Kuatkan Bisama, Lestarikan dan Selamatkan Sawah
(Baliekbis.com), Paruman Sulinggih Se-Kota Denpasar sebagai wadah pembahasan dan penguatan budaya terus melakukan pertemuan. Sebelumnya Parumana Sulinggih dilaksanakan di Desa Pekraman Renon yang telah melakukan berbagai pembahasan terkait dengan budaya. Pertemuan ini berlanjut pada Rabu (21/6) di Pura Kemuda Sari, Desa Pekraman Denpasar yang kali ini membahas “Pura Subak Sebagai Pusat Budaya Agraris Untuk Ajeg Bali”. Parum menghadirkan pembicara diantaranya Pandita Mpu Daksa Yaksa Acharya Manuaba, yang dihadiri Wakil Walikota Denpasar, I.GN Jayanegara, didampingi para camat serta tokoh masyarakat setempat.
Menurut Wakil Walikota Denpasar, I.GN Jayanegra pembahasan pura subak menjadi pembhasan penting dalam paruman kali ini. Hal ini tak terlepas dari Pura Subak sebagai salah satu potensi kebudayaan yang patut untuk dilestarikan. Kedepannya keberadaan Pura Subak harus dapat dipertahankan meskipun daerah tersebut kurang memiliki areal persawahan yang memadai. “Disinilah petunjuk para Sulinggih akan menjadi dasar pertimbangan Pemerintah Kota Denpasar dalam menentukan kebijakan terkait pelestarian Pura Subak di Kota Denpasar” ujar Jayanegara.
Pandita Mpu Daksa Yaksa Acharya Manuaba dalam paparannya mengemukakakan tentang budaya agraris di Bali sangat menjunjung harmonisasi melalui filsosofi Tri Hita Karana atau Tri Mandala dimana Pura Subak dapat dijadikan tempat sosialisasi keberlanjutan budaya agraris. ”Kata kunci pembangunan pertanian yang dikembangkan saat ini adalah pembangunan akrab lingkungan , pemberdayaan petani melalui pertanian kerakyatan dan agribisnis yang produktif. Pertanian kerakyatan penting dikembangkan karena lebih berpihak kepada pelestarian lingkungan sejak berabad- abad lalu,” ujar Mpu Daksa Yaksa Acharya Manuaba.
Lebih lanjut Mpu Daksa Yaksa Acharya Manuaba dalam paparannya menjelaskan mengenai kebudayaan Agraris dengan konsep- konsepnya, Filosofi Tri Hita Karana, Kaitan antara Subak, Petani dan Pariwisata. Pura Subak merupakan tempat memuja Betara Sri atau Shang Hyang Sangkara. Harus ada Bhisama atau keputusan untuk melestarikannya diantaranya seperti cara menyelamatkan luas baku sawah yang masih ada, proteksi jual beli sawah untuk komoditas bisnis, pemberian kewenangan pada Kelian Subak untuk rekomendasi boleh atau tidaknya menjual sawahnya, penetapan Perda pajak tinggi kepada pembeli sawah, dan membebaskan pajak pada petani pemilik sawah yang merangkap menggarap sawahnya.
Ketua Panitia Paruman Sulinggih, I Wayan Meganadha mengatakan , sesuai dengn konsep Tri Hita Karana, Subak serta Pura Subak yang dimiliki dapat dikelola oleh warga. “Budaya bali sejatinya bersumber dan dibangun dari budaya agraris atau di Bali jamak dikenal sebagai Subak. Untuk itulah keberadaan Pura Subak dan fungsinya penting untuk dilestarikan,” ujar Meganada. Dari hasil Paruman Sulinggih se-Kota Denpasar ini dipastikan bahwa Pura Subak yang kurang memiliki lahan memadai tidak didukung tenaga pangempon yang cukup, pemeliharaannya akan diserahkan ke Pemerintah Kota sedangkan status Pura nya dapat dialihkan menjadi Pura Swagina. (esa)