Faisal Basri: Proyek JBC Jangan Dijadikan Kepentingan Pemburu Rente
(Baliekbis.com), Perekonomian Indonesia tumbuh cukup pesat beberapa waktu ke belakang. Pada tahun 2017, tercatat pertumbuhan sebesar 5,17%, meningkat dari angka pada tahun 2016 sebesar 5,02%. Dalam kondisi ini, pariwisata menjadi faktor yang semakin diperhitungkan. Salah satu daerah tujuan wisata unggulan Indonesia yang telah dikenal dunia adalah Bali, yang juga menjadi penyumbang hampir 50% devisa sektor wisata.
Bali terus berbenah agar dapat mempertahankan posisi sebagai destinasi wisata terbaik yang baru saja dinobatkan oleh Trip Advisor pada 2017 silam. Untuk memastikan target besar yang ditetapkan tersebut, diperlukan dukungan fasilitas yang baik dan dapat diandalkan. Energi menjadi salah satu sektor penting diantaranya. Oleh sebab itu PT PLN (Persero) sebagai BUMN penyedia listik nasional memiliki rencana untuk membangun SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi) 500 kV JBC (Jawa Bali Crossing) untuk menjamin ketersediaan listrik Pulau Dewata beberapa tahun ke depan. Menurut rencana, transmisi sepanjang 220 kilometer dari Paiton (Probolinggo, Jawa Timur) ke Antosari (Bali Selatan) ini mampu memasok daya hingga 2.000 megawatt.
Faisal Basri, ekonom nasional yang juga Ketua Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia periode 2009-2010, menyebut sistem kelistrikan interkoneksi merupakan suatu keniscayaan. “Dengan sistem ini, antar daerah dapat saling back up ketersediaan listrik, dan mencegah timbulnya krisis energi yang mungkin terjadi akibat pertumbuhan ekonomi,” ujarnya saat acara media briefing di Renon, Rabu (31/1) yang juga dihadiri GM PLN Distribusi Bali Nyoman Suwarjoni Astawa.
Dijelaskan, ASEAN sepakat membentuk ASEAN Connectivity dengan tujuan menopang pertumbuhan negara-negara Asean dengan 3 pilar, yakni fisikal, institusional dan people to people connectivity. Dalam Physical connectivity, diputuskan untuk membuat sambungan listrik antar negara sehingga yang memiliki kelebihan listrik bisa dijual ke negara lain yang masih kekurangan. “Bila antar negara saja bisa menyalurkan listrik, mengapa kita di dalam negeri menolak memakai sistem yang memudahkan dan meringankan biaya dalam hal penyediaan listrik,” tambahnya.
Ia juga mengingatkan bahwa rencana pembangunan JBC ini secara teknis dapat dicarikan solusi yang paling efisien dengan tetap memperhatikan kearifan lokal. “Jangan sampai niat untuk menjamin ketersediaan dan ketangguhan energi Bali dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan atau pemburu rente. Listrik adalah barang publik dimana segala proses penyediaannya harus transparan,” tegasnya. Bali adalah pintu gerbang Indonesia yang harus kita jaga agar jangan sampai turis kapok mau datang karena polusi. Dan kita harus komit mengurangi gas emisi dan mengembangkan energi baru terbarukan sesuai komitmen kita dalam Paris Agreement, ujarnya.
Ketua Pengurus Harian YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) Tulus Abadi menyatakan persoalan listrik menjadi salah satu pengaduan yang banyak masuk ke lembaganya. “Konsumen berhak mendapatkan pelayanan yang baik, mendapat listrik yang handal dan mendapat ganti rugi bila haknya sebagai pelanggan tidak terpenuhi. Untuk itu ada beberapa indikator yang bisa menjadi acuan apakah PLN sudah memberikan pelayanan yang maksimal,” ujarnya.
Nyatanya, lanjut Tulus, konsumen masih banyak mengeluhkan pelayanan PLN, termasuk di Bali. Di negara lain, listrik sudah bukan lagi obyek aduan karena keandalan infrastruktur kelistrikannya memang sudah tinggi. Di Indonesia, pengaduan masih banyak di bidang product knowledge, proses bisnis, infrastruktur dan sumber daya manusia PLN. “Masalah-masalah inilah yang harus diselesaikan PLN dan menjadi PR (pekerjaan rumah) yang harus segera dituntaskan,” tegasnya.
Sementara itu Ketua Departemen Politik Sarekat Hijau Indonesia (SHI) yang juga mantan Ketua Dewan Nasional WALHI periode 2012 – 2016, Dadang Sudardja menegaskan Bali sebagai daerah wisata dunia yang mengembangkan konsep Bali Clean and Green perlu didukung secara serius. “Penyediaan energi harus mengacu pada standar internasional yang mencakup aspek kesehatan, keselamatan, dan keamanan. Infrastruktur listrik juga harus dikelola dengan baik agar tidak membawa dampak pada kerusakan lingkungan serta tidak merubah bentang alam dan fungsi ekologis,” pungkasnya.
Menurut Dadang, ke depan perlu pergeseran dari energi fosil ke energi baru terbarukan. Trend dunia saat ini, tingkat kesadaran masyarakat dunia memang sudah berubah. Indonesia harus juga mulai mempersiapkan diri ke arah tersebut. Indonesia punya geotermal, matahari, angin, biomasa, dan gelombang laut. Sumber-sumber energi ini sedang dikembangkan di dunia internasional. Di Indonesia sudah banyak dikembangkan yakni energi matahari, geotermal dan air. Sedangkan potensi angin dan gelombang masih diuji-cobakan, bekerjasama dengan Australia.
Sistem Jawa Bali Crossing menurutnya menjadi alternatif yang baik karena dapat menghubungkan sistem kelistrikan Jawa dan Bali. Paranai Suhasfa, Kadiv Perencanaan Regional PLN, menjelaskan bahwa PLN berupaya mumudahkan pelanggan mendapatkan haknya atas listrik yang berkualitas dan meminimalisir berbagai gangguan. Untuk Bali, dalam tiga tahun ke depan tingkat keandalan Bali akan sangat rendah karena pasokan listrik tidak lagi mencukupi. Sebagai daerah tujuan wisata dunia, ketersediaan listrik menjadi sangat vital.
“Saat ini kebutuhan listrik Bali disupport dari pembangkit Celukan Bawang, Pesanggaran, Pemaron dan Gilimanuk. Ke depan, bila tidak dilakukan sesuatu, maka listrik Bali akan terancam padam.(bas)