Faisal Basri: Jelang Pemilu Pertumbuhan Ekonomi Terancam
(Baliekbis.com), Ekonom yang juga politikus asal Indonesia Faisal Basri memprediksi jelang pemilu 2024 pertumbuhan ekonomi terancam menurun.
“Pasalnya gak ada yang ngurus ekonomi. Sebab beberapa menteri sibuk nyaleg. Lalu siapa yang ngurus,” ujar Faisal yang juga merupakan salah satu pendiri Mara dan beberapa organisasi nirlaba seperti Yayasan Harkat Bangsa, Global Rescue Network, dan Yayasan Pencerahan Indonesia di sela-sela 6th Bali Business Round Table “Prospek Indonesia (Bali) Terkini” yang diselenggarakan BPR Lestari di Denpasar, Rabu (17/5).
Pada acara yang dihadiri ratusan peserta dari berbagai kalangan itu tampil pembicara antara lain dari OJK Bali Nusra, Kepala KPw BI Bali Trisno Nugroho dan Faisal Basri.
“Bagaimana kita mau negara maju, kalau pertumbuhan ekonomi terus menurun. Memang inflasi terus melandai,” tambahnya.
Menurut Faisal Basri jelang pemilu 2024 ini sampai Tri Wulan 1 pertumbuhan ekonomi tak beranjak lebih dari 5 persen. Padahal janji pemerintah bisa 7 persen. Dalam kenyataannya pertumbuhan ekonomi lambat. “Memang angka 5 persen itu tak terlalu buruk, cuma tak cukup untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi seperti lapangan kerja, kemiskinan, dll. Jadi jangan puas dengan pertumbuhan tersebut,” tandasnya.
“Sepertinya tak banyak yang bisa dilakukan tahun (Pemilu) ini. Yang mengecewakan itu ujung tombak pertumbuhan ekonomi kan investasi. Justru setelah Indonesia memiliki Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi, tapi investasi pertumbuhannya melambat. Biasanya di atas 5% atau 6%, sekarang cuma 2 sampai 3 persen. Kalau Menteri Investasi mengatakan pertumbuhan investasi sampai 16%, tapi data resmi dari BPS (Badan Pusat Statistik) cuma 2 koma sekian,” kritiknya.
Ia juga melihat banyak program pemerintah yang tak jalan. Ada 15 jenis industri, 7 itu kontraksi, minus pertumbuhannya tahun ini, Januari-Maret. Industri peranannya di dalam PDP turun mencapai level terendah tinggal 18,3%.
Faisal menambahkan tugas bank menyedot dana dari masyarakat, lalu menyalurkan kredit. Penyaluran kredit ini kecil sekali cuma 40-an% dari PDP. Di Cina di atas 100 persen. “Jadi pemerintah itu mestinya memberi insentif untuk pelaku ekonomi yang kontribusinya banyak untuk masyarakat,” ujar Faisal. Di sisi lain, ia memuji inflasi yang rendah sekarang ini. Sebab inflasi yang turun ini mendorong penurunan suku bunga.
Sementara itu Alex P. Chandra selaku pemandu acara mengatakan krisis yang terjadi mesti bisa menjadi motivasi ke depannya. Ia mencontohkan pada
1945 Jepang jadi abu. Tapi di 80-an bisa menjadi negara super power bahkan ‘ditakuti’ Amerika. “Kita terus menghadapi krisis hingga covid tahun 2020. ‘Hari hari susah tapi hari hari bisa dilewati juga’,” ujarnya mengutip pepatah Cina.
Perwakilan OJK Bali Nusra Ananda R. Mooy menjelaskan dari sisi perbankan DPK (Dana Pihak Ketiga) tumbuh cukup bagus fiangka 20 persen (yoy). Tapi sayangnya kredit hanya tumbuh 3 persen, ada gap yang cukup besar.
Demikian pula LDR (Loan to Deposit Ratio) masih rendah di bawah nasional. “Banyak dana masyarakat yang belum mampu disalurkan karena ekonomi belum pulih. Tapi NPL (Non Performing Loan-kredit bermasalah) sudah turun,” ujarnya. (bas)