(Baliekbis.com), Panitia Kerja (Panja) RUU Praktik Psikologi Komisi X DPR RI melakukan kunjungan kerja ke UGM untuk menjaring masukan dari para pakar UGM dan universitas lain di DIY terkait RUU tentang Praktik Psikologi, Senin (5/4).
Ketua Tim Kunjungan Panja RUU Praktik Psikologi Komisi X DPR/Wakil Ketua Komisi X DPR, Dr. Dede Yusuf Macan Effendi, ST., M.I.Pol., menyampaikan bahwa RUU Praktik Psikologi telah masuk Prolegnas Prioritas 2021. RUU ini akan dibahas bersama pemerintah meliputi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, serta Kementrian Hukum dan HAM.
Sebelum melakukan pembahasan lebih lanjut pihaknya berupaya menyerap aspirasi dan masukan dari para stakeholder. Salah satunya melakukan kunjungan ke beberapa perguruan tinggi di tanah air, termasuk UGM.
“Kami mohon masukan komperehensif terkait RUU Praktik Psikologi ini” katanya saat jaring aspirasi di Balai Senat UGM.
Rektor UGM, Prof.Ir. Panut Mulyono., M.Eng., D.Eng., IPU., ASEAN eng., berharap melalui pertemuan ini bisa menghasilkan kesimpulan yang dapat digunakan tim panja dalam menindaklanjuti RUU agar bisa segera disahkan. Dengan begitu bisa memberikan jaminan secara hukum terkait praktik psikologi di Indonesia.
Panut mengatakan payung hukum yang menjamin kepastian terhadap praktik profesi psikologi sangat diperlukan. Sebab, dengan adanya undang-undang yang memiliki kekuatan hukum bisa memberikan jaminan akan kualitas layanan namun juga bagi pengguna sehingga praktik psikologi lebih kuat dan mantap.
Dekan Fakultas Psikologi UGM, Prof. Faturochman menyampaikan terdapat beberapa hal yang perlu dikoreksi dalam RUU Praktik Psikologi salah satunya dari bidan pendidikan. Menurutnya, ada ketidaksesuaian dengan UU Pendidikan dan kebijakan turunannya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan dunia akademik tidak bisa dikurung oleh ayat-ayat dalam RUU ini.
“Cakupan bidang ajaran Praktik Psikologipada pasal 27 ayat 2 khususnya aktivitas Program Psikologi pada pasal 11 ayat 2 terlalu luas. Kegiatan tri dharma perguruan tinggi yang dilaksanakan fakultas, departemen, atau prodi psikologi berpotensi terbelenggu bila RUU ini disahkan,”paparnya.
Ia pun menyampaikan keberatan terhadap pasal 28 tentang kewajiban mengikuti uji kompetensi dan pasal 29 ayat 1a (untuk selain keprofesian) karena penguji profesi akan masuk dalam prodi S1, S2 Sains, dan S3 dan secara implisit ada ketidakpercayaan terhadap pendidikan psikologi.
Selain itu ia turut menyampaikan persoalan pada organisasi profesi. Dalam RUU Praktik Psikologi terdapat beberapa pasal yang perlu direvisi. Salah satunya terkait kewenangan mutlak HMPSI perlu dibuat agar kewenangannya oroporsional.
Berikutnya tentang perlunya memperhatikan teknologi informasi. Faturochman menjelaskan praktik psikologi tidak bisa berkembang tanpa mengikuti perkembangan iptek dan ilmu lainnya. Sedangkan RUU ini belum mengantisipasinya dengan konsekuensi akan ditinggalkan.
“Lalu bab VI tentang psikolog asing. Apakah mungkin bisa menontrol aktivitas mereka jika menggunakan TI yang tidak mengenal batas-batas negara?,”ucapnya.
Sementara itu, masukan juga disampaikan dari Forkom Fakultas Prodi Psikologi Yogyakarta (AP2TPI Yogyakarta). Salah satu perwakilannya Dra. Siti Urbayatun, M.Psi., Psi., meminta adanya konsistensi istilah dalam produk perguruan tinggi dan dalam RUU agar tidak terjadi kerancuan. Lalu, perlu ada rumusan secara garis besar tentang batas kewenangan antara tenaga psikologi psikolog, psikolog praktik dengan keahlian khusus, asisten psikolog, dan praktisi psikologi.
Selanjutnya terkait penjaminan mutu, Siti mengatakan perlu adanya standar kompetensi bagi yang akan melakukan praktik. Hal tersebut dimulai dari uji kompetensi bagi lulusan psikologi sampai pasca lulus selama melaksanakan praktik profesi. Adapun pelaksanaan uji kompetensi pasca lulus diserahkan pada masing-masing asosiasi pemintan yang ada.
Disamping itu, penerbitan surat tanda registrasi dan surat ijin praktik akan lebih kuat jika diberikan oleh pemerintah daerah. Kendati demikian harus ada rekomendasi dari organisasi profesi. (ika)