FGD Disabilitas dan Perlindungan Anak, Rai Mantra: Penyelesaian Permasalahan Sosial agar Dilakukan secara Kolaboratif
(Baliekbis.com), Penyelesaian permasalahan sosial agar dilakukan secara kolaboratif, lintas kewenangan, lintas sektoral dan lintas instansi vertikal untuk meminimalisir terjadinya tumpang tindih kewenangan dalam pelaksanaan di lapangan serta menjadi bagian dalam peningkatan kualitas layanan publik.
Demikian antara lain mengemuka pada acara Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Anggota DPD RI Perwakilan Bali Dr. IB. Rai Dharmawijaya Mantra,S.E.,M.Si., Senin (24/3/2025) di Kantor Perwakilan DPD RI Renon Denpasar.
FGD dilaksanakan dalam rangka Inventarisasi Materi Pengawasan atas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas, Khususnya Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Khususnya Terkait Perlindungan Anak dari Perilaku Kekerasan, Penganiayaan, Penelantaran, dan Diskriminasi Ketidakadilan.
Rai Mantra yang duduk di Komite III menekankan agar Kartu Penyandang Disabilitas dapat dimiliki oleh penyandang disabilitas dan dalam hal ketentuan penerima manfaat tidak serta merta disamakan dengan ketentuan yang dapat masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Memastikan hak-hak mendasar bagi penyandang disabilitas dan anak-anak terlantar dapat terpenuhi dengan baik utamanya berkaitan dengan Pendidikan dan Kesehatan agar dapat menjalankan kehidupan sosialnya dengan baik. “Kita ingin pastikan UU itu berjalan sesuai marwahnya,” tegas mantan Walikota Denpasar ini.
Berkaitan dengan fasilitasi perawatan bagi penyandang disabilitas akibat kecelakaan seperti yang menimpa salah seorang warga (Tio) agar dikomunikasikan dan ditindaklanjuti dengan Dinas Sosial Kabupaten Badung dan BPJS agar diberikan penanganan yang terbaik.
Dalam FGD juga mengemuka pentingnya pembentukan sistem informasi pelayanan publik yang ramah disabilitas, peningkatan aksesibilitas dalam ruang-ruang publik (transportasi, parkir, toilet) dan optimalisasi penyerapan tenaga kerja penyandang disabilitas sehingga penyandang disabilitas memiliki kemandirian dan tingkat kepercayaan diri dalam menjalankan aktivitasnya.
Mendukung optimalisasi pendidikan inklusi melalui Unit Layanan Disabilitas (ULD) dan mendorong pembentukan Pendidikan Luar Biasa (PLB) di tingkat Perguruan Tinggi untuk lebih menarik minat serta meningkatkan kompetensi masyarakat khsusunya Penyandang Disabilitas.
Mendorong Dinas Sosial, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta fasilitator di setiap kecamatan untuk melakukan edukasi dalam rangka menekan angka perkawinan anak serta pentingnya screening/ pengecekan kondisi kesehatan pra-nikah.
Sementara pihak Organisasi Penyandang Disabilitas menyampaikan penangangan penyandang disabilitas akibat kecelakaan berbeda dengan yang lainnya, dibutuhkan suatu perawatan khusus di dalamnya. Namun, BPJS tidak dapat mengcover sepenuhnya, dikarenakan sudah mencapai batas limitnya. Sedangkan perawatan harus dilakukan secara kontinu. Dari pemerintah juga belum memfasilitasi pelatihan/therapy agar mereka bisa mandiri.
“Di luar negeri penyandang disabilitas akibat kecelakaan seperti SCI diberikan therapy sehingga memiliki kemandirian dan kepercayaan diri (tidak menutup diri/ mampu terbuka),” ujar Penyandang disabilitas Nyoman Juniarta.
Menurutnya saat ini banyak disabilitas yang memerlukan kursi roda. Ia berharap pemerintah dapat memfasilitasi/ menyediakan kursi roda yang adaptif sehingga mobilitasnya lebih aktif dan fleksibel (dapat mandiri). “Transportasi publik untuk penyandang disabilitas agar digratiskan atau diberikan kemudahan akses, termasuk juga untuk masuk dalam ruang-ruang komersil,” ujar mantan pekerja kapal pesiar yang mengalami kecelakaan kerja ini.
Dalam FGD ini, penyandang disabilitas berharap agar ada perlakuan khusus bagi penyandang disabilitas dalam berbagai ruang pubik. Seperti di rumah sakit sangat penting keberadaan JBI (Juru Bahasa Isyarat) untuk yang tuna rungu (tuli).
Sebab masih ada rumah sakit yang belum ramah disabilitas terutama dalam hal pemberian informasi. Seperti saat menunggu antrian, mereka berfokus pada layar, namun karena tidak ada yang mengingatkan, antriannya diserobot.
Apalagi tenaga medis memakai masker, sehingga suaranya tak jelas didengar.
Peserta FGD, Anggreni menyampaikan perkawinan usia dini menyebabkan anak-anak yang kemudian dilahirkan mengalami gangguan kesehatan/ disabilitas. Ia juga berharap perlunya pelatihan keterampilan bagi anak tuli dan berkebutuhan khusus. Sebab kasus kekerasan terhadap mereka masih terjadi.
Perwakilan BAPPEDA Bali mengungkapkan permasalahan disabilitas perlu diselesaikan secara bersama-sama karena saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Harmonisasi aturan antara Pusat – Daerah, antarinstansi horizontal daerah sangat penting sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan di lapangan.
Pihak Dinas Ketenagakerjaan menjelaskan dalam aturan sudah ditegaskan persentase formasi untuk penyandang disabilitas di swasta sebesar 1% dan instansi pemerintah/ BUMD sebesar 2%. Disnaker juga telah memberikan pelatihan melalui BLK untuk meningkatkan kompetensi sehingga nantinya memiliki bekal dan lebih siap untuk terjun dalam dunia kerja.
Dinas Sosial P3A Provinsi Bali menjelaskan pendataan penerima manfaat Kartu Penyandang Disabilitas mengacu pada DTKS. Sehingga tidak semua penyandang disabilitas dapat menjadi penerima manfaat. Disebutkan sejak Permensos 2 Tahun 2021 tentang Kartu Penyandang Disabilitas terbit, realisasinya hingga sekarang masih nihil,di Bali belum ada yang menerima. Pihak Kemensos mengatakan saat ini sedang dalam tahap sinkronisasi/ pemuktahiran ke dalam DTSEN.
Dalam FGD juga terungkap anak-anak di Bali jarang yang mau sekolah ke PLB (Pendidikan Luar Biasa). Sehingga tenaga pendidik yang datang banyak yang berasal dari luar karena memiliki kompetensi berkaitan dengan PLB. Untuk itu, diharapkan ada kebijakan PT di Bali dapat membuka PLB untuk kemudian menarik minat dan menjadi bagian dari peningkatan kompetensi. (ist)
Leave a Reply