Diskusi Mengenang Jejak Prof. I.B. Mantra dalam Menata Bali: Pariwisata dengan Budaya yang Bernafaskan Agama Hindu
(Baliekbis.com), Diskusi bertajuk “Mengenang Jejak Langkah Prof. I.B. Mantra Dalam Menata Bali” diselenggarakan oleh Pasraman Generasi Hindu Nasionalis Patriot Sejati (Ghanapati) bertempat di Balai Jabe Pura Dalem Bungkeneng Tonja, Sabtu (12/10).
Diskusi yang juga diisi dengan Dharma Tula dihadiri Anggota DPD RI dapil Bali Dr. I. B. Rai Dharmawijaya Mantra. Hadir sebagai narasumber yakni Prof. Dr. I Ketut Sumadi, M.Par., Prof. Dr. I.B. Suamba,M.A. dan Dr. Drs. I Putu Gede Sridana,M.Si. Diskusi dipandu
Dr. Drs. I Gusti Made Ngurah,M.Si.
Dalam diskusi mengemuka pemikiran dan konsep Prof. IB Mantra dalam Menata Bali melalui Tri Hita Karana dinilai sangat penting dan relevan hingga saat ini.
Prof. IB Mantra sebagai Gubernur Bali ke-6 yang menjabat dari tahun 1978-1988, semasa kepemimpinannya, benar-benar menerapkan konsep Tri Hita Karana dalam pembangunan Bali. Apa yang dilakukan mantan Dirjen Kebudayaan RI dan mantan Dubes Luar Biasa di India ini untuk menjaga keharmonisan alam dan budaya Bali.
Prof. Ida Bagus Mantra adalah tokoh di balik berdirinya Fakultas Sastra Udayana cabang Unair. Ia kemudian diangkat sebagai Dekan Fakultas Sastra dan membidani lahirnya Unud. Karena itulah ia kemudian dipercaya menjabat Rektor Unud yang pertama (1964-1968).
Banyak hal yang dilakukan Prof. Mantra di antaranya menggagas terbentuknya Maha Widya Bhawana Institut Hindu Dharma (IHD), salah satu pendiri PHDI Bali. Di tahun 1968-1978, Prof. Mantra dipercaya sebagai Direktur Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Saat menjabat Gubernur Bali (1978-1988), Prof. Mantra menggulirkan PKB (Perta Kesenian Bali) setelah sebelumnya mendirikan Art Center dan Bali Budaya di kabupaten-kabupaten untuk pelestarian seni dan budaya.
Sebagai Gubernur Bali, Ida Bagus Mantra, secara nyata mengejawantahkan falsafah Tri Hita Karana seperti dalam pembangunan kantor atau gedung-gedung di Bali yang ditata dengan konsep dan bentuk bernuansa arsitektur Bali dan memberlakukan ketetapan pembangunan gedung-gedung kantor, hotel dan lainnya tidak boleh melebihi ketinggian pohon kelapa yang sampai sekarang masih berlaku.
Di saat kepemimpinannya lahir pula lomba desa adat dan lomba subak se-Bali, dan menempatkan desa adat/pakraman dan LPD.
Anggota DPD RI dapil Bali Rai Mantra sangat mengapresiasi kegiatan yang dilaksanakan oleh Pasraman Ghanapati binaan Nyoman Suprapta.
”Sebagai seorang pengawi sastra, dipandang perlu mengenang dan menoleh kembali pemikiran-pemikiran dan tindakan Prof. IB Mantra dalam meletakkan pondasi landasan kebudayaan Bali sebagai lokomotif pembangunan Bali di zaman sekarang. Sekaligus melalui kegiatan ini dapat menyerap aspirasi dari narasumber dan masyarakat,” ujarnya.
Menurut Prof. Sumadi konsep Tri Hita Karana dan pariwisata budaya yang diletakkan oleh Prof. IB Mantra secara jelas menyebutkan pariwisata dengan budaya yang bernafaskan Agama Hindu.
Sedangkan Dr. Sridana yang juga Bendesa Adat Tonja dengan tegas mengatakan, keberadaan desa adat pada saat itu benar-benar otonom di bawah pendampingan MPLA dan keberanian Prof. IB Mantra dalam menjaga eksistensi desa adat.
Sementara itu Prof. Suamba membahas konsep Tri Hita Karana yang berdasarkan tatwa dimana menyangkut hubungan internal dan eksternal, namun yang menjadi perhatian saat ini lebih banyak menjaga hubungan eksternal. “Kurangnya hubungan ini membuat ketidakseimbangan dari Tri Hita Karana,” tegas Prof. Suamba.
Rai Mantra mengatakan hasil penyampaian aspirasi ini akan menjadi rekomendasi dalam penyusunan produk-produk kebijakan ke depan. Dikatakan penting untuk memperhatikan aspek kebudayaan yang bernafaskan agama Hindu dalam penyusunannya, agar kemajuan-kemajuan zaman tidak menghanyutkan kebudayaan. “Ini dapat dicapai melalui proses Reintegrasi-Reinteraksi-Adaptasi,” tegasnya. (ist)