Kebudayaan Bali Dikhawatirkan Berubah Akibat COVID-19, Seniman Dituntut Lebih Kreatif
Tubuh manusia Bali yang sangat lekat dengan nuansa komunal, bekerja secara kolektif di bawah naungan desa/banjar adat kini sedang berhadapan wabah pandemi Covid-19-19.
(Baliekbis.com),Covid-19 mengharuskan manusia Bali mengadopsi nilai-nilai baru yakni social distancing, pakai masker dan tidak bersentuhan satu sama lain. Kondisi ini dalam jangka panjang dapat mengubah kebudayaan Bali yang tidak sesuai dengan bahasa tubuh manusia Bali selama ini.
Dalam berdamai dengan Covid-19-19, seniman Bali sebagai salah satu penyangga kebudayaan dituntut lebih kreatif dengan menghasilkan karya-karya sesuai tuntutan jaman.
Demikian ringkasan diskusi hangat yang muncul dalam Webinar 2 Pusat Penelitian (Puslit) Kebudayaan Unud Jumat (29/5). Webinar yang dipandu Koordinator Puslit Kebudayaan Prof. Dr. Nyoman Darma Putra, M.Litt dan dibuka Rektor Unud Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SP.S(K) menghadirkan pembicara pakar Budaya Prof. Dr. I Made Bandem dan kolumnis Dr. Jean Couteau.
Webinar terselenggara berkat dukungan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Unud dan Jurnal Kajian Bali (terakreditasi Sinta-2) yang tahun ini sudah berusia 10 tahun.
Dari Budaya Pertanian
Prof. Bandem berpendapat kebudayaan Bali berkembang dari budaya pertanian sehingga sepanjang pertanian di Bali tetap berjalan baik maka kebudayaan Bali tidak akan punah. Pendapat ini melihat pandangan ini kurang relevan dengan situasi terkini. Secara evolusi sosiologis, menurut Jean Couteau, peran pertanian dalam menyangga perekonomian masyarakat Bali semakin surut, kontribusi pertanian terhadap PDRB Bali hanya 20%.
Dr. Jean Couteau
Jika sebelumnya budaya pertanian sebagai acuan ideologis karena kontribusi pertanian sangat tinggi, dewasa ini telah terjadi pergeseran budaya pertanian ke budaya urban.
“Tanah, tenaga kerja, dan kebudayaan telah menjadi komoditas. Hal ini menimbulkan guncangan psikologis. Jika tidak ditangani dengan baik menimbulkan radikalisme,” tegas penulis asal Prancis dan menetap di Bali itu.
Diakuinya, pencegahan radikalisme akibat cultural shock dapat dilakukan dengan penanaman kesadaran bahwa masalah sosial kemasyarakatan ini semakin kompleks. Agar tidak terjadi kesalahpahaman maka perlu adanya upaya pemilahan masalah sosial dan masalah budaya yang ada selanjutnya dicarikan solusi masing-masing masalah tersebut.
Rentan Tertular namun Luput
Dr. Jean Couteau memaparkan orang Bali rentan tertular Covid-19 karena orang Bali itu khas yang sangat akrab dengan alam dan lingkungan.
“Keakraban dengan tubuh sendiri dan tubuh orang lain, saling rangkul, tidur bersama, atau keakraban kehidupan kolektif dalam upacara agama, tontonan dan sangkep. Semua itu tidak bisa lagi dilakukan karena Covid-19,” paparnya.
Namun demikian, Jean Couteau mengaku kaget dengan fakta orang Bali disebutnya “luput” dari serangan Covid-19.
Kondisi ini karena orang diatur dengan sistem banjar, yang memiliki otoritas penuh mengatur warganya dan mengantisipasi masuknya pihak lain ke wilayahnya dengan menanyakan tujuan perjalanan orang lalu lalang di banjar tersebut. Diyakini kondisi ini menjadikan penanganan Covid-19 terbaik di Indonesia dan dunia.
Diskusi Hangat
Seksi diskusi berlangsung hangat, selain pertanyaan lewat chatting, peserta juga diundang bertanya langsung. Peserta webinar asal Gianya Prof. Dr. Wayan Pastika menolak “pujian” intelektual Jean Couteau itu dengan menyodorkan fakta jumlah orang terjangkit Covid-19 di Bali lebih banyak dari beberapa provinsi di Indonesia seperti Aceh dan Bangka Belitung.
“Jangan dininabobokan terus orang Bali. Orang Bali menghadapi masalah krusial dimana mereka melakukan kanibal budaya. Orang Bali harus jual tanah untuk membiaya yadnya, termasuk menggelar seni pertunjukkan,” tegasnya.
Senada dengan ini antropolog UGM Dr. Pande Made Kutanegara menyebut rakyat Bali menghadapi kegamangan situasi di masa depan. Alasannya, karakter orang Bali yang biasa gotong-royong dan hidup kebersamaan sebagai komunitas terpaksa berubah di era new normal, lebih individualistis sehingga terjadi perubahan esensial dalam kebudayaan Bali.
Seniman Menderita
Prof. Bandem menyatakan perlu dipikirkan sistem menjaga suasana kegotong-royongan masyarakat Bali khususnya seniman. Seniman, kata Prof. Bandem, menjadi pihak paling menderita di tengah Covid-19. Pertunjukkan komersial dan pentas dengan system ngayah sudah tidak mungkin digelar karena pemerintah menekankan masyarakat tidak boleh keluar rumah dan berkerumun.
Prof. Made Bandem
“Seniman Bali sangat patuh imbauan pemerintah kendati pendapatannya hilang. Jadi ke depan perlu dipikirkan asuransi seniman dan pemasaran hasil karya seniman secara digital,” tegasnya. Dicontohkan, perajin perak Desak Suarti pernah sukses memasarkan produknya secara digital kepada warga Amerika Serikat pasca peristiwa 11/9 tahun 2001 lalu.
Prof. Bandem menceritakan situasi sulit yang dihadapi seniman saat ini yakni 12 sekaa tari Barong di Bali yang biasanya pentas setiap pagi dan sore sebelum covid mewabah kini harus tinggal di rumah, lelang lukisan di museum, atau pentas kesenian saat piodalan tidak ada lagi.
Webinar ini disambut antusias oleh berbagai kalangan di seluruh Indonesia dan luar negeri terbukti penanya pada webinar ada dari Papua, NTT, Padang, Jogjakarta, Madura dan Bali sendiri.
Guru Besar Unud Prof. Dr. Ir. I Gde Pitana, M.Sc. menilai narasumber webinar dalam menganalisis kebudayaan Bali menggunakan teori yang kuat dan kaya dengan data sehingga pihaknya mengaku mendapatkan hal-hal baru secara teoritis dan praktis dalam mengkaji kebudayaan Bali. “Analisis narasumber webinar ini sangat bagus, saya berharap bisa diskusi offline sambil ngopi dengan mereka di waktu lain,” ujarnya. (sar)