Jejaring Budaya Masyarakat Pegunungan Bali
(Baliekbis.com), Bentara Budaya Bali (BBB) kembali mengetengahkan program Bali Tempo Doeloe, sebuah agenda diskusi dan tayang film yang telah digelar sedari tahun 2013. Acara ini bukan hanya menghadirkan sisi eksotika Bali masa silam, melainkan menyoroti problematik lintas waktu, termasuk refleksinya bagi masa depan.
Pada seri ke-21 yang berlangsung Sabtu (27/04) pagi di BBB, Bali Tempo Doeloe (BTD) merujuk tajuk “Jejaring Budaya Masyarakat Pegunungan Bali”. Diskusi membincangkan peradaban masyarakat Bali Aga, berikut keberaksaraan dan peradaban air yang bermula dari pegunungan Cintamani (Kintamani). Diyakni pada masa itulah Bali pernah merasakan masa keemasan “kebudayaan pertanian” yang didukung oleh jaringan sistem komunitas masyarakatnya. Jaringan sistem komunitas inilah yang menopang kebudayaan pertanian dengan jaringan keterikatannya, diantaranya adalah hubungan sosial desa dan banjar, orientasi pura penting, banua, dan sanggah kemulan.
Selain itu, disinggung pula keberadaan sejumlah terbitan yang mencerminkan geliat anak muda Batur pada jejak peradaban dan budaya mereka sendiri, diantaranya buku Jejak Peradaban di Kaki Gunung Batur (2018) dan Majalah Batur, Kata Penyambung Peradaban, yang hingga kini sudah terbit dua edisi (2018 – 2019).
Tampil sebagai narasumber dua pembicara muda mumpuni yakni I Putu Eka Guna Yasa (Dosen Program Studi Jawa Kuno, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana) dan I Ketut Eriadi Ariana (jurnalis). Diskusi ini dimoderatori oleh I Ngurah Suryawan, antropolog yang kini sedang melakukan penelitian pada masyarakat pegunungan Bali, khususnya Batur.
Adapun program ini merupakan kerja sama Majalah Batur, Batur Volunteer, dan Batur Natural Hot Spring dengan Bentara Budaya Bali. Eriadi Ariana memaparkan pandangannya perihal budaya agraris Pasihan yang tercipta dari denyut peradaban air yang berorientasi ke Danau Batur dan Pura Ulun Danu Batur. Batur disebut menjadi titik ekologis penting bagi Bali, di mana kawasan resapan airnya yang besar mengairi wilayah-wilayah di Bali. Jaringan Pepasihan inilah yang menghubungkan Pura Ulun Danu Batur dengan 45 subak di Bali.
Lulusan Sastra Jawa Kuno Universitas Udayana ini menilai bahwa sistem Pepasihan sebagai representasi dari sistem pertanian, khususnya subak, kini tengah berada di jalan simpang. “Pepasihan kini cenderung hanya dimaknai sebagai jejaring ritual saja, tapi sebagai jejaring sosial diabaikan,” ungkapnya.
Sementara itu, I Putu Eka Guna Yasa, mencoba membaca fenomena Batur dan peradaban airnya dari perspektif sastra. “Batur memiliki relasi yang kuat dengan jejaring subak yang ada di Bali telah disinggung dalam teks Dharma Pamaculan.Pustaka yang konon mengadopsi tata cara penyambutan air di Majapahit tersebut dengan jelas memuat kearifan lokal masyarakat Bali dalam memuliakan air,” ungkap Guna Yasa. Ia juga menambahkan bahwa teks-teks klasik sesungguhnya telah lama berpesan bahwa sumber amerta orang Bali itu ada di tiga wilayah yaitu laut, gunung, dan sungai.
“Menurut saya, pengembangan pariwisata, khususnya dalam konteks Batur, seharusnya berorientasi pada pendidikan sebagaimana yang diwariskan para leluhur pendahulu kita melalui teks-teks klasik tersebut. Di zaman sekarang, sprit Batur sebagai pusat studi harus mesti dijadikan inspirasi untuk mengembangkan wilayah ini menjadi pusat-pusat studi baru ” ujarnya. (ist)