Djaja Tjandra Kirana: Fotografer Tiga Zaman yang Piawai Analog dan Digital
Awalnya belajar melukis sendiri sejak masih di sekolah dasar. Pada 1963, ia memulai karir sebagai fotografer sambil tetap menikmati kegiatan melukis. Sejak 1985 menunjukkan eksistensinya di bidang seni lukis dan menjadi anggota sejumlah komunitas perupa. Pertanyaan yang sering muncul di benaknya: kenapa di usia semakin tua (77 tahun) semangat untuk menciptakan karya seni justru semakin menggelora.
(Baliekbis.com), Seniman fotografi Djaja Tjandra Kirana merasa beruntung bisa menjadi saksi perjalanan bangsa melewati masa orde lama, orde baru, dan zaman reformasi sekarang ini.
Sebagai seniman yang ‘bermain dua kaki’ yakni di seni lukis dan fotografi, Tjandra telah merasakan berbagai peristiwa yang di antaranya terekam melalui karya visual yang ia tekuni.
Tjandra yang genap berusia 77 tahun ini tetap menjalani profesi seniman dengan konsisten dan mengikuti pameran serta memperoleh penghargaan secara nasional maupun internasional.
Sepanjang karir seni fotografi, Tjandra menggunakan kamera analog dan kini mau tidak mau ikut perkembangan kamera digital yang membuatnya juga mendalami olah foto photoshop.
“Sejak SMP saya tertarik melukis dan kemudian juga menyukai fotografi yang saya tekuni sejak 1963,” ujarnya, di sela-sela perayaan ulang tahun bersama sahabat, Rabu 29 Juni 2022.
Banyak peristiwa penting kegiatan Presiden Soekarno di Bali yang ia abadikan, sayangnya ia tidak memiliki karya tersebut karena telah dibakar demi keselamatan diri dan keluarganya.
Karya fotografi Tjandra sangat beragam mulai dari kehidupan manusia (human interest), jurnalistik (photojournalism), pemandangan (landscape photography), model (photography modelling), jalanan (street photography), hingga potret (portrait photography) yang ia kerjakan di berbagai negara.
Namun, kecenderungannya lebih banyak menampilkan objek seni dan budaya, terutama tradisi dan ritual di Bali seperti karya bertajuk “Ngusaba Guling” berlokasi di Desa Timbrah, Karangasem. Ini merupakan tradisi setahun sekali persembahan kepada Tuhan berupa babi guling sebagai rasa terima kasih warga atas limpahan karunia berupa hasil bumi dan ternak.
Pada karya lain berjudul “Legong” difoto Tjandra dengan teknik dan pengaturan kecepatan sehingga membuat dua penari tampak hidup membawakan tari dengan lemah gemulai.
Sebuah foto yang berlokasi di Selat, Karangasem berjudul “Penari Baris”, menunjukkan adegan sejumlah seniman tari baris, begitu pula dengan “Ngusaba Nasi” yang sangat ditungu-tunggu para fotografer.
Tak ketinggalan upacara adat di Bungaya dan Tenganan yang sangat sohor dan membuat fotografer berlomba-lomba untuk mendapatkan “angle” yang menarik.
Pengakuan dunia internasional ia miliki di antaranya penghargaan ARPS Inggris, Thailand serta PSA dari Amerika Serikat, sedangkan dari tingkat nasional seperti PAF Bandung dan sejumlah institusi lain.
Sedangkan dalam karya seni lukis, budayawan Jean Couteau mengatakan Tjandra sangat jeli menangkap bauran budaya dari tanah leluhurnya, China, dan Bali, tempat ia lahir dan dibesarkan.
Ia menambahkan Tjandra tidak hanya mencermati aktivitas dan interaksi manusia, tetapi juga benda-benda mati seperti vas bunga, keramik, kain, dan lain-lain seperti dalam karya dengan tema alam benda (still life) dalam pameran ini.
Seperti halnya dalam fotografi yang intens mengabadikan seni budaya, dalam lukisan Tjandra juga memerhatikan sejumlah peralatan upacara, arsitektur, serta berbagai ikonografl yang menggambarkan silaturahmi budaya pada masa lampau yang kini cair dalam keseharian. (ist)