FGD Refleksi Kepariwisataan: Sektor Pariwisata Banyak Masalah, Kualitas Hidup Krama Bali makin Melemah

(Baliekbis.com), Kontribusi sektor pariwisata terhadap pendapatan asli daerah Bali hingga 66,6%. Namun hal tersebut tidak serta merta memperbaiki kualitas hidup krama Bali.

Berdasarkan laporan kebahagian masyarakat di seluruh Indonesia, tingkat kebahagiaan krama Bali hanya bercokol di urutan 33 dari 38 provinsi. Artinya, sektor pariwisata kerap menjadi sumber masalah yang menyebabkan kualitas hidup krama Bali semakin melemah.

Demikian mengemuka pada focus group discussion (FGD) bertajuk “Refleksi Kepariwisataan Bali Berbasis Budaya, Bertanggungjawab dan Berkelanjutan” di Ruang Nusantara, Gedung Agrokomplek Kampus Unud Jl. Sudirman Depasar pada Kamis (6/3).

FGD tersebut diselenggarakan Pusat Unggulan Pariwisata (PUPAR) Unud yang dibuka Wakil Rektor I Prof. Dr. Ir. I Gede Rai Maya Temaja,MP dan dihadiri pemangku kepentingan pariwisata Bali baik pemerintahan, asosiasi, tokoh masyarakat, media dan juga akademisi.

Berdasarkan inventarisasi peserta diskusi ternyata pariwisata Bali tidak sedang baik-baik saja. Walaupun belum dikategorikan overtourism namun aktivitas pariwisata yang terkonsentrasi di Bali selatan telah menimbulkan kemacetan parah, sampah tidak terkelola dengan baik, investasi dan tenaga kerja asing ilegal, money changer nakal, maupun perilaku wisatawan yang tidak sesuai dengan budaya Bali.

Permasalahan ini diuraikan oleh seluruh pemangku kepentingan. Ketua DPC Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia Kabupaten Badung I Gusti Bagus Rai Suryawijaya menekankan permasalahan yang terjadi akibat aturan yang terlalu ringan.

“Seorang wisatawan yang mendapat visa selaku investor dengan modal hanya Rp 10 miliar, mereka menyewa tanah dan membangun vila beberapa kamar, selanjutnya mempekerjakan teman-temannya dari negara asal secara illegal,” tegasnya.

Tokoh masyarakat dari paiketan krama Bali Dr. Wayan Jondra mengaku prihatin dengan kondisi masyarakat Bali yang gandrung bunuh diri baik secara spontan (gantung diri atau menegak racun) dan pelan-pelan.

“Ada kecendrungan orang Bali ‘belog ajum’ yakni hanya menjual atau menyewakan tanah atau vila kepada orang asing. Karena mendewakan orang asing membuat krama Bali akan mati pelan-pelan,” tegas mantan komisioner Provinsi Bali.

Menanggapi kondisi ini Guru Besar UNHI Prof. Dr. I Wayan Muka menyarankan pentingnya evaluasi regulasi, terutama banyaknya taksi online ilegal yang dikemudikan ugal-ugalan di jalan yang memicu kemacetan dan lain-lain.

Guru Besar Pariwisata Unud Prof. Dr.Ir. I Gde Pitana,M.Sc. menyatakan permasalahan makro kepariwisata Bali adalah tidak konsistennya pemerintah menjalankan aturan yang sudah dibuat untuk perbaikan tata kelola pariwisata Bali.

“Contohnya, sudahkah ada penegakan aturan agar hotel di Bali memiliki parkir? Nyatanya masih banyak tamu hotel memarkir kendaraan di badan jalan yang dapat memicu kemacetan,” tukas akademisi yang pernah memangku beberapa jabatan di Kemenpar RI itu.

Sosiolog ini mengaku prihatin mendapati manusia Bali terjepit yakni di level atas dalam hal investasi kalah bersaing dengan orang asing, sedangkan di level pekerjaan kasar juga tidak mampu melawan gempuran tenaga kerja murah dari luar pulau.

Ketua DPD AHLI Bali Ketut Swabawa mencermati masalah Bali saat ini karena rendahnya pemahan krama Bali terkait sapta pesona. “Pariwisata dilihat sebagai kesempatan berdagang, dan Sapta Pesona kurang mendapat perhatian,” tegasnya.

Ditambahkan, carut marutnya pariwisata Bali dipicu oleh adanya Gerakan Work from Bali pada pemulihan Covid-19. Sampai saat ini aturan tersebut belum dicabut atau dievaluasi sehingga banyak wisatawan yang arogan di Bali karena persepsi mereka bahwa kehadirannya sangat dibutuhkan di Bali.

Sejalan dengan itu Ketua ASITA Bali Putu Winastra menekankan bahwa regulasi kepariwisataan Bali tidak jelas. Penegakan aturan yang tidak pernah ada, tegasnya, pelaku pariwisata Bali yang taat aturan merasa diperlakukan tidak adil. “Jangan salahkan banyak teman-teman dari asosiasi cuek dengan imbauan pemerintah,” tegas pengusaha asal Bangli itu.

Anggota DPD RI Perwakilan Bali Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra menyimpulkan bahwa permasalahan pariwisata Bali karena lemahnya koordinasi dan sinergi pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat dalam menangani permasalahan yang terjadi. 

Menurutnya untuk mengatasi masalah yang terjadi pada pariwisata Bali maka koordinasi dan sinergi pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat penting untuk ditingkatkan. Sehingga kelemahan yang terjadi bisa ditangani sesuai kewenangan yang ada.

“Benefit itu perlu, profit sosial juga penting. Namun pariwisata budaya itu harus jelas indikatornya. Pelanggaran norma-norma yang terjadi, pelanggaran alamnya, dan juga dari sisi tenaga kerjanya. Penegakan hukum vertikal (Pemda, Imigrasi, Kepolisian) perlu mendapatkan perhatian. Birokrasi tantangannya berat,” tambah mantan Walikota Denpasar ini.

Rai Mantra juga menyinggung soal budaya, apa bisa disebut sebagai aset atau non aset. “Kapital bukan hanya yang berwujud saja tetapi ada yang tidak berwujud, sehingga culture capital menjadi hal yang penting,” tegasnya.

FGD tersebut juga dihadiri Kadis Pariwisata Bali Tjok Bagus Pemayun dan mantan Wakil Gubernur Bali Prof. Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati dan juga staf ahli Ketua DPRD Bali Sudiana.

Mereka mengakui semua permasalahan yang diuraikan tersebut merupakan fakta lapangan yang tak terbantahkan. Pejabat dan mantan pejabat tersebut mengharapkan kolaborasi semua pihak mengatasi berbagai masalah yang muncul.

Kadispar Bali Tjok. Bagus Pemayun menuturkan selain ekses negatif ada juga hal positif yang sudah dijalankan yakni pungutan wisatawan asing (PWA) saat ini nilai uang yang terkumpul mencapai Rp 318 miliar.

“PWA dibayarkan secara online/digital sehingga tidak terjadi kebocoran,” tegasnya tanpa menjelaskan alokasi dana PWA akan dimanfaatkan untuk apa saja.

Ketua PUPAR Prof. Agung Suryawan Wiranatha,Ph.D. yang bertindak selaku moderator mengusulkan bisa saja dana PWA dialokasikan untuk beasiswa generasi muda Bali yang memiliki kemampuan akademik unggul untuk kuliah di LN.Langkah ini menjadi cara nyata Pemprov Bali agar tidak semata-mata bicara pembangunan fisik.

Sementara itu WR I Unud Prof. Rai Temaja mengharapkan hasil FGD dapat disampaikan ke pihak terkait untuk dijadikan pertimbangan mengambil kebijakan terkait pembangunan pariwisata berkualitas dan berkelanjutan di Bali. (ist)