Hindari Perang Tarif, Hotel Perlu Regulasi Harga
(Baliekbis.com), Perlahan-lahan pariwisata Bali sudah menggeliat. Kendati keran wisatawan mancanegara belum dibuka, namun kedatangan wisatawan Nusantara mulai memadati Pulau Dewata. Saat ini diperkirakan ada 2.500 wisatawan Nusantara yang mendarat di Bandara Ngurah Rai. Jumlah tersebut memang masih jauh di saat sebelum pandemi yang mencapai rata-rata 12 ribu penumpang per harinya. “Astungkara sudah ada pergerakan wisatawan Nusantara sejak dibukanya tata kehidupan Bali era baru,” kata I Kadek Arimbawa SH, Ketua DPD Partai Hanura Bali, Kamis (22/10).
Akomodasi pariwisata yang di awal pandemi Covid-19 nyaris seluruhnya menghentikan operasional, kini sudah kembali melayani para wisatawan Nusantara. Bahkan program ‘We Love Bali’ yang digagas oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang melibatkan 4.400 wisatawan domestik membuat akomodasi semringah. Terkini, pemerintah pusat juga memberikan hibah pariwisata kepada Bali sebesar Rp 1,3 triliun yang digunakan untuk membantu sektor perhotelan dan restoran.
Namun di balik geliat mulai bergeraknya sektor pariwisata di Bali, muncul kekhawatiran perang tarif hotel di Bali. “Jika di awal pandemi lalu masih bisa ditoleransi, tapi dengan mulai bergeraknya pariwisata domestik, sebaiknya strategi perang harga dihindari,” imbau suami penyanyi Dek Ulik ini.
Senator DPD RI Dapil Bali periode 2009-2014 dan 2014-2019 ini mengingatkan adanya kekhawatiran akomodasi yang dimiliki pengusaha yang bermodal terbatas bakal gulung tikar jika dipaksa mengikuti arus perang tarif. “Oleh karena itu perlu disiapkan mekanisme agar ada standarisasi harga demi menghindari perang tarif ataupun gimmick-gimmick yang membuat akomodasi lainnya tidak ada tamu,” imbau Arimbawa.
Diakui sekarang masih bisa terkendali, namun kondisi ini akan berpotensi muncul pada liburan akhir tahun dan periode 2021. “Dengan adanya vaksin yang rencananya launching di bulan November 2020, saya optimis jika wisatawan Nusantara akan kembali berwisata ke Bali. Nah, inilah yang harus kembali diantisipasi,” urai politisi yang juga seorang seniman ini.
Perang tarif, kata Arimbawa, memang akan menguntungkan bagi wisatawan. Dan pastinya wisatawan akan memilih harga paling murah dengan fasilitas terbaik. “Namun untuk jangka panjang akan merugikan kita semua. Pemodal yang tidak bisa mengikuti, bakal gulung tikar, dan akhirnya membuat gelombang PHK (pemutusan hubungan kerja) bertambah lagi,” kata Ketua Yayasan Kesenian Bali ini.
Oleh karena itu, lanjutnya lagi, semua stakeholders harus mengantisipasi agar di saat sektor pariwisata makin bergerak, terjadi pemerataan tamu dengan cara tidak melakukan perang tarif. “Biar semua sama-sama kebagian rezeki, dan tidak mematikan satu sama lain,” tuntas Arimbawa. (ist)