Hati-hati, Kecanduan Gawai Bisa Akibatkan Gangguan Jiwa
(Baliekbis.com), Masyarakat diminta mewaspadai ganguan jiwa kekinian yang dipicu kecanduan terhadap gawai khususnya HP dan game. Peringatan itu disampaikan Wakil Direktur Bidang Pelayanan RSJ Bangli dr. Dewa Gde Basudewa, SpKJ dalam orasinya di Podium Bali Bebas Bicara Apa Saja (PB3AS), Minggu (4/3).
Mengawali paparannya, dr. Basudewa menjelaskan beberapa tanda jika seseorang mulai mengalami gangguan jiwa. Seseorang bisa dikategorikan mengalami gangguan kejiwaan bila tingkah lakunya mulai tidak selaras dengan lingkungan. “Perubahannya bisa kita amati, dari yang awalnya suka bergaul menjadi tidak suka bergaul. Ciri lainnya, suka ngomong sendiri. Salah satu pemicu gangguan jiwa yang umum adalah depresi,” bebernya.
Namun ahli kejiwaan ini mengamati, belakangan muncul penomena gangguan jiwa ringan yang disebabkan kecanduan pada teknologi khususnya HP. “Sekarang banyak kita lihat orang jalan, tetapi tangannya tetap sibuk dengan HP. Dipanggil pun tidak nyahut, dalam teori ilmu kejiwaan itu disebut obsesif kompulsif atau obsesi berlebihan terhadap sesuatu,” terangnya. Tak hanya HP, belakangan banyak anak remaja yang kecanduan game. Basudewa berpendapat, masyarakat harus mewaspadai dampak negatif dari adiksi atau canduan teknologi ini.
Karena kecanduan teknologi yang tak terkontrol dapat memicu perubahan perilaku seperti menjadi mudah marah ketika kesenangannya diganggu. “Saya menyebutnya sebagai gangguan jiwa kekinian. Saya berharap, spektrum kategori gangguan kejiwaan bisa diubah sehingga penomena kekinian bisa masuk dalam aturan dan tertangani sedini mungkin” imbuhnya.
Pada bagian lain, Basudewa juga menyinggung gangguan jiwa sebagai pemicu tingginya angka bunuh diri. “Angka kematian akibat bunuh diri di Bali cukup tinggi, puncaknya tahun 2004 yaitu sebanyak 180 orang. Sementara tahun 2017 bisa ditahan di angka 99 orang,” ujarnya. Meski grafiknya menurun, namun menurutnya angka itu masih terbilang tinggi. Menurut dia, lingkungan keluarga punya andil yang sangat besar dalam mencegah tindak bunuh diri.
“Jauhkan pola asuh anak dari kekerasan psikis seperti memarahi, merendahkan dan selalu menuntut mereka jadi yang terbaik. Selalu buka ruang komunikasi antar anggota keluarga,” tambahnya. Lebih dari itu, Basudewa juga menghimbau agar pihak keluarga tak menganggap Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) sebagai aib yang terkesan ditutup-tutupi. Sikap tertutup ini mengakibatkan hampir 80 persen pasien dengan ganguan jiwa belum terakses layanan keaehatan yang mereka butuhkan. “Pemerintah menyediakan layanan khusus bagi ODGJ secara berjenjang mulai dari Puskesmas. Silahkan manfaatkan seoptimal mungkin,” ujarnya seraya menginformasikan bahwa RSJ Bangli saat ini menyediakan layanan rawat jalan dan rawat inap bagi ODGJ.
Selain masalah gangguan jiwa, PB3AS kali ini juga diwarnai orasi dari Kabid Perlindungan Hak Perempuan dan Perlindungan Anak BP3A Provinsi Bali dr.Kadek Iwan Darmawan dan dr.Leli Setiawati dari Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak. Dalam orasinya, mereka mengkampanyekan gerakan perlindungan terhadap perempuan dan anak. Masyarakat diminta tak segan-segan melaporkan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di lingkungan mereka. Lebih dari itu, perempuan juga diharapkan tak segan-segan berkonsultasi dengan lembaga terkait bila mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Masih terkait dengan upaya mencegah tindak kekerasan pada perempuan, sejumlah LSM yang mangadakan aksi damai ‘Women’s March Bali 2018’ menyampaikan 8 tuntutan melalui PB3AS. Mereka menuntut disahkannya kebijakan guna melindungi perempuan, anak, masyarakat adat, kelompok minoritas gender dan seksual dari diskriminasi. Selain itu, mereka juga menuntut dihapuskannya stigma dan diskriminasi berbasis gender, seksualitas dan status kesehatan serta mengajak masyarakat berpartisipasi aktif menghapus praktek kekerasan berbasis gender. Selain menyampaikan tuntutan, secara bergantian mereka tampil berorasi menyuarakan perlawanan terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan. PB3AS Minggu ini makin semarak dengan partisipasi mahasiswa STIKES Bali yang menampilkan orasi tentang HIV/AIDS. Selain itu, mereka juga membawakan beberapa buah lagu dengan iringan musik akustik. (sus)