Bertemunya Tradisi dan Modernitas di Panggung Nawanatya
(Baliekbis.com), Teater Orok mengisi pentas kreativitas mahasiswa yang digelar setiap akhir pekan di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya, Denpasar, Sabtu (27/10) malam. Mereka mewakili mahasiswa Universitas Udayana. Teater Orok – Universitas Udayana menampilkan sebuah operet bertajuk “Balingkang”.
Cerita tradisional namun dibalut dengan gaya operet yang modern mengisahkan tentang Raja Jayapangus yang jatuh hati dengan Kang Cing Wie. Setelah mempersunting gadis dari negeri tirai bambu itupun, kerajaan yang dipimpin Raja Jayapangus mengalami kekacauan. Hal ini pun diperburuk dengan pernikahan Raja Jayapangus dan Kang Cing Wie yang tak kunjung dikaruniai buah hati. Akhirnya untuk mendapatkan keturunan, Raja Jayapangus pun memutuskan untuk melakukan pertapaan di Danau Batur dan memohon kepada Dewa Siwa agar mendapat anak. Sayang, bukannya mendapat keturunan Raja Jayapangus justru jatuh hati kepada Dewi Danu yang menjadi penjaga Danau Batur. Mereka menikah dan dikarunia seorang anak laki-laki.
Sementara itu di istana, Kang Cing Wie setia menanti kepulangan suaminya, Jayapangus yang sudah tiga setengah tahun lebih tidak kembali dari pertapaannya. Kang Cing Wie gelisah dan kemudian menyusul ke pertapaan Jaya Pangus, untuk melihat keadaan suaminya. Kang Cing Wie terkejut dan kesal ketika menemui Jayapangus telah menikah dengan Dewi Danuh.
Namun, Dewi Danu lebih kesal lagi, lantaran baru mengetahui nyatanya Raja Jayapangus telah memiliki seorang istri. Melihat hal itu, Dewi Danu pun mengutuk Raja Jayapangus dan Kang Cing Wie menjadi Barong Landung yang hingga kini menjadi mitologi khas masyarakat Bangli. Menurut sang sutradara, Nadia Kirana dipilihnya cerita Balingkang sendiri lantaran mengandung unsur kearifan lokal. Kaya pesan juga bagaimana kita setia terhadap pasangan dan ini juga menjadi salah satu mitologi yang memperlihatkan kearifan lokal wilayah Bangli, ungkap Nadia. Penampilan Teater Orok kali ini tergolong apik dan menghibur penonton yang hadir di Gedung Ksirarnawa.
Menurut Nadia, keberadaan Bali Mandara Nawanatya hendaknya senantiasa menjadi sebuah kegiatan yang sifatnya berlanjut. Ini wadah untuk kita berkarya, zaman seperti ini susah mencari wadah untuk show off kita ini siapa, Nawanatya jangan sampai berhenti, pesan Nadia. Tidak hanya Nadia, pada satu kesempatan, pengamat seni, I Wayan Dibia juga berharap agar Nawanatya ini berlanjut ke depannya. Karena sebenarnya melalui ajang Bali Mandara Nawanatya yang sudah berjalan menginjak tahun ketiga ini, telah memberi ruang berkrekspresi seniman muda di Bali. Di Nawanatya ini mereka berekspresi. Yang bagus-bagus akan berlanjut ke PKB (Pesta Kesenian Bali-red). Dan puncak-puncak berkesenian akan ditampilkan di Mahalango. Jadi ada keberlanjutkan berkesenian, tutur Dibia. Sementara pementasan lainnya malam itu dari Universitas Mahasaraswati yang menampilkan fragmentari bertajuk “Singlar Mas”. (gfb)