Efek Psikologis Hambat Laju Bisnis Properti di Bali
(Baliekbis.com), Lesunya bisnis properti dalam beberapa tahun terakhir lebih banyak karena faktor psikologis ketimbang dampak turunnya pertumbuhan ekonomi. “Memang ekonomi agak lesu, tapi masyarakat sesungguhnya masih punya uang untuk bertransaksi bisnis khususnya dalam bidang properti. Namun hal itu tak berjalan dengan baik seperti sebelumnya. Ini karena ada semacam keraguan baik di kalangan pemain properti, masyarakat maupun perbankan yang selama ini banyak mensupport dunia properti,” ujar pelaku bisnis properti Henky Suryawan, Jumat (1/6) saat ditemui di sela-sela pemuteran film “Lima” yang digelar Forum Peduli Merah Putih di Level 21.
Menurut Henky yang aktif di Forum Peduli Merah Putih ini, faktor psikologis ini yang masih menyelimuti pelaku usaha dalam memacu pertumbuhan bisnis ini. Seperti calon pembeli yang masih ragu membeli, pun penjual mengerem usahanya. Masih ada kesan di masyarakat “jangan membeli sekarang karena harga tak menentu dan ada yang bilang jangan menjual karena harga lagi lesu”. Akibatnya banyak yang menunda bertransaksi karena berbagai pertimbangan seperti khawatir harga jatuh sehingga akan rugi. “Ini umumnya terjadi pada mereka yang beli properti untuk investasi,” tambah Henky.
Kondisi tak jauh beda juga menghinggapi para pemain bisnis ini yang juga tak berani banyak berinvestasi karena khawatir sulit menjual. Keadaan ini semakin berat karena perbankan yang sebelumnya banyak “bermain” di bisnis ini juga melihat kondisi yang kurang menjanjikan saat ini. Bahkan menurut sejumlah bankir sebagian kredit macet karena lesunya bisnis properti. “Banyak nasabah kami yang kini kesulitan melaksanakan kewajibannya karena investasinya di properti tersendat,” jelas seorang bankir.
Menurut Henky sesungguhnya bisnis properti bisa melaju kalau berbagai pihak tidak dihantui psikologi itu. Sebab bagi mereka yang butuh rumah, pasti akan tetap membeli meski kebanyakan tipe kecil. Apalagi kebutuhan rumah terus meningkat. Henky mengaku optimis ke depan bisnis ini akan bisa membaik kalau semua yang terlibat punya persepsi sama bahwa properti itu bisnis yang menguntungkan baik dari sisi pemain, konsumen maupun perbankan.
Diakui dalam kondisi seperti ini berbagai opsi terjadi seperti ada bankir yang ekspansi keluar agar dananya tak mengendap karena sulit menyalurkan kredit. Dan sebagian memilih menaruh dananya di bank. Padahal kalau mau pemilik dana bisa menghitung besaran bunga simpanan dengan kenaikan harga dalam bisnis properti. “Kalau punya uang ‘dingin’ saya kira investasi properti masih menguntungkan,” tandas Henky. Di sisi lain Henky mengakui adanya kenaikan pajak yang berlipat ganda menyebabkan daya beli properti ikut terganggu. “Sebab dengan kenaikan yang begitu besar akan menyebabkan harga jadi ikut membengkak dan ini tentu berpengaruh terhadap daya jual,” tegasnya. (bas)