GIF dan Changemakers CCE Luncurkan Proyek “Sukla: Mahayuning Loka Bali” untuk Kelola Sampah di Besakih
(Baliekbis.com), GoTo Impact Foundation (GIF), organisasi penggerak dampak yang didirikan oleh Grup GoTo, bersama konsorsium changemakers dari Catalyst Changemakers Ecosystem (CCE) meluncurkan proyek “Sukla: Mahayuning Loka Bali” untuk mengembalikan kelestarian jagat Bali lewat sistem pengelolaan sampah di area Desa Besakih, Bali, Rabu (8/11).
Proyek ini didesain sebagai percontohan agar bisa diadopsi dengan mudah oleh destinasi wisata lain di seluruh jagat Bali. Desa Besakih adalah rumah untuk pura terbesar di Indonesia yaitu Pura Agung Besakih yang berperan sebagai tempat ibadah dan wisata kelas dunia.
Dengan total populasi sebanyak 7.564 penduduk serta dikunjungi 600 pemedek (peziarah) setiap harinya, area ini diperkirakan memproduksi sampah sebesar 7,5 ton/hari dari sampah residensial dan upacara adat di pura.
Dari total jumlah sampah yang diproduksi, hanya 6,78% sampah yang terkelola dan sisanya dibuang ke tempat pembuangan sampah terbuka. Setiap pemangku kepentingan sudah melakukan tugas masing-masing, mulai dari desa dinas sampai pura.
Namun, usaha tersebut masih dilakukan sendiri-sendiri. Setiap pemangku kepentingan sudah melakukan tugasnya masing-masing, seperti pengurus desa yang sudah membangun TPS3R (Tempat Pembuangan Sampah Reduce, Reuce, Recycle) dan pengempon (pengelola) pura yang sudah melakukan pengangkutan sampah setiap harinya. Namun, usaha tersebut masih dilakukan sendiri-sendiri, belum terintegrasi secara sistematis dari hulu sampai hilir sehingga proses pengelolaan belum optimal.
Melihat kondisi ini, Monica Oudang, Chairperson dari GoTo Impact Foundation menyampaikan, setelah tiga tahun berjalan, GIF menyadari bahwa upaya yang dilakukan sendiri-sendiri tidak cukup untuk menghasilkan perubahan sistemik jangka panjang.
Oleh karena itu, GIF menghadirkan CCE yang menggunakan pendekatan innovation ecosystem sebagai cara baru untuk menjawab permasalahan di Desa Besakih.
“Lewat CCE, kami berusaha memobilisasi dan menyatukan para pembuat dampak, pendanaan, pengetahuan, dan keahlian guna mengatasi permasalahan sampah yang kompleks, dengan lebih cepat, berkelanjutan, dan dalam skala besar,” jalasnya.
“Pada 2023, CCE memfokuskan upaya intervensi ekonomi sirkular bersama mitra strategis kami, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI (Kemenparekraf), menyasar pengelolaan sampah di kawasan strategis destinasi wisata,” tambah Monica.
Di gelombang kedua yang berlangsung sejak Maret 2023, CCE menggabungkan 50 changemakers (pembawa perubahan), yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil yang dekat dengan masalah di lapangan serta startup sebagai penyedia teknologi, ke dalam Catalyst Changemakers Lab (Lab). Di dalam Lab, para changemakers mendapatkan pengembangan kapasitas dan berkolaborasi. Segera membentuk konsorsium untuk menyusun solusi inovatif.
Dari 16 solusi yang tercipta, tiga di antaranya terpilih untuk segera diimplementasikan melalui proyek percontohan. Salah satu konsorsium terpilih, yaitu Bali Waste Cycle, Rebricks, dan Yayasan Wastehub Alam Lestari (Wastehub®️), akan menjalankan proyek percontohan Sukla di Desa Besakih yang merupakan hasil kolaborasi dengan Kemenparekraf, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemerintah Provinsi Bali termasuk Dinas Lingkungan Hidup, Pemerintah Kabupaten Karangasem beserta jajaran dinas, Desa Besakih, Balai Pengelola Kawasan Pura Besakih, Universitas Udayana, pengelola sampah organik berizin edar, serta pelibatan masyarakat lokal, peziarah, dan wisatawan.
Dalam kesempatan terpisah, Penjabat (Pj.) Gubernur Provinsi Bali, S. M. Mahendra Jaya, turut mengapresiasi proyek Sukla. “Kami menyambut baik upaya GIF dan changemakers dalam membantu pengolahan sampah di Desa Besakih, area yang sakral bagi masyarakat Bali. Proyek ini sejalan dengan semangat ‘ngrombo’, bergotong royong mensinergikan semua pihak untuk saling belajar dan berinovasi bersama. Saya mengajak seluruh elemen untuk bergotong royong dengan mengedepankan tujuan bersama, sehingga inisiatif ini bisa bergulir dari Besakih ke berbagai kawasan suci maupun destinasi wisata lain di Bali,” ujar Pj. Gubernur.
Olivia Padang, selaku perwakilan dari konsorsium changemakers penggagas Sukla Project menjelaskan bahwa Sukla Project akan menggabungkan metode pengelolaan sampah secara konvensional dan non-konvensional melalui tiga solusi utama, yaitu:
● Rekayasa teknologi pengolahan sampah dan residu menjadi RDF (Refuse-Derived Fuel). Teknologi ini bisa meningkatkan efisiensi pemilahan dan mengubah limbah residu secara efektif menjadi bahan bakar co-firing, sehingga menghasilkan solusi energi baru terbarukan yang mampu mengurangi emisi gas rumah kaca.
● Menciptakan produk ramah lingkungan dari plastik bernilai rendah dan mempromosikan penggunaan produk tersebut ke bisnis HORECA (Hotel, Restoran, dan Kafe), mendorong pariwisata berkelanjutan, dan pertumbuhan ekonomi di Bali.
● Melakukan edukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat lokal, peziarah, dan wisatawan pura di Desa Besakih untuk mengelola sampah dari sumber.
“Proyek percontohan yang kami gagas bersama GIF diharapkan dapat menekan potensi terjadinya kebakaran di TPS, mengurangi risiko banjir akibat sumbatan sampah, mencegah kebocoran sampah ke laut saat musim hujan, berkontribusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, serta memberikan nilai ekonomi bagi pihak yang terlibat,” ungkap Olivia.
Hingga 2024, Sukla menargetkan peningkatan pengelolaan sampah menjadi 90% melalui edukasi dan penerapan hukum adat, penciptaan lapangan kerja baru, dan pemberian tambahan pendapatan bagi pihak yang terlibat.
“Kami berharap, CCE dan proyek percontohan Sukla dapat menciptakan lingkungan yang nyaman, bersih, dan indah bagi masyarakat lokal, umat Hindu yang beribadah, maupun wisatawan yang berkunjung, bukan hanya di area Besakih, tapi juga di seluruh jagat Bali. Saya mengundang semua elemen masyarakat untuk Bergerak, Berdampak, Bersama, merevolusi pengelolaan sampah di destinasi wisata di Indonesia,” tutup Monica. (ist)