dengan Tiongkok Kuno telah terjalin sejak abad ke-7. Nusantara merupakan bagian dari jalur perdagangan maritim, dikenal sebagai jalur sutra, yang menghubungan Tiongkok, India dan dunia Arab.
Hubungan budaya dan perdagangan yang terentang panjang tersebut seakan hendak diingkari oleh para pengumbar kebencian, entah karena keterbatasan pengetahuan ataupun karena motivasi-motivasi sempit.
Perang Bersama terhadap Wabah
Di tengah kecemasan terhadap ancaman wabah corona virus, yang tentu akan berdampak luas termasuk ke bidang sosio-ekonomi, penting untuk saling bahu membahu dan saling belajar. Cukup melegakan bahwa pemerintah Tiongkok sejauh ini dapat menangani peperangan akbar terhadap wabah tersebut, mengendalikan situasi dan kini memulai langkah-langkah pemulihan. Tapi di luar negeri Tirai Bambu tersebut, perang sepertinya baru dimulai, termasuk di Indonesia, kendati memiliki jauh lebih banyak waktu untuk mempersiapkan diri sebelumnya.
Melihat skala penularan virus di Tiongkok, cukup mengagumkan bahwa pemerintah di sana mampu mengendalikan situasi, kendati tanpa persiapan sebelumnya. Sulit membayangkan apa yang akan terjadi seandainya skala serupa menyerang negara lain. Karena itu kehebatan Tiongkok menangani serangan masif tersebut di kota-kota padat penduduk, selayaknya dijadikan pelajaran berharga.
Setidaknya kita belajar arti penting ketersediaan infrastruktur, birokrasi yang efektif, etos kerja dan sistem yang saling mendukung. Demikian juga dengan kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah mengatasi musibah. Elemen-elemen tersebut merupakan kunci utama yang membuat pemerintah Tiongkok dapat menangani masalah dan mengendalikan situasi.
Kendati saya telah menyaksikan sendiri kehebatan pembangunan infrastruktur, birokrasi, etos kerja dan elemen-elemen lain, dalam lawatan ke Tiongkok beberapa bulan lalu, tetap mengagumkan mengikuti pemberitaan bagaimana negeri dengan penduduk terbesar di dunia tersebut dapat mengkarantina dan menangani kepanikan warganya dalam kota-kota yang berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa.
Bahkan negara adidaya Amerika Serikat belum tentu sanggup menjalankan langkah serupa.
Indonesia perlu belajar bagaimana pemerintah Tiongkok membangun kepercayaan warganya sehingga semua mengikuti instruksi dan tidak menyebarkan kabar-kabar yang dapat memicu kepanikan. Sekali lagi, perang terhadap wabah tersebut baru dimulai di Indonesia, kendati dampaknya terhadap ekonomi telah lebih dahulu terasa terutama pada sektor pariwisata.
Insentif-insentif ekonomi yang kini mulai dikucurkan pemerintah untuk merangsang pasar tidak akan bekerja efektif jika pemerintah tidak terlebih dahulu membangun kepercayaan warga tentang kesiapan dan kemampuan menangani badai yang mungkin masih akan menerjang. Langkah serupa juga ditempuh oleh pemerintah Tiongkok dengan mengucurkan berbagai insentif, misalnya bagi pembeli mobil, tapi langkah tersebut diambil setelah terlebih dahulu membuktikan bahwa pemerintah mampu mengendalikan wabah tersebut sehingga tidak terus meluas.
Jika Indonesia terus menerus menyibukkan diri dengan hoaks, pernyataan kontroversial dan berbagai ujaran kebencian, maka tidak tertutup kemungkinan negeri inilah yang akan mengalami kerugian terbesar dari wabah tersebut. Saatnya semua negara di dunia bahu-membahu memenangi peperangan ini, karena seperti tajuk pameran lukisan kemarin, “Di Bawah Langit, Kita Bersaudara”. *Putu Suasta, alumnus Cornell University
Membangun jembatan pererat persahabatan, lebih manfaat daripada bangun tembok pelindung yg blm tentu manfaatnya.