Dr. I Gede Wardana, S.E, M.Si: Keharmonisan Keluarga Adalah ‘Jantung’ Kehidupan
(Baliekbis.com), Meski telah menjalani beragam profesi dan pekerjaan yang terbilang cukup bergengsi, sosok Dr. I Gede Wardana, S.E, M.Si. tetap tampil sederhana. Sesibuk apapun profesi dan kegiatan sosial yang dia lakoni, urusan rumah tangga tetap menjadi prioritasnya. Keluarga merupakan ‘jantung’ bagi mantan Bupati Buleleng ini.
Dr. Wardana mencontohkan, sebagai bupati waktu itu selain pekerjaan di kantor, kegiatan sosial di masyarakat yang cukup banyak menyita waktunya. Namun ia tetap mengutamakan keharmonisan keluarga di tengah kesibukannya.
Dalam pandangannya, keluarga merupakan ‘jantung’ baginya. “Tak ada yang lebih indah dari keluarga,” ucap Ketua BERSAMA Bali yang juga aktif sebagai Dosen FEB Unud ini dalam sebuah wawancara belum lama ini.
Sebagai ilustrasi, kata Ketua Mata Kuliah Umum Unud ini, ada sosok yang dianggapnya sebagai penerang yakni istri. “Dia yang senantiasa meyakinkan saya dan penyemangat tentang pekerjaan apapun yang dilakukan,” ucapnya santun.
Hidup sederhana dan menjaga etika dalam pergaulan disebutnya sebagai kunci utama keluarga harmonis. Hal inilah senantiasa ditekankan kepada ketiga anaknya sehingga nantinya bisa mandiri.
“Kesederhanaan sudah ditanamkan sejak kecil oleh kedua almarhum orangtua saya,” ungkap ayah tiga anak yang mempersunting Dra. Ni Made Sutarmiasih ini. Berbincang tentang bagaimana pandangannya tentang penduduk asli dan penduduk pendatang, Dr. Wardana mengatakan, penduduk asli maupun pendatang tidak perlu dipertentangkan.
Ketua FKKB Bali ini mengemukakan, sejatinya pembauran dianjurkan sejak pemerintahan Soekarno. Pada era Orde Baru terkesan pembauran diarahkan pada WNI keturunan Tionghoa.
Kemudian kebijakan mantan Presiden Abdurrahman Wahid memberi angin segar. Pertanyaannya dengan semaraknya Barongsai apakah menjadi tolok ukur keberhasilan pembauran?
Kemudian muncul fenomena baru tentang warga pendatang sering dicurigai. Kemudian ada sebutan penduduk asli dan penduduk pendatang. “Saya melihat adanya penggembosan pembauran,” ucap Ketua Bakom PKB dan Ketua FKKB Bali ini.
Sudah ada Bakom PKB, mengapa dibentuk FKKB? Badan Penghayatan Kesatuan Bangsa sebagai wadah para pemikir di bidang pembauran dalam struktur organisasi, tidak mempunyai hubungan vertikal dan horizontal dengan organisasi Bakom PKB lainnya. Lebih berfungsi sebagai policy maker. Operasionalnya ditangani Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa yang dalam struktur organisasinya memiliki hubungan timbal balik antara FKKB Pusat, Propinsi, Kabupaten dan Kecamatan.
Untuk mengimplementasikan gagasan dan program pembauran, FKKB lebih dinamis, fleksibel dan independen. Apakah Bakom PKB tidak independen? “Bakom PKB independen tetapi selama ini dikesankan Bakom PKB bentukan pemerintah, jadi ada kesan sementara orang, Bakom PKB kurang independen,” lanjutnya.
Sedangkan FKKB terbentuk berdasarkan aspirasi dari bawah. Seberapa jauh FKKB terbentuk di Bali? Di tingkat provinsi telah dibentuk, selanjutnya Kota Denpasar, Kabupaten Badung dan Buleleng. Yang mendapat mandat memprakarsai pembentukannya adalah Ketua dan Ketua Dewan Penasehat Bakom PKB setempat.
Proses pembauran saat ini seperti apa? Di Bali, proses itu berkembang pesat, bukan hanya pembauran antardaerah, juga antarnegara. Hal itu bisa dilihat dari adanya kawin campuran, pembangunan tempat ibadah lima agama dalam satu kompleks di Nusa Dua namun disamping hasil positif itu, perlu diwaspadai kemungkinan berkembangnya pandangan yang melihat pembauran hanya di kulit, belum sampai di rasa dan hati.
Jika harus diwaspadai, kemungkinan berkembangnya eksklusifisme model baru. Contohnya, kawin campuran, bisa disebutkan sebagai bagian proses pembauran. Pembauran dalam wujud fisik itu harus dikembangkan menjadi pembauran rasa dan hati. Keharusan agar pasangan pria-wanita menyelenggarakan perkawinan berdasarkan atas agama yang dipilihnya, belum menjamin terwujudnya pembauran. “Inti pembauran adalah berbaurnya rasa dan hati, meskipun berbeda agama dan etnis,” jelas Dr. Wardana.
Apakah semua itu berlaku untuk semua aturan? Ya. Misalnya aturan berupa awig-awig desa adat atau banjar jangan terlalu ketat, sebaliknya harus mampu melahirkan konsep integrasi regional dan nasional di bidang kependudukan. “Kita harus kembali pada pemahaman, manusia adalah makhluk sosial, sama-sama ciptaan Tuhan,” demikian Pak Wardana, sapaan akrabnya. (ist)