Komang Jun Dirikan “Manca Dewata Farm”, Kembangkan Ayam Caru untuk Upacara
“Ayam Caru sering dibutuhkan dalam upacara agama Hindu. Karena langka dan kebutuhannya yang tinggi sehingga harganya juga cukup mahal”.
(Baliekbis.com),Sukses di bisnis multilevel marketing yang menjajakan produk keuangan tak membuat I Komang Juniawan berpuas diri. Anak muda yang akrab disapa Komang Jun ini memiliki cita-cita bisa memajukan masyarakat di desanya, Ababi, Karangasem.
Maka di tengah pandemi Covid-19 ini, Komang Jun pun mengambil terobosan besar melebarkan sayap usahanya di sektor pertanian, peternakan dan perikanan. “Sektor ini yang saya garap karena potensinya sangat besar dan bisa melibatkan banyak tenaga di desa,” ujar Komang Jun, Sabtu (1/8) di kantornya.
Untuk usaha peternakan, ia memilih budidaya ayam yang dikhususkan untuk melengkapi keperluan sesajen/banten untuk umat Hindu di Bali yakni ayam caru. Sebagaimana umumnya perekenomian pedesaan yang bergerak lambat, Komang Jun memulainya dengan sebuah demplot percontohan.
Untuk kepentingan usaha tersebut, dengan
menggunakan tenaga konsultan yang memang memiliki keahlian dan pengalaman di bidangnya, maka dimulailah projek di bawah bendera Manca Dewata Farm dengan memanfaatkan lahan yang cukup luas.
Nama Manca Dewata Farm, dengan setting peternakan ayam caru yang menjadi topik nama usaha ini. Manca diambil dari kata Panca artinya lima, dimana untuk kepentingan upacara Hindu, ada 5 jenis warna bulu ayam yang digunakan yaitu hitam di utara, putih di timur, merah di selatan, putih kuning di barat dan brumbun di tengah tengah. Dari perhitungan 5 penjuru Dewata menurut filosofi Hindu, maka usaha tersebut dinamakan Manca Dewata Farm.
“Peternakan ayam caru atau sesajen menjadi pilihan utama. Kita ingin agar masyarakat yang membutuhkan ayam untuk upacara tidak sulit mendapatkannya,” ujar Komang Jun.
Namun pihaknya juga membudidayakan ayam pejantan untuk memenuhi permintaan ayam pedaging serta ayam aduan juga bisa untuk sarana upacara (tabuh rah) selain sebagai hobi.
Untuk usaha tersebut, design kandang sudah dibuat sedemikian rupa. Bahkan pakan ternak dibuat dan diolah sendiri dengan berbasis maggot BSF atau ulat belatung BSF.
Komang Jun menjelaskan Black Soldier Fly (BSF) adalah nama yang “digandrungi” saat ini oleh banyak pihak khususnya para peternak tidak hanya di Indonesia tapi juga di banyak tempat di dunia. Black Soldier Fly/hermetia illucens (latin)/Lalat Tentara Hitam (Indonesia)
adalah satu jenis lalat dari sekian banyak yang tersebar di dunia yang memiliki banyak kelebihan dan manfaat bagi manusia.
Black Soldier Fly (BSF) dan Maggot BSF adalah dua istilah/nama dari satu jenis hewan yang sama namun mempunyai perbedaan bentuk dan nama karena memiliki fase metamorfosis dalam siklus hidupnya seperti kupu-kupu dan ulat. BSF sendiri melekat pada fase lalatnya, dan maggot tentu saja pada fase larvanya.
Maggot BSF memberikan banyak manfaat bagi manusia. Selama hidupnya maggot ini memakan hal-hal yang bersifat organik. “Dan ini dapat dimanfaatkan untuk menekan limbah organik yang sudah lama ini menjadi masalah serius bagi kita termasuk pemerintah,” jelas Komang Jun.
Kemampuannya dalam melahap makanan organik ini sangat fantastis, dari jumlah 10.000 larva dapat menghabiskan 1Kg makanan organik dalam 24 jam. Jika satu ekor betina dapat menghasilkan 500 telur (minimal dari jumlah hasil penelitian 500-900 telur), makan hanya dibutuhkan 20 ekor betina yang bertelur untuk menghasilkan 10.000 larva untuk mereduksi 1 kg sampah organik setiap hari.
Maggot BSF ini juga memiliki nutrisi yang baik, kandungan protein dan asam amino yang lengkap. Hal ini menjadikannya digunakan sebagai sumber pakan alternatif yang baik bagi sejumlah hewan ternak seperti unggas dan ikan, serta sejumlah binatang peliharaan seperti iguana, burung berkicau, dsb.
Dengan kandungan protein yang dimiliki, maka ternak dan daging yang dihasilkan lebih berkualitas, pertumbuhan ternak lebih cepat dan sehat, serta menekan FCR (Food Cost Ratio) dari penggunakan pakan itu sendiri.
“Dampak lainnya yang diharapkan adalah tidak adanya ketergantungan kembali terhadap pakan pabrikan yang semakin hari harganya semakin naik, serta tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk mengolah limbah organik lingkungannya secara mandiri dan menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat,” tambah Komang Jun penuh semangat.
Komang Jun menambahkan ia membuat peternakan ini sebagai contoh terhadap penduduk desa setempat mengenai bagaimana membuat pakan secara mandiri dan potensi ternak ayam sajen, dimana saat ini belum ada perkampungan yang secara khusus sebagai cluster pengembangan ayam caru/sajen. Selain ternak ayam, di atas lahan hampir setengah hektar itu, ia juga membudidayakan
kebun buah mullberry atau murbei yang memiliki banyak khasiat kesehatan dan juga ke depannya untuk pengembangan ulat sutra. (bas)