I Ketut Wisna: Bali Mawacara yang Ditakuti
(Baliekbis.com), Riuh rendah perbincangan di media sosial terhadap keberadaan Majelis Desa Adat, akhir akhir ini cukup masif kita lihat. Dimulai dari perbincangan di grup grup publik, hingga saling komentar di berbagai akun private telah menjadi topik baru yang hangat.
Kemudian tiba tiba saya mendapatkan kiriman link berita di media online terkait dengan Jumpa Pers Majelis Desa Adat Provinsi Bali tanggal 23 Januari 2021 berkaitan dengan kewenangan Majelis Desa Adat.
Apa gerangan yang terjadi? Pikiran kemudian melayang kembali saat mendengar bagaimana Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali ini pertama di gaungkan dan diperjuangkan oleh Gubernur Bali, I Wayan Koster hingga disetujui oleh pemerintah pusat setelah melalui serangkaian proses panjang dan saya tau pasti, tentu adalah perjuangan yang melelahkan.
Kenapa penuh perjuangan? Pengakuan terhadap struktur kelembagaan adat dan perlindungan adat secara mutlak bukanlah hal yang lumrah. Pasca berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, pengakuan terhadap adat, baik secara kelembagaan maupun corak daerah lebih suka dibalut dengan istilah “istimewa” atau “pengakuan terhadap keyakinan”.
Membicarakan adat yang unik dan beraneka ragam tampaknya lebih sulit dibandingkan membicarakan penyeragaman dan penyamaan.
Berangkat dari itu, keberadaan Perda 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali yang mengakui eksistensi adat dan budaya kemudian menjadi sebuah kado istimewa sekaligus tentu saja menjadi sebuah tantangan baru, bagaimana mendeliver pehamaman tersirat dan tersurat didalam Peraturan Daerah itu sendiri.
Jika kita memiliki kesempatan untuk kemudian membaca secara lebih jauh, ada beberapa hal penting yang kemudian menjadi tonggak baru dalam tata kelola adat di Bali.
Pertama, adalah terciptanya dual sistem pemerintahan yaitu Pemerintahan Negara melalui Desa Dinas dan Pemerintahan Adat melalui Desa Adat.
Kedua, pengakuan negara terhadap Desa Adat, menjadikan posisi Desa Adat menjadi jelas dan tegas. Pengakuan ini telah merubah konstepelasi sistem tata kelola kelembagaan di Desa Adat. sampai pada posisi hukum yang memungkinkan Desa Adat dapat menerima bantuan secara langsung di rekening milik Desa Adat.
Ketiga, keberadaan Desa Adat yang awalnya hanya berkutat pada satu sisi yaitu laku budaya dan spiritual bernafaskan Hindu, menjadi lebih luas saat Desa Adat diberikan wewenang berdasarkan Perda 4 untuk mengelola aspek kebijakan berbasis wewidangan, aspek perekonomian dan aspek lain yang menyertai.
Keempat, Desa Adat secara independen dengan pengakuan negara, dapat melanjutkan implementasi Catur Dresta yakni pandangan atau kebiasaan yang telah diwariskan oleh leluhur orang Bali yang yang terdiri atas Purwa Dresta, Loka Dresta, Desa Dresta dan Sastra Dresta dalam tatanan kehidupan berbasis adat dan budaya . Hal ini penting, karena dalam posisi ini, Desa Adat dapat dengan “nyaman” menegaskan berlakunya setiap kebiasaan tertulis maupun tidak tertulis yang telah berlangsung dan menjadi pondasi besar dalam kehidupan krama adat dan tata kelola Desa Adat itu sendiri.
Pada titik ini, krama Bali saya yakin tidak banyak mengetahui bahwa di medio 1990 – 2000 an, ada upaya yang mungkin saja tidak disengaja, untuk menyamakan semua peristilahan dan termasuk tata kelola Desa Adat melalui Awig – Awig yang seragam dengan isi yang hampir sama dan pemakaian istilah seragam yakni Bendesa Pekraman, meskipun sebenarnya setiap Desa Adat terutama Desa Adat Tua, memiliki tata kelola dan peristilahan yang khas dan unik seperti Kelian Desa, Panyarikan Desa, Paduluan, dan istilah lain yang merujuk pada pemimpin di Desa Adatnya itu sendiri.
Kelima, Desa Adat saat ini tidak “dipaksa” atau “terpaksa” untuk menyelesaikan permasalahannya sendiri yang cenderung membuat desa adat harus menghadapi upaya pelemahan dari dalam. Saat ini Desa Adat memiliki acuan yang jelas untuk memberlakukan Catur Drestanya dan bisa menjadikan Awig-Awig serta Pararem sebagai sebuah panduan utama dalam mengelola setiap dinamika dan persoalan. Terlebih ada hirarki yang diakui oleh Negara melalui Perda 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali, dalam menyelesaikan persoalan dan dinamika.
Sebelumya, permasalahan di Desa Adat seringkali menjadi pintu masuk bagi “oknum” tokoh politik, dan berbagai kepentingan untuk kemudian seolah solah menjadi penengah atau pembela, yang akhirnya malah membuat persoalan menjadi tambah melebar dan cenderung destruktif terhadap Desa Adat.
Bandingkan dengan saat ini. Ketika hanya ada satu cara mekanisme pengambilan keputusan di Paruman Paruman Desa, yakni musyawarah mufakat, maka setiap permasalahan selalu menemukan cara yang pasti untuk selesai dan tuntas melalui Paruman Desa itu sendiri.
Celah untuk siapapun bisa masuk menjadi “pahlawan kepagian maupun pahlawan kesiangan” kemudian tertutupi. Karena dulu tanpa adanya kesatuan tafsir yang jelas, maka Desa Adat melalui sebuah masa “kegamangan” dalam menghadapi dinamika di internal mereka sendiri.
Selanjutnya, Perda 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali yang memberikan sebuah pengakuan kepada Desa Adat untuk membentuk Majelis Desa Adat sebagai Pasikian 1.493 Desa Adat di Bali , semakin mempertegas pola dan tatanan dari Desa Adat itu sendiri sehingga jauh lebih baik dan lebih pasti dalam setiap dinamikanya.
Lalu bagaimana kemudian posisi Majelis Desa Adat dalam kaitan Desa Mawacara tersebut. Pertanyaan ini bisa terjawab dengan sangat jelas didalam setiap produk kebijakan Majelis Desa Adat di Bali yang membagi secara jernih dan konsisten, yang mana harus dilakukan dengan kebijakan Desa Mawacara dan yang mana harus dilakukan melalui pengambilan keputusan demi kepentingan bersama dalam konteks Bali Mawacara.
Mengutip Bali.tribunnews.com dan Rilis Berita resmi MDA Provinsi Bali tentang proses Ngadegang Bandesa, Kelian Adat atau sebutan lainnya, saya perhatikan ada 3 surat edaran yang dikeluarkan oleh Majelis Desa Adat yakni SE Nomor 002/SE/MDA-Prov Bali/IV/2020 tanggal 4 April 2020, kemudian SE Nomor 006/SE/MDA-Prov Bali/VII/2020 dan SE Nomor 007/SE/MDA-Prov Bali/XI/2020, yang semuanya menegaskan bahwa pengambilan keputusan harus melalui Paruman Desa yang berdasarkan pada Awig-Awig yang berlaku. Ini mutlak adalah sebuah implementasi konsisten terhadap Desa Mawacara.
Selanjutnya mari kita lihat contoh nyata konteks pelaksanaan konsep Bali Mawacara. Kita semua masih ingat, bagaimana penolakan terhadap Sampradaya Non-Dresta Bali sempat menguat dan bahkan berkali kali mengalami dinamika serta aksi aksi jalanan yang cukup massif dan besar, dimana kami juga terlibat langsung didalamnya.
Dalam hal ini, krama Bali telah menunjukkan sikap dan ketegasan bahwa Hindu Bali yang bernafaskan Adat Budaya dan Dresta Bali tidak bisa diperdebatkan lagi sebagai sebuah konsepsi yang tegas harus dipertahankan.
Kemana krama – krama kita yang berjuang untuk mempertahankan dresta Bali ini bersandar? Desa Adat adalah satu satunya yang relevan pada saat itu, karena PHDI Bali belum mengeluarkan sikap, akibat masih menunggu petunjuk dari PHDI Pusat.
Disinilah kemudian jelas, bagaimana peran Majelis Desa Adat Provinsi Bali dalam konteks Bali Mawacara yang mengeluarkan sikap dan produk formal melalui Surat Intruksi Nomor 01/SI/MDA-PBali/VIII/2020 tanggal 5 Agustus 2020 yang selanjutnya menjadi dasar perjuangan dan gerakan untuk mengeluarkan Sampradaya Non Dresta dari Hindu Bali, hingga terbitnya SKB PHDI Bali – MDA Bali Nomor 106/PHDI-Bali/XII/2020, Nomor 07/SK/MDA-ProvBali/XII/2020 tentang Pembatasan Kegiatan Pengembanan Ajaran Sampradaya Non-Dresta Bali di Bali.
Sampai titik ini, saya kemudian tersadar bahwa demikian pentingnya Desa Mawacara dan Bali Mawacara ini menjadi seperti dua sisi keping mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dalam contoh diatas, bagaimana kemudian jika tidak ada implementasi Bali Mawacara? tentu saja tidak akan ada kesearahan didalam melakukan gerakan dan perjuangan guna melindungi Bali yang kita cintai ini.
Kembali kepada topik utama terkait dengan Ngadegang Bandesa Adat, Kelian Adat atau sebutan lain di Desa Adat. Karena demikian jelasnya aturan main dalam melaksanakan proses Ngadegang Bandesa, Kelian Desa atau sebutan lain di Desa Adat, dan pengakuan untuk menggunakan Awig Awig sebagai panglima utama dalam proses tersebut, maka kembali lagi : Desa Adat bisa secara independen melakukan proses tersebut. Tidak perlu ada campur tangan dari oknum oknum yang memiliki kepentingan dan agenda pribadi atau kelompok, karena semua jelas ada didalam awig dan pararem yang dibuat sendiri oleh Desa Adat melalui mekanisme Paruman Desa.
Lalu kemudian jika ada penyelewangan pelaksanaan Awig Awig tersebut, maka Krama Desa Adat sendiri bisa meluruskan. Karena merupakan produk hukum adat sendiri, maka Krama Desa Adat sendiri akan sangat paham apakah sudah berjalan benar atau keliru. Disini jelas kemudian bahwa krama memiliki hak yang utuh dan kuat dalam memastikan awig-awig nya berjalan.
Proses keberatan itu sendiri, seperti dijelaskan dalam jumpa pers tanggal 23 Januari 2021 oleh Patajuh Bandesa Agung Bidang Kelembagaan dan Bandesa Agung sendiri yang dirilis berbagai media online maupun cetak, prosedur mengajukan keberatan tersebut sangat jelas, rigid dan pasti. Jadi,sebenarnya sampai disini tidak ada permasalahan yang mendasar untuk kemudian dibawa ke ranah ranah diskusi yang melebar pada isu isu politik kekuasaan atau isu lain yang mengaburkan peran dan fungsi Majelis Desa Adat yang sangat luhur tersebut.
Dalam hal Majelis Desa Adat memberikan Pengakuan maupun Pengukuhan itu adalah sebuah syarat administratif dan implementasi dari kewenangan Majelis Desa Adat dalam Perda 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali terkait dengan pembinaan dan pengayoman Majelis Desa Adat sebagai Pasikian dari 1.493 Desa Adat di Bali.
Bentuk Pengakuan maupun Pengukuhan itu sendiri, dikembalikan secara tegas dan konsisten pada Awig Awig dan Pararem yang berlaku di masing masing Desa Adat itu sendiri. Ini sebuah mekanisme bagaimana Desa Mawacara dan Bali Mawacara menjadi seperti yang saya tulis diatas adalah 2 (dua) keping mata uang logam.
Ketika ada Desa Mawacara, maka harus ada pengakuan bahwa Desa Mawacara tersebut sah. Apa wujud pengakuan terhadap Desa Mewacara dalam proses Ngadegang Bandesa Adat, Kelian Adat atau sebutan lain? Jelas dan tegas, jawabannya adalah Pedoman Awig-Awig, Penerapan Perarem dan mekanisme pengambilan keputusan melalui Paruman Desa yang berdasarkan pada Musyawarah Mufakat, Paro Sparo , Salunglung Sabayantaka, Sarpana ya.
Proses inilah yang dilakukan dalam konteks Bali Mawacara oleh Majelis Desa Adat Provinsi Bali melalui penerbitan Pengakuan dan Pengukuhan tersebut.
Dalam kesempatan jumpa pers itu, dijelaskan dari 1.493 Desa Adat, total 1400 Desa Adat diantaranya telah menerima Surat Pengakuan maupun Pengukuhan. Ini data riil dan faktual. sedangkan 93 diantaranya, ada 15 Desa Adat yang sudah mengajukan permohonan kepada Majelis Desa Adat Provinsi Bali namun masih dalam proses, belum dikeluarkan Surat Pengakuan maupun Pengukuhan karena masih ada persyaratan administrasi yang belum selesai dan ada permasalah di internal Desa Adat yang harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mekanisme mediasi maupun wicara adat.
Kembali lagi sampai titik ini, kita orang awam pasti akan menilai, jika kemudian kebijakan ini bermasalahbahkan dituduh “overlapping” dalam postingan di FB salah satu oknum pejabat publik, maka tentu 1.400 Desa Adat yang lain akan kacau. Namun kenyataannya tidak, jika semua syarat untuk penerbitan Pengakuan dan Pengukuhan sudah dipenuhi, tidak ada permasalahan atau pengajuan wicara atas proses Ngadegang Bandesa Adat, Kelian Adat atau sebutan lain di internal terkait dengan proses tersebut, maka Pangakuan dan Pengukuhan pasti akan diterbitkan.
Peran Majelis Desa Adat, juga menjadi sangat sentral dan konteks Bali Mawacara, setelah Gedung Majelis Desa Adat Provinsi Bali di Jalan Cok Agung Tresna 67 Renon diresmikan, hampir setiap hari ada 5-10 Desa Adat yang melakukan konsultasi baik secara bersama sama maupun bergantian, belum lagi konsultasi lewat online meeting yang menegaskan bahwa Majelis Desa Adat sangat dibutuhkan perannya dalam tata kelola adat era baru pasca Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali diterbitkan.
Lalu kemudian sesuai judul yang saya pilih diatas, kenapa Implementasi Konsep Bali Mawacara ini sangat ditakuti oleh oknum tertentu yang kemudian bersama sama secara masif bergerak dan berkomentar tanpa mau mencari tahu dan memahami bagaimana Majelis Desa Adat berproses?
Maka jawabannya adalah : Penguatan Desa Adat, membawa Desa Adat pada sebuah kepastian posisi dan tata kelola (keluar dari masa kegamangan), tidak membuat semua orang senang. Ada celah celah yang tertutup untuk masuk ke desa adat menjadi pahlawan kepagian, pahlawan kesiangan atau pahlawan kemalaman yang dalam banyak kasus malah membuat Desa Adat menjadi ricuh dan terpecah belah.
Ada peluang yang tertutup untuk membuat tafsir tersendiri yang menguntungkan dirinya sendiri atau kelompoknya. Dan ada peluang yang tertutup untuk membungkam prajuru Desa Adat dengan menakut nakuti menggunakan kekuatan politik dan hukum akibat ketidakjelasan dalam tata kelola dan pemaknaan hukum adat di Desa Adat itu sendiri.
Dan yang lebih penting, tidak ada lagi upaya yang bebas tanpa batas untuk mengganti keyakinan Krama Bali dengan ajaran Sampradaya Non-Dresta Bali yang nyata nyata telah mendestruksi kehidupan adat dan budaya Bali yang bernafaskan Hindu Bali.
Ini jauh lebih penting dan harus dicermati betul. Jika permasalahan politik, paling kita hanya terbeban selama maksimal 5 tahun saja dan setelah itu, krama Bali bisa mengambil sikap apakah meneruskan atau menyudahi.
Tapi bayangkan jika kemudian terjadi pergeseran keyakinan dan adat budaya serta Dresta Bali, maka ancaman adalah kepunahan generasi. Ancamannya adalah kepunahan Bali secara utuh.
Saat ini, oknum oknum dari dua kekuatan itu tampaknya sedang berusaha untuk merongrong dan mendiskreditkan baik itu keberadaan Perda 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali, maupun peran dan fungsi Majelis Desa Adat. Gabungan ini entah bersinergi atau salah satu memanfaatkan momentum sepertinya tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Belum lagi ditengah tengah ini, ada oknum oknum opportunistik yang mengatasnamakan tokoh, akademisi, penulis dan lain sebagainya berusaha untuk sama sama menyerang dari aspek masing-masing. Sungguh ini tidak boleh dibiarkan.
Hal ini harus disadari oleh semua pihak. Jangan terbawa arus untuk strategi kembali membawa Desa Adat ke titik lemah seperti saat dulu sebelum terbit Perda 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali hadir.
Saya bisa menunjukkan bahwa orang yang dulu berkoar koar minta penguatan Desa Adat namun tidak melakukan upaya untuk penguatan itu sendiri, malah hari ini ada di garis depan menginginkan Perda 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali diubah.
Dia ada digaris depan untuk membuat opini bahwa Majelis Desa Adat telah melewati batas kewenangan dst. Ini adalah sebuah anomali.
Mari satukan barisan. Permasalahan yang terjadi di 1 – 2 Desa Adat, harus kita pandang sebagai sebuah dinamika biasa yang terjadi dari 1.400 Desa Adat lain yang hari ini dengan senyum lega, telah melalui proses pejayan jayaan dan pengukuhan serta telah mulai bekerja untuk mendorong Desa Adatnya tumbuh mandiri, berkelanjutan dengan tata kelola yang baik berdasarkan Perda 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali.
Ini malah saya nilai sebagai sebuah prestasi besar Majelis Desa Adat untuk sebuah konsepsi dan tatanan baru seumur jagung, beban yang berat dan segala keterbatasan yang ternyata mampu dijawab oleh Prajuru Prajuru Majelis Desa Adat Provinsi Bali.
Kembali kepada terjadinya permasalahan, hendaknya kita berikan kesempatan untuk diselesaikan sesuai mekanisme yang ada dan resmi melalui proses wicara adat yang diakui oleh Hukum Negara berdasarkan Undang Undang Dasar 1945. Hendaknya kita tidak berkomentar dalam koridor yang sempit yang malah membawa persoalan kepada subyektifitas membabi buta dan arogansi hingga muncul frasa “Prajuru Mengepung Gedung Majelis Desa Adat”.
Semoga semua pihak menahan diri, dan kita kembali ke Bali Jati Mula, Paro Sparo, Sagilik Sagulukk, Salunglung Sabayantaka, Sarpana Ya.
Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru. Semoga pejuang pejuang Hindu Bali, Dresta Bali selalu diberikan sinar terang dan energi perjuangan. *I Ketut Wisna, S.T., M.M. (Ketua Forum Komunikasi Taksu Bali).