Hasil Penelitian Ungkap Faktor Penting dalam Meraih Capaian Belajar Optimal
(Baliekbis.com), Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Balitbang dan Perbukuan, Kemendikbudristek), bersama The SMERU Research Institute menyampaikan sejumlah hasil awal penelitian dari program Research on Improving System of Education (RISE). Hasil penelitian yang dapat menjadi masukan bagi pengambil kebijakan pendidikan guna meningkatkan kualitas pengajaran dan pembelajaran di Indonesia ini diungkap dalam seminar daring perkembangan program RISE di Indonesia “Meneliti Respons Daerah dalam Desentralisasi Pendidikan”, Selasa (13/7).
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim, pada sambutannya mengatakan, “Penyusunan kebijakan memerlukan langkah-langkah kerja logis dan strategis, salah satunya melalui riset. Untuk itulah peran riset sangat penting sebagai landasan penyusunan kebijakan publik yang bisa menjawab kebutuhan masyarakat dan membantu menyiapkan diri untuk tantangan masa depan.”
Menteri Nadiem mengatakan, dengan riset, dapat diketahui bahwa sampai tahun 2020, tren partisipasi pendidikan Indonesia cenderung menurun, seiring makin tingginya jenjang. Ia meyakini, keempat riset RISE yang dipaparkan kali ini, dapat membantu kementerian dan pemerintah daerah untuk mengevaluasi kebijakan yang telah diterapkan. “Hasil evaluasi ini akan menjadi pegangan penyusunan aturan dan kebijakan yang lebih tepat sasaran,” tuturnya.
Ia menambahkan, riset di tingkat daerah juga sejalan dengan gagasan desentralisasi dan otonomi pendidikan yang juga merupakan esensi Merdeka Belajar. Kemendikbudristek, kata Menteri Nadiem, memberi kemerdekaan pada pendidik dan institusi pendidikan untuk mengembangkan metode dan lingkungan pembelajaran yang sesuai dengan konteks budaya daerah masing-masing.
Senada dengan itu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, yang juga hadir sebagai pembicara, menyetujui pentingnya riset untuk kebijakan berkualitas. “Teman-teman DPRD juga bisa terlibat bekerja sama dengan dinas pendidikan dan kepala daerah masing-masing,” kata Hetifah.
Sementara itu, Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, dan Perbukuan Kemendikbudristek, Anindito Aditomo, mengungkapkan perlunya pengambil kebijakan memiliki data obyektif guna merumuskan kebijakan yang tepat. Tanpa data, menurutnya, pengambil kebijakan bagai tidak punya peta. “Kemendikbudristek mengambil kebijakan darurat dalam mitigasi pandemi, misalnya penyederhanaan kurikulum, relaksasi syarat kenaikan kelas dan kelulusan, modul-modul literasi dan numerasi untuk mendukung Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), bantuan kuota internet, dan pembelajaran guru lewat model pelatihan inovatif yang telah menjangkau ratusan ribu guru di seluruh Indonesia,” ungkap Anindito.
Anindito mengakui, di samping kebijakan darurat, perlu kebijakan-kebijakan fundamental dan strategis untuk memperbaiki kualitas pendidikan dalam kondisi pandemi Covid-19. Webinar ini, kata dia, sangat penting karena mempertemukan Kemendikbudristek dengan pengambil kebijakan di daerah, dengan DPR RI, pemerhati pendidikan, dan peneliti. “Webinar ini kesempatan baik bagi kita dialog diskusi debat dan refleksi bersama untuk menghasilkan rekomendasi perbaikan pendidikan di Indonesia,” jelasnya.
Tantangan Implementasi Kebijakan di Daerah
Peneliti RISE, Goldy Fariz Dharmawan, mengungkapkan hasil penelitian RISE terkait dampak kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi di Kota Yogyakarta. Goldy menyebut, sebaran sekolah negeri di Yogyakarta tidak merata. “Dari penelitian, ternyata hanya sebagian sekolah yang mampu beradaptasi dengan perubahan karakteristik siswa pasca kebijakan zonasi,” tutur Goldy.
Sebagai informasi, sejak Agustus 2018, RISE melakukan studi bersama Pemerintah Kota Yogyakarta yang melibatkan 46 sekolah menengah pertama (SMP) negeri dan swasta, dengan tujuan mengetahui dampak PPDB Zonasi terhadap karakteristik peserta didik yang diterima di sekolah serta pembelajaran di kelas. Kebijakan zonasi di Yogyakarta menerima siswa yang tinggal dekat SMP Negeri di Kota Yogyakarta.
Goldy mengatakan, secara umum, capaian angkatan zonasi lebih rendah dibandingkan pra-zonasi. Guru tidak terbiasa mengajar siswa yang kemampuannya beragam. Sekolah negeri menerima anak dengan nilai lebih rendah, tetapi bisa menahan penurunan capaian belajar. Di sisi lain, sekolah swasta menerima anak dengan nilai lebih tinggi, tapi sulit mendorong peningkatan capaian belajar. Ia menyimpulkan, kebijakan zonasi menunjukkan adanya pertukaran antara kualitas pembelajaran dan kesetaraan akses pendidikan berkualitas.
“Kebijakan zonasi berhasil memasukkan lebih banyak anak dari keluarga ekonomi rendah ke sekolah negeri. Tapi, satuan pendidikan perlu didukung agar guru dapat mengajar siswa yang kemampuannya beragam,” saran Goldy.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kota Yogyakarta, Budi S. Asrori, mengatakan bahwa pihaknya tetap berusaha menyeimbangkan antara kebutuhan anak-anak agar dapat sekolah di tempat yang lebih dekat rumah, dan mengakomodasi anak-anak berprestasi untuk sekolah di tempat yang diinginkan. “Kami berupaya agar PPDB mendorong prestasi siswa,” ungkap Budi yang juga memastikan kuota untuk penduduk kurang mampu tetap terjaga.
Disampaikan Budi, daya tampung SMP di Yogyakarta sangat mencukupi, yaitu sembilan ribu kursi jenjang SMP, di mana total lulusan SD Negeri dan Swasta kurang lebih 7.500 siswa. “Tapi, kapasitas SMP Negeri tidak bisa lebih dari 47 persen. Jadi, bagaimanapun, tidak semua anak bisa ditampung di sekolah negeri. Namun, kami terus berusaha menjaga kualitas sekolah swasta,” ucap Budi.
Dijelaskan Budi, dampak PPDB yang dilaksanakan sejak 2018 hingga saat ini, ada penurunan capaian nilai siswa akibat pandemi. Ia juga mengakui, tidak semua materi pelajaran dapat diajarkan secara jarak jauh. Pihaknya menemukan maksimal hanya 70 persen materi yang dapat disampaikan. “Dalam PJJ, ada penurunan capaian nilai sekalipun kurikulum yang diajarkan adalah kurikulum disederhanakan. Daya serap anak-anak menurun, untuk SMP hanya 47,11 persen dan SD hanya 42 persen,” ungkap Budi.
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Dirjen Pauddikdasmen), Jumeri, mengungkapkan bahwa Kemendikbudristek menginisiasi Sekolah Penggerak dengan tujuan mengintervensi sekolah-sekolah pada semua kemampuan, baik rendah, menengah, dan tinggi.
“Mudah-mudahan, ada efek pengali-lipat dari sekolah-sekolah penggerak, agar kemudian bisa menggerakkan sekolah-sekolah lain. Kami juga mendorong daerah memfasilitasi anak-anak yang tidak diterima di sekolah negeri untuk ke swasta dengan memberikan BOS Daerah. BOS juga sudah diberi indeks majemuk, sehingga nilai BOS sesuai dengan kebutuhan anak di masing-masing daerah,” ucap Dirjen Jumeri.
Peran Orang Tua dan Tradisi Akademik dalam Keluarga
Sementara itu, cerita inspiratif hadir dari Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Peneliti RISE, Delbert Lim, menemukan bahwa tidak ada temuan kuat adanya penurunan kemampuan belajar di Bukittinggi. Hal tersebut dikarenakan mayoritas siswa di Bukittinggi didampingi orang tua selama belajar dari rumah, bahkan sebelum pandemi berlangsung.
“Sementara untuk orang tua yang tidak mendampingi anaknya, 30 persen mengatakan karena mereka tidak memiliki kemampuan mendampingi. Keterlibatan orang tua punya andil besar mengurangi dampak penutupan sekolah akibat pandemi,” jelas Delbert.
Mayoritas siswa, dilanjutkan Delbert, juga menunjukkan peningkatan hasil pembelajaran keseluruhan selama pandemi. Tidak ada perbedaan dalam skala peningkatan antara siswa dengan latar belakang pendidikan orang tua yang berbeda. “Namun, hasil pembelajaran siswa dengan orang tua yang berpendidikan lebih rendah tetap di bawah siswa dengan orang tua berpendidikan tinggi,” kata Delbert.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK), Iwan Syahril, mengapresiasi riset ini. Hasil penelitian ini, kata dia, menunjukkan resiliensi/ketangguhan Indonesia. “Tapi, kita harus melihat semua ini sebagai ekosistem. Budaya masyarakat itu satu faktor. Tapi, jika peran kepemimpinan daerah tidak baik, itu mungkin tidak terjadi. Tantangan ini adalah kesempatan berinovasi, dan ada peran kepemimpinan yang dibutuhkan,” tegas Dirjen Iwan.
Senada dengan itu, Kabalitbang dan Perbukuan Anindito menutup dengan, “Praktik baik yang terjadi di Bukittinggi bisa menjadi sumber energi dan inspirasi untuk mereplikasinya secara lebih luas, terutama sebagai pesan optimis di tengah situasi sulit saat ini.” (ist)