Damantra: Tol Bali Mandara Seharusnya Gratis
(Baliekbis.com), Kalau saja kegiatan pembangunan di Bali bisa disebar secara merata ke seluruh kabupaten yang ada, bukan saja kemacetan tak akan terjadi seperti sekarang ini. Juga dampaknya bagi perekonomian rakyat akan bisa tumbuh merata sampai ke desa-desa. “Karena itu untuk mengurai kemacetan di jalan raya maka kuncinya pembangunan harus bisa disebar merata. Ini tugas pemerintah dan saya yakin bisa kalau ada kemauan kuat untuk itu,” ujar anggota Komisi VI DPR-RI Nyoman Damantra saat diminta tanggapannya, Senin (21/8) di Damantra Centre Jalan Kenyeri Denpasar.
Pembangunan jalan tol atau underpass yang sudah berjalan selama ini dikatakannya hanya solusi sementara, kalau akar kemacetan itu sendiri tak terpecahkan secara holistik. Buktinya meski jalan tol Bali Mandara sudah dibangun dan underpass dibuka toh kemacaten masih terjadi dan diprediksi akan semakin parah ke depannya. Pasalnya jalan yang ada tak bertambah seiring pesatnya pertumbuhan kendaraan. Pemerintah boleh saja mengejar pertumbuhan ekonomi dari pemasukan pajak kendaraan. Tapi harus pula mencarikan solusinya agar pemakai jalan yang sudah membayar pajak juga bisa menikmati fasilitas secara memadai. “Sekarang ini kan belum seperti yang diharapkan. Target pajak sepertinya menjadi tujuan dan pemerintah hadir sebagai konglomerasi,” tegas tokoh PDI Perjuangan Bali ini.
Damantra melihat keberadaan jalan tol sebenarnya bisa lebih efektif dalam mengurai kemacetan selain solusi seperti angkutan massal. Sekarang ini pengguna jalan tol terbilang belum maksimal. Jalan tol masih banyak lengangnya. Bahkan pihak terkait menyebutkan kalau bisnis jalan tol ini belum untung. Salah satu penyebabnya karena tarif masuk tol masih terbilang lumayan mahal bagi masyarakat di tengah ekonomi yang melambat belakangan ini sehingga sedikit pengguna jalan cepat ini. “Seharusnya pemakai jalan tol itu tidak perlu bayar alias gratis,” ujar Damantra. Pasalnya pembangunan fasilitas jalan sudah menjadi kewajiban pemerintah dan kemacetan itu terjadi salah satu penyebabnya karena dampak kebijakan pemerintah itu sendiri.
“Kan yang bikin macet juga pemerintah yang terus membangun di wilayah itu (Bali selatan –red). Coba kalau pembangunan disebar merata ke Bali Utara, Bali Timur dan Bali Barat, saya yakin tak ada kemacetan lagi karena perekonomian ikut tersebar di sana,” ujarnya. Untuk itu Damantra berharap ke depannya konsep pembangunan dirancang lebih matang dan untuk jangka panjang. Tidak seperti yang telah berjalan dimana konten lokal tak merasakan dampaknya. Damantra mencontohkan berdirinya sebuah hotel selain telah menggusur masyarakat terdekat juga tak memberikan nilai tambah bagi warga tersebut. Pasalnya sebagian besar fasilitas hotel justru didatangkan dari luar. “Jadi masyarakat sekitar tak dapat apa-apa dan ini jelas merugikan,” ujarnya. Konsep seperti tak boleh dibiarkan terus karena masyarakat sekitar akan semakin terpinggirkan.
Damantra juga mengakui beban orang Bali makin berat karena berbagai tanggungan termasuk kewajiban adat seperti Ayah-ayahan, Aci-aci dan Aban-aban atau dikenal 3A. Namun hal itu akan bisa diatasi kalau pemberdayaan masyarakat diperhatikan pemerintah seperti memberi peluang dan akses yang seluas-luasnya serta meningkatkan kualitas SDMnya. “Dulu orang Bali (krama adat) bisa membangun pura besar dan fasilitas adat dengan biaya tinggi secara swadaya tanpa bantuan luar. Ini bisa dilakukan karena saat itu kemandirian ekonomi masyarakatnya betul-betul terjaga. Harga komoditas yang dihasilkan petani sepadan dengan jerih payahnya sehingga petani punya uang dan bisa membangun,” tegasnya. Sekarang kemandirian itu sudah menyusut, hasil petani dihargai rendah sehingga petani tak bisa mandiri. Kaum muda tak tertarik bertani, beternak dan berkebun. Dampaknya kian terasa kini dimana untuk membangun mesti cari bantuan sana-sini. (bas)