FGD DPD RI “Memperkuat Sistem Ketatanegaraan”, Banyak Rakyat Belum Nikmati Hasil Kemerdekaan
Sebenarnya Indonesia didirikan dengan cita cita besar sebagai termuat dalam Pembukaan UUD 45 yakni …..Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Itu mimpi besar yang ingin dicapai.
(Baliekbis.com), Meski Indonesia sudah merdeka 78 tahun, namun masih banyak rakyat yang belum menikmati hasil kemerdekaan itu. Ketimpangan dan disparitas masih terjadi.
“Jangankan internet. Banyak warga belum menikmati listrik. Sebagian warga kita di Kalimantan terpaksa belanjanya ke Malaysia, jalan kaki ke sana. Bahkan di Papua ada yang busung lapar. Masalah keadilan dan kesenjangan masih menjadi PR besar bangsa ini,” ujar
Wakil Ketua DPD RI Dr. H. Mahyudin,ST, M.M. saat membuka FGD, Jumat (25/8) bertempat di Kantor DPD RI Perwakilan Bali Renon Denpasar.
FGD yang berlangsung sekitar 3 jam dengan tema “Memperkuat Sistem Ketatanegaraan Sesuai Rumusan Pendiri Bangsa Dalam Konteks Proposal Kenegaraan DPD RI” dihadiri sejumlah Anggota DPD RI dari beberapa daerah di Tanah Air juga Anggota DPD RI Dapil Bali Dr. Mangku Pastika selaku tuan rumah serta puluhan akademisi dan mahasiswa. Tampil sebagai narasumber Edward Thomas Lamury, S.H.,LLM, dan Dr. Eka Fitriantini,S.H.,M.H.
“Ketimpangan pembangunan juga terlihat di ibukota. Di Jakarta banyak jembatan tanpa sungai, sementara di daerah lain banyak sungai yang gak ada jembatannya. Saya lihat kesenjangan begitu tinggi. Kuncinya keadilan yang belum merata,” jelas tokoh asal Kalimantan Timur ini.
Menurutnya, penting peran DPD (Dewan Perwakilan Daerah) sebagai representasi daerah. Negara yang besar ini tidak bisa meniadakan keterwakilan (DPD). “Apalagi sampai ada yang ingin meniadakannya. Ini pikiran sesat. Boleh saja merubah nama lembaga ini, tapi rohnya harus tetap ada,” tegasnya.
Mestinya DPD sebagai regional representatif diperkuat agar menjadi seimbang dengan kekuatan DPR sehingga daerah-daerah lebih berdaya dan bisa menghapus disparitas.
Mahyudin juga menyoroti soal anggaran pembangunan dimana pendapatan yang mencapai Rp2.788 triliun sementara belanja negara Rp3.500 triliun. Ini akan menambah utang lagi, apalagi kalau penggunaan dananya tidak tepat sasaran. “Kalau bangsa ini mau naik kelas, mestinya pendapatan per kapita harus naik signifikan. Sehingga
generasi yang akan datang hidup lebih baik dari sekarang,” ujarnya.
Sementara Dr. Mangku Pastika mengatakan diskusi ini untuk mencari bentuk dan posisi DPD yang pas dalam sistem ketatanegaraan. Sebab posisi DPD dalam sistem ketatanegaraan dengan UU yang ada masih lemah.
Padahal dulu DPD dibentuk sebagai lembaga penyeimbang antara eksekutif dan legislatif agar tidak ada dominasi, baik dominasi eksekutif atau dominasi legislatif. “Sekarang yang terjadi mereka malah bersatu. DPD ya tidak bisa apa-apa. Jadi hasil pengawasan, pembahasan peraturan perundang-undangan, aspirasi dari rakyat itu bentuknya hanya sebagai bahan pertimbangan, rekomendasi baik kepada DPR maupun pemerintah,” jelasnya.
“Kekuatan ‘memaksanya’ tidak ada. Akibatnya ya suka-suka, banyak yang lolos, apa yang menjadj maunya pemerintah dan maunya DPR. Kalau pemerintah sudah mau, dan DPR setuju ya jalanlah itu. Padahal banyak yang dianggap merugikan kepentingan daerah,” tambah mantan Gubernur Bali dua periode ini.
Menurut Mangku Pastika, padahal DPD tugasnya mewakili daerah. Hal inilah yang sedang dibicarakan, diperjuangkan. Mestinya DPD punya undang-undang sendiri, tidak masuk dalam MD3. Kalaupun masuk, harus ada kewenangan yang sejajar, setara supaya bisa menjalankan fungsi penyeimbang. “Sekarang kan tidak seimbang. DPD hanya memberi pertimbangan, seolah-olah subordinate, bawahan. Harusnya posisinya sama. Untuk perubahan itu hanya bisa dilakukan melalui UU,” pungkasnya.
Dalam diskusi mengemuka sejumlah masalah di antaranya Indonesia dengan Hiper Regulasinya sebagaimana disampaikan narasumber Dr. Eka yang merupakan peneliti dan akademisi ini. Di tahun 2023 ini ada 51.955 Regulasi, Undang-Undang sebanyak 1.745, Peraturan Pemerintah Pengganti UU (217),
Peraturan Pemerintah (4.855), Peraturan Presiden (2336), Peraturan Menteri (18.201) Peraturan Badan/Lembaga (5.787) dan Peraturan Daerah sebanyak 18.814. “Hiper regulasi ini berpotensi menyebabkan tumpang tindih peraturan. Akibatnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, memperpanjang jalur birokrasi, menghambat investasi dan kemudahan berusaha,” ungkap Dr. Eka. (bas)