Ketua YLKI Minta Cukai Rokok Dinaikkan 52 Persen
(Baliekbis.com), Setiap 31 Mei, diperingati sebagai Hari Tanpa Tembakau se Dunia (HTTS) _World No Tobacco Day_. Kini seluruh dunia berkomitmen serius untuk melindungi warganya dari paparan negatif tembakau, rokok. Bentuk komitmen itu adalah berupa ratifikasi/aksesi FCTC, _Framework Convention on Tobacco Control_, yang telah menjadi hukum internasional sejak 2004. Indonesia adalah negara yang berkontribusi besar terhadap penyusunan FCTC, walau pada akhirnya mengingkari FCTC, sampai sekarang. Demikian dikatakan Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam rilisnya, Rabu (30/5). Oleh karena itu, dalam rangka HTTS 31 Mei 2018, YLKI meminta Presiden Jokowi untuk segera meratifikasi/mengaksesi FCTC.
Ratifikasi/aksesi terhadap FCTC bertujuan yakni 1. Sebagai bentuk penghormatan dan komitmen pemerintah Indonesia yang telah berkontribusi signifikan dalam pembahasan FCTC, sejak 1998-2003. 2. Sebagai wujud pemerintah Indonesia untuk melindungi masyarakat Indonesia pada dampak eskalatif konsumsi tembakau. Saat ini konsumsi tembakau menjadi beban ekonomi nasional yang sangat serius, khususnya di kalangan rumah tangga miskin. Pendapatan mereka tergerus untuk konsumsi rokok. Menurut data BPS setiap tahunnya dan juga hasil Riskesdas, konsumsi rokok telah menjadi sandera ekonomi bagi masyarakat menengah bawah. Dan mereka abadi dengan kemiskinannya.
3. Ratifikasi/aksesi FCTC juga sangat sejalan dengan Nawacita, yakni untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Terbukti konsumsi rokok telah mereduksi kualitas hidup masyarakat Indonesia, karena sakit akibat konsumsi rokok. Data BPJS membuktikan, penyakit utama yang diderita pasien BPJS adalah penyakit katastropik, alias penyakit gaya hidup yang tidak sehat. Konsumsi rokok menjadi faktor dominan dalam memicu penyakit katastropik itu.
Oleh karena itu tambah Tulus Abadi, selaras dengan dorongan ratifikasi/aksesi FCTC, YLKI meminta Pemerintah untuk menaikkan cukai rokok hingga 52 persen, melarang total iklan rokok di semua media, khususya media televisi. Dan tidak memasarkan rokok secara terbuka. Industri rokok telah menjadikan anak-anak sebagai target pemasaran mereka, dengan pola penjualan yang serampangan.
Masyarakat Indonesia harus dilindungi kualitas hidupnya, dan juga kesejahteraan dan keberlanjutan ekonominya. Rokok terbukti menjadi produk yang kontra produktif bagi masyarakat Indonesia, baik dari sisi kesehatan, sosial dan ekonomi. Bahkan budaya.
Di Bali sosialisasi terkait bahaya rokok telah dilakukan ke berbagai pihak di antaranya pemilik supermarket/minimarket yang menjual rokok, komponen adat bahkan juga unsur media massa. Menurut salah saorang tim sosialisasi bahaya rokok dari Unud Made Kerta Duana selain sosialisasi, tindakan berupa sanksi bagi pelanggar sudah dilakukan. “Sudah ada beberapa pelaku yang disidang tipiring,” tegas Duana belum lama ini saat sosialisasi di lapangan Renon. (ist)