Disel Astawa: Penentunya Rakyat, Bukan Partai
(Baliekbis.com), Rakyat setiap saat daya pikirnya berubah, mereka berpendidikan dan semakin cerdas. Karena itu upaya meraih kekuasaan dengan cara instan, memberi uang sangat tidak elegan, tidak edukatif dan cenderung membodohi rakyat.
“Di hajatan pemilihan Gubernur Bali sekarang ini bukan memilih partai tetapi memilih figur. Mereka memilih seorang pemimpin Bali yang bisa mengayomi rakyat Bali. Bukan seorang pemimpin yang membodohi rakyat Bali dengan memberikan cara-cara instan seperti gelontoran uang,” ujar Anggota DPRD Bali asal Kuta Selatan Disel Astawa, Jumat (2/3) di Denpasar. Ia mengibaratkansama saja kalau kita mengkonsumsi makanan. Kalau makanan itu diberi pupuk kimia maka akan ada penyakit. Semestinya harus cari yang organik yang menyehatkan tubuh.
Menurutnya analisanya, semestinya partai bisa menempatkan antara Pilgub dan Pileg pada porsinya, bukan mencampuradukkan antara Pilgub dan Pileg. “Pilgub itu koalisi banyak partai karena UU mengamanatkan apabila tidak mencapai 20 persen maka partai harus berkoalisi. Sementara kalau Pileg itu rakyat memilih partai politik. Kalau dalam Pilgub harus berkoalisi maka di sana adalah rakyatlah yang memilih gubernurnya. Penentunya adalah rakyat bukan lagi partai,” tegas tokoh Ungasan yang beberapa periode duduk sebagai wakil rakyat ini.
Menurutnya dalam demokrasi sekarang ini partai tidak bisa seenaknya mendikte orang. Hak memilih dan dipilih tidak boleh dipasung. Biarkan rakyat memilih pemimpinnya sendiri. Rakyat tidak boleh diarahkan. “Katanya kita revolusi mental, reformasi. Apakah kita harus kembali melihat kekurangan ke belakang di Orde Lama, Orde Baru, bagaimana kekurangan kita di masa lalu. Tentu saja tidak. Kita harus bergerak ke arah yang lebih baik,” tegasnya.
Berangkat dari kondisi itu, Disel menegaskan, jika di Kuta Selatan pihaknya tetap memberikan pencerahan agar masyarakat tidak mudah terintimidasi, tidak mudah diarahkan, apalagi diiming-imingi dengan sumbangan dan bantuan. Di Kuta Selatan rata-rata masyarakatnya sudah cerdas, pendidikan sudah semakin tinggi. Pendidikan mereka minimal SMA hingga sarjana. Mereka sudah paham. “Ini harus mulai pelan-pelan diarahkan agar masyarakat itu bisa berdaulat di bidang politik. Harus dimulai dari masyarakat kecil. Kalau orang sudah berdaulat secara politik, baru kita bisa berdikari secara ekonomi. Kalau hanya bersumber dari hibah, hibah, hibah dalam pembangunan masyarakat, tentu kita tidak mandiri, hidup terus bergantung pada bantuan hibah, bansos dan sebagainya,” ujarnya. Kalau hidup hanya tergantung, maka masyarakat yang saat ini menghadapi MEA, akan kalah. Berbudaya itu asasnya adalah gotong royong. “Sekarang kalau konsepnya harus pilih A, pilih B, maka demokrasi akan terus kerdil, terus berada di bawah, tidak maju-maju negeri ini. Masyarakatnya terus tergantung,” ujarnya.(nwm)