FPM Pertanyakan Tuntutan Ringan Pelaku Penebangan Mangrove
(Baliekbis.com), Tuntutan 8 bulan penjara terhadap terdakwa dugaan penebangan mangrove dan reklamasi liar di Pantai Barat Tanjung Benoa, I Made Wijaya alias Yonda dan enam bulan penjara terhadap lima terdakwa lainnya, yaitu I Made Marna, I Made Suarna, I Made Mentra, I Made Dwi Widnyana dan I Ketut Sukada oleh Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dinilai sangat ringan oleh Forum Peduli Mangrove (FPM) Bali.
Ketua Umum FPM Bali, Steve W.D. Sumolang didampingi Humas FPM Bali,Lanang Sudira di Denpasar, mempertanyakan undang – undang yang dipakai oleh tim JPU untuk menuntut Yonda yang juga anggota DPRD Kabupaten Badung dan Bendesa Adat Tanjung Benoa itu. Menurut Steve, ada dua dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Yonda, yaitu melakukan penebangan mangrove untuk akses jalan masuk ke pantai dan reklamasi liar berupa penimbunan pasir yang merubah bentang alam. “Disini kami merasa tidak adanya keadilan karena tuntutan jaksa sangat ringan sekali. Kami tidak tahu jaksa pakai undang – undang apa, karena setahu kami undang – undang nomor 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan pengerusakan hutan hukumannya paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun penjara. Ini kok tuntutannya di bawah dari mininal,” ungkapnya.
Dikatakan Steve, jika vonis majelis hakim nanti sesuai dengan tuntutan JPU, maka sangat dikhawatirkan dengan hutan mangrove dan kawasan Tahura di Bali. Bisa-bisa akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Bali. Karena orang yang diduga mencaplok lahan negara tetapi hukumannya ringan. “Bisa jadi nanti orang lain juga akan melakukan hal yang sama karena hukumannya ringan. Apalagi, ini hutan mangrove yang berbeda dengan hutan pada umumnya dan hutan mamgrove di Bali berbeda dengan mangrove di daerah lain di Indonesia. Hutan mangrove di Bali bisa jadi lahan bisnis,” ujarnya.
Sementara Lanang Sudira mengatakan, FPM selaku pihak yang mengadu dugaan pelanggaran tersebut kepada pihak kepolisian kecewa dengan tuntutan tim JPU itu. Ia pun membandingkan dengan kejadian yang serupa terjadi di luar Bali. Probolinggo, Jawa Timur (Jatim) pada tahuan 2014 lalu, seorang nenek berusia 58 tahun divonis dua tahun penjara dan denda Rp 2 miliar karena menebang tiga pohon mangrove untuk kayu api. Sementara di Cianjur, Jawa Barat, seorang warga yang hanya mencari cacing di Taman Gunung Gede pada bulan Mei lalu ditangkap dan ditahan karena dituduh merusak lingkungan. Ia pun terancam 10 tahun penjara. “Sedangkan kita di Bali, menebang lebih dari tiga pohon mangrove dan berada di kawasan Taman Hutan Raya (Tahur), kok tuntutannya ringan sekali. Apa karena yang bersangkutan (Yonda-red) merupakan anggota DPRD, sementara nenek yang di Probolinggo karena seorang rakyat jelata,” ujarnya dengan nada tanya.
Ia berharap agar dua contoh kasus di luar Bali itu dapat menjadi pedoman bagi majelis hakim untuk keputusan nanti. Lanang Sudira berharap agar majelis hakim hakim nanti dapat menegakkan keadilan dengan memvonis para terdakwa dengan hukuman yang setimpal. Jika majelis hakim juga memvonis ringan terhadap para terdakwa, ia khawatir warga atau masyarakat lain yang merasa memiliki uang banyak dapat melakukan penyerobotan terhadap lahan negara. “Bisa jadi masyarakat yang merasa punya uang, nantinya akan menyerobot hutan mangrove untuk kepentingan bisnisnya. Apalagi hutan mangrove di Bali dan Tanjung Benoa sangat strategis untuk berbisnis. Jadi, kami dari FPM Bali berharap majelis hakim nanti dapat memvonis hukuman yang berat terhadap para pelaku agar dapat memberikan efek jerah karena dugaan penyerobotan hutan mangrove di Bali cukup banyak,” tandasnya. (ray)