Dr. Sutarya: PHDI Perlu Bentuk Tim Penyelarasan Umat, Perbanyak Ajang Dialog Hindu
“Kurang baik kalau hidup tidak mau berbaur, penting hidup inklusif bisa saling menyapa”
(Baliekbis.com),Wakil Ketua Ikatan Cendikiawan Hindu Provinsi Bali Dr. I Gede Sutarya mengharapkan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) membentuk Tim Penyelarasan Agama Hindu.
“Lembaga keumatan kita ini harus intens melalui Tim Penyelarasan PHDI, antara kelompok penganut Veda sampradaya dengan kelompok tradisi,” kata Sutarya yang juga Dosen UHN I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar di Denpasar, Selasa (1/9).
Upaya itu dalam menjaga keharmonisan dan saling mengerti antar umat bergama. “Dengan sering-sering menggelar dialog keagamaan sehingga perbedaan pemahaman dan persepsi dapat dicarikan benang merah,” tambahnya.
Untuk itu, polemik umat yang terjadi dapat dijadikan pembelajaran yang berarti sehingga ke depan tidak terulang kembali. Dikatakan negara pun menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya maupun kebebasan berserikat dan berkumpul.
Pehaman itu begitu penting disampaikan kepada umat agar tidak terjadi pemasalahan yang meruncing. Ketika orang sudah percaya sama Veda atau Panca Sradha mereka sudah dikatakan sebagai Hindu Dharma.
Sementara Hindu Dharma itu sangat luas, beragam keyakinannya, termasuk adanya sampradaya. Oleh karena umat Hindu telah berkembang lebih dari 5.000 tahun, tentunya menimbulkan perbedaan, banyak variasi tetapi dalam satu nilai yang sama.
Gerakan moderasi itu begitu penting dalam menjawab dinamika perubahan dan perkembangan zaman sehingga umat Hindu tetap eksis menjadikan peradaban menjadi lebih baik.
Oleh karena, era globalisasi sulit membendung pengaruh luar, tetapi penguatan dan pemahaman yang perlu diperdalam sehingga nilai-nilai luhur dapat dipertahankan dalam menghadapi setiap perubahan.
Bahkan Henk Schulte Nordholt menulis buku yang berjudul “Bali Benteng Terbuka 1995 -2005”. Buku tersebut mengisahkan dinamika sosial di Bali dalam satu dasawarsa (1995–2005).
Dalam buku itu diuraikan, Bali sedang menghadapi dilema. Di satu sisi, bagaimana meraih otonomi daerah yang lebih besar, mengingat desentralisasi telah menimbulkan perpecahan administratif
yang membuat tindakan koordinasi di tingkat provinsi menjadi ilusi belaka.
Pada sisi lain, bagaimana menangkal pengaruh luar yang berbahaya dan pendatang yang tidak diinginkan, tanpa mencederai perekonomian Bali yang membutuhkan pengunjung asing, investor dan tenaga kerja murah agar dapat bertahan.
Pada kesempatan itu juga, pihaknya mengingatkan bagi yang menekuni sampradaya agar mampu hidup berdampingan dengan masyarakat (inklusif) bukan eksklusif. “Kurang baik kalau hidup tidak mau berbaur, penting hidup inklusif bisa saling menyapa,” ujarnya. (art)