Jadi Primadona, Putu Suasta: Dana Desa Berbuah Penahanan
(Baliekbis.com),Dalam satu dekade terakhir, desa menjadi pusat perhatian pembangunan dalam skala nasional. Kebijakan pemerintah dalam berbagai bidang agaknya selalu memikirkan peruntukan desa. Desa kini adalah salah satu primadona dalam prioritas pembangunan nasional.
Selain dibuka jalan-jalan baru yang melancarkan perekonomian desa, Presiden RI Joko Widodo sering menyambangi para petani, peternak dan warga desa dalam lawatan Presiden ke berbagai wilayah Nusantara. Apalagi di era Joko Widodo telah ada satu kementerian yang khusus menangani pembangunan desa, yakni Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi RI saat ini dijabat oleh Eko Putro Sandjojo. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi RI adalah kementerian dalam Pemerintahan Indonesia yang membidangi urusan pembangunan desa dan kawasan pedesaan, pemberdayaan masyarakat desa, percepatan pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi.
“Selain keberadaan menteri yang menangani desa dan wilayah pedesaan, desa-desa di berbagai wilayah Nusantara juga dibantu pendanaan dari Pemerintah Pusat,” ujar pengamat sosial dan budaya Drs. Putu Suasta,M.A. Menurut data, sejak 2015 hingga kini setidaknya telah digelontorkan Rp 700 triliun kepada desa-desa di Indonesia melalui program Dana Desa. Penerimaan bantuan Dana Desa berbeda-beda satu dengan yang lain, namun tiap desa sedikitnya menerima Rp 800 juta. Dana ini dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan di desa dengan menempatkan skala prioritas kebutuhan. “Namun program Dana Desa itu tak semuanya berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sejumlah masalah baru muncul dalam menerapkan Dana Desa,” jelas master jebolan Amerika ini.
Fakta yang ditemui di lapangan, misalnya, betapa gagapnya para perangkat desa merealisasikan penggunaan bantuan Dana Desa itu, tak cermat dan smart dalam menyusun program pembangunan desa berdasarkan skala prioritas pembangunan desa, kurang mahirnya membuat laporan keuangan, manajemen keuangan yang jauh dari keterampilan memadai.
“Selain itu, dan ini yang lebih parah, ialah penyelewengan-penyelewengan bantuan Dana Desa oleh para perangkat desa. Dan itu jumlahnya tidak dalam hitungan jari. Kita bersama mengetahui, media massa cetak maupun media internet terlalu sering menggambarkan betapa banyaknya para perangkat desa berurusan dengan pihak berwajib karena mengorupsi bantuan Dana Desa itu,” jelas Putu.
Banyak pihak menyayangkan peristiwa tak terpuji itu. Banyaknya peristiwa korupsi bantuan Dana Desa itu bahkan mengambil perhatian Presiden Joko Widodo.
Kepada pers, Joko Widodo mengungkapkan, ada ratusan kepala desa di Indonesia yang ditangkap karena perkara penyelewengan Dana Desa. “Ada lebih dari 900 kepala desa yang ditangkap gara-gara Dana Desa,” kata Presiden kepada pers.
Ia menambahkan, berdasarkan survey yang dilakukan pihaknya, ada banyak bantuan Dana Desa yang telah tepat sasaran. Menurut catatan, ada 7.400 kepada desa yang telah menerima bantuan Dana Desa dan itu semuanya telah disalurkan. Joko Widodo juga mengungkapkan, untuk meminimalisasi penyelewengan Dana Desa, peran pengawasan dan keterlibatan masyarakat desa sangat diperlukan. “Mungkin Pemerintah Pusat, provinsi dan daerah telah mengikuti penyaluran Dana Desa itu, namun kontrol dan pengawasan yang baik adalah dari masyarakat,” imbau Presiden.
Wabah Korupsi
Penahanan ratusan kepala desa oleh kepolisian karena mengorupsi bantuan Dana Desa sama sekali bukan hal baru. Apa hal baru dari peristiwa korupsi di negeri ini? Ia telah berkembang subur sejak Orba berkuasa hingga hari ini. Akar korupsi telah tertanam kuat di segala lini kekuasaan, siapa pun pemimpinnya. Suatu institusi yang bersifat keagamaan di lingkungan kekuasaan sekali pun tak bisa bertahan dari godaan tindakan korupsi.
Dan fakta itu telah terjadi. Pers memegang catatan jurnalistiknya atas peristiwa itu.
Demikian pun dengan korupsi bantuan Dana Desa dari Pemerintah Pusat. Sebetulnya tak ada yang baru dari peristiwa itu. hanya kemudian menjadi menarik bahwa program bantuan itu diselewengkan oleh luar biasa banyaknya oknum-oknum kepala desa. Hingga saat ini baru diketahui 900 lebih kepala desa yang terciduk mengorupsi Dana Desa. Entah berapa lagi yang belum terciduk. Entah berapa lagi jumlahnya mereka yang mungkin ‘akan tergoda oleh ratusan juta uang di hadapan mereka’.
Menurut Putu, ada beberapa hal penyebab yang bisa ditelusuri mengapa korupsi Dana Desa itu terjadi. Pertama, aspek watak korupsi. Satu hal yang nyata dari psikososial kekuasaan adalah tradisi korupsi. Dunia telah lama mengetahui bahwa negara kita adalah satu dari sekian besar sebagai negara terkorup di dunia. Meski tahun 2018 Indonesia tak lagi menempati urutan fenomenal dalam tindak korupsi, namun jika dilihat dari indeks prestasi komulatif (IPK), skor tindak korupsi menempatkan Indonesia belum benar-benar bersih dari korupsi sebagaimana dilansir oleh beberapa lembaga yang mengamati persoalan korupsi dunia.
“Dan kita yang ada di dalamnya masih saja dengan nyata melihat peristiwa-peristiwa terciduknya pejabat-pejabat negara yang korupsi, dari tingkat menteri, gubernur, bupati dan yang paling fenomenal adalah kepala desa! Ini menunjukkan bahwa tindakan korupsi masih berlangsung,” jelasnya. Keberadaan KPK yang begitu gencar memburu mereka yang ‘ditandai melakukan tindak korupsi’ terus berlangsung dan lebih dari itu, KPK juga begitu terbuka mengabarkan ‘hasil tangkapannya’ kepada pers dan publik.
Kedua, desa sebagai suatu wilayah yang paling kecil (di Bali masih ada yang lebih kecil wilayahnya, yang disebut banjar), dengan kehidupan yang rata-rata sahaja, sedikit tidaknya akan mengalami ‘keterperanjatan finansial’ saat mengetahui bahwa mereka dihibahkan dana yang sangat besar. Warga desa, termasuk juga pengurus/perangkat desa, pada umumnya belum terbiasa ‘memegang’ uang besar. Sehingga secara psikis berpeluang membuka watak ingin memiliki lebih banyak secara pribadi. Dalam sejumlah besar kasus korupsi kepada desa yang terungkap, terciduknya mereka karena persoalan itu, menggunakan Dana Desa untuk kehidupan pribadi mereka.
Jumlah uang yang besar, meski semua itu masih ada di bank atau koperasi, namun mereka tahu bahwa uang besar itu adalah untuk desa mereka. alih-alih membuat suatu agenda pembangunan desa, mereka mungkin berhitung bagaimana uang besar itu bisa menjadi bagian yang didapatkan secara pribadi. godaan semacam ini menemukan buktinya ketika mereka terciduk oleh aparat kepolisian. Dan barangkali tak sedikit pula yang belum ‘kepergok’ memanfaatkan Dana Desa itu untuk kepentingan pribadi.
Ketiga, aspek pengawasan yang renggang dari warga desa adalah salah satu pemicu mengapa tindak korupsi Dana Desa itu terjadi. Bayangkan misalnya sebuah desa yang terletak di kawasan terpencil dengan tingkat keapatisan dan kenaifan warganya, sangat awam dengan mekanisme keuangan desa. Angggapan bahwa warga desa merasa sebagai orang kecil yang merasa tak pantas berurusan dengan birokrasi, sangat merasa awam tentang mekanisme hubungan desa dengan pemerintah di atasnya. Renggangnya pengawasan dan keapatisan warganya inilah menjadi peluang besar bagi perangkat desa memanipulatif Dana Desa untuk kepentingan pribadi mereka.
Keempat, ‘sifat’ uang itu tak akan pernah memuaskan manusia. Sebanyak uang yang dimiliki seseorang, ia akan terus mengambil dan mengumpulkannya. Bayangkan jika orang-orang yang hampir seumur hidupnya tak pernah memiliki banyak uang, sekali melihat di depannya sejumlah besar uang, di situlah imannya terguncang dan mencoba mengambil sebanyak yang ia mampu. Memang tak semua orang akan mudah tergoda, namun peluang itu mungkin terjadi. Dan dalam konteks Dana Desa ini, 900 lebih kepala desa telah terciduk mengorupsi uang Dana Desa.
Berdasarkan empat penguraian latar belakang itu, Dana Desa akan selalu berpeluang digelapkan. Ancaman hukuman yang menghadang sebagai risiko perbuatan itu pada kenyataannya tak begitu menimbulkan efek jera. Kita lihat dalam satu dekade terakhir saja, berapa ratus koruptor telah terciduk dan dipenjarakan dengan tingkat korupsi miliaran rupiah, namun tindak korupsi tetap terus berlangsung.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sekali pernah mengungkapkan bahwa Dana Desa itu bukan untuk kepala desa, melainkan untuk mempercepat pembangunan desa.
Mengefektifkan Peran Pendamping
Tindak korupsi Dana Desa tak boleh terus berlangsung. Berbagai pihak sangat mengkhawatirkan program Dana Desa ini. Di antaranya mereka berharap ada pengawasan melekat yang konsisten mengawasi penggunaan Dana Desa ini. Bahwa Presiden Joko Widodo meminta masyarakat turut mengawasi penggunaan Dana Desa itu adalah hal baik, namun itu belum cukup. Diperlukan sejumlah tindakan antisipatif yang mempersempit tindak korupsi Dana Desa.
Misalnya, ketika program Dana Desa ini mulai dirancang, seharusnya pemerintah memasukkan unsur ‘pendampingan’ dari suatu lembaga atau perorangan yang memiliki keterampilan keuangan dan managemen untuk mendampingi pengurus/perangkat desa dalam merealisasikan Dana Desa itu. Institusi atau orang per orang ahli keuangan dan managemen yang mendampingi ini dimasukkan sebagai bagian permanen dari program Dana Desa ini. Mereka bisa memberi pengetahuan praktis tentang pelaporan yang benar dan sistematis, menjadi bagian pengontrol yang ketat dalam realisasi Dana Desa, menjadi konsultan dalam mengelola keuangan Dana Desa dan seterusnya. Tanpa mengecilkan kemampuan perangkat desa dalam managemen dan keuangan, tetapi pasti ada yang kikuk dalam mengelola keuangan, dalam membuat laporan keuangan, dalam menentukan arah skala prioritas keuangan.
Kenyataan ini juga diakui oleh DPR RI. Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan mengakui penggunaan Dana Desa masih rawan diselewengkan. “Teman-teman di lapangan belum begitu paham mekanisme pertanggungjawabannya. Sehingga kami menyarankan sosialisasi yang lebih detail tentang bagaimana pelaksanaan teknisnya dan prosedurnya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku atau pun ketetapan aturan pemerintah,” kata Taufik kepada pers di Gedung DPR Senayan (16/8/2017).
Maka di sinilah peran pendamping permanen itu membantu sekaligus memantau distribusi keuangan Dana Desa. Karena tanpa itu, kasus penggelapan uang Dana Desa akan berpeluang terulang. Dana Desa yang telah dicairkan kepada ribuan desa di Indonesia belum kita ketahui tingkat kecemerlangannya dalam pembangunan desa. Padahal Dana Desa itu luar biasa besarnya yang mereka terima. Dana Desa itu yang terkabar hanyalah bersifat pembangunan fisik yang rutin, belum termanfaatkan pada kecemerlangan prestasi komunal suatu desa. Maka inilah perlunya hadir pendamping ahli sebagai partner sekaligus pemantau dalam penggunaan Dana Desa itu.
Bagian terbesar dari wilayah Indonesia adalah kawasan pedesaan. Dan sebagian besarnya sangat membutuhkan bukan saja hal-hal finansial, namun juga keterlibatan para ahli/inteketual membantu mempercepat membawa mereka pada tingkat kehidupan yang lebih baik. Itulah mengapa Dana Desa ini begitu berarti buat mereka. Bayangkan jika bagian terbesar dari Dana Desa itu digelapkan oleh oknum-oknum kepala desa yang tak bertanggung jawab.(sta)