Lembaga Legislasi Tunggal Diperlukan Untuk Tuntaskan Obesitas Regulasi
(Baliekbis.com), Indonesia mengalami ‘obesitas regulasi’ dengan hampir 42.000 regulasi mulai dari tingkat undang-undang hingga peraturan walikota/bupati. “Terjadi obesitas peraturan, terlampau banyak dan tumpang tindih,” kata Deputi Bidang Politik dan Keamanan Sekertariat Kabinet, Fadliansyah Lubis, Senin (17/12) dalam Seminar Nasional Akses Terhadap Keadilan dan Reformasi Regulasi Dalam Perencanaan Pembangunan Hukum di University Club UGM.
Situasi tersebut, acap kali menyebabkan terjadinya disharmoniasi aturan. Hal itu menjadikan pembangunan nasional berjalan lambat. Disamping itu, pembuatan peraturan perundangan belum mengutamakan kualitas, masih mengejar kuantitas mengikuti penyerapan anggaran. Kondisi ini belum sesuai dengan arahan Presiden untuk lebih mengutamakan kualitas dibandingkan kuantitas dalam pembuatan peraturan perundang-undangan.
Fadliansyah memaparkan persoalan lain adalah data base yang tersebar di berbagai kementrian/lembaga. Sementara ego sektoral di setiap kementrian masih besar, antar kementerian dengan kementerian lainnya masih mengutamakan kepentingannya masing-masing sehingga tidak tercipta peraturan yang harmonis yang merugikan negara.
“Solusinya harus ada lembaga tunggal di bidang legislasi yan gemerncanakan, merumuskan, mengontrol, dan mengevaluasi mengenai peraturan perundang-undangan,”jelasnya. Pembentukan ini lembaga ini dapat menjadi solusi persoalan ‘obesitas regulasi’ di Indonesia. Disamping itu, Fadialnsyah menyampaikan gagasan pembentukan lembaga khusus yang menangani peraturan perundang-undangan sejalan dengan arahan Presiden Jokowi utuk melaksanakan reformasi dibidang hukum.
Alternatif lembaga tunggal yang dimaksud, kata Fadliansyah, bisa berupa Kantor Manajemen Kabinet dan Legislasi atau Badan Perundang-Undangan dan Pembinaan Hukum Nasional. Lembaga tersebut akan berkedudukan langsung di bawah Presiden. Kabid Polhukkam Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Badan Pembina Hukum Nasional, Arfan Faiz Muhlizi menyampaikan perlunya dikakukan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan yang bermasalah agar produk hukum sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Menurutnya peraturan perundang-undangan yang tidak proporsional akan berpotensi menimbulkan disharmoni dan dalam pelaksanannya tidak berjalan efektif.
“Dalam konteks ekonomi menjadi tidak efisien karena banyak peraturan yang diproduksi justru high cost,” tuturnya. Regulasi-regulasi yang ada disebutkan Fadliansyah terkadang malah menimbulkan permasalahan baru, bukan menyelesaikan permasalahan dan ketaan hukum. Selain itu terdapat peraturan yang tidak berkesesuaian serta bertentangan dengan semangat pancasila.
“Ini menjadi masalah sehingga dibutuhkan instrumen yang seragam untuk evaluasi di setiap lembaga . Ada standar yang jelas sehingga evaluasi bisa terstandar,” paparnya. Oleh sebab itu pihaknya mendorong penggunaan metode evaluasi yang bepedoman pada lima dimensi. Dia berharap metode tersebut dapat digunakan kementrian/lembaga agar hasil evaluasi bisa terstandar.
“Evaluasi ini penting, sayangnya tahapan ini tidak menjadi bagian yang dimasukkan dalam UU No.12 tahun 2011 tentang Tata Urutan Perundang-Undangan. Karenanya kami mendorong evaluasi menjadi bagian dalam UU ini dengan harapan akan ada beberapa perubahan selain di proses juga kelembagaan,” urainya.
Dalam seminar ini turut menghadirkan pembicara lain seperti Sukoyo (Direktur Produk Hukum Daerah Kemendagri), Djoko Pudjiharjo (Kepala Pusat Penyuluhan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional), Zainal Arifin Mochtar ( dosen FH UGM), Fajri Nursyamsi (Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan), dan lainnya.
Seminar digelar oleh Fakultas Hukum UGM bekerjasama dengan International Development Law Organization (IDLO) di Indonesia, Bappenas, serta Kedutaan Besar Kerjaan Belanda. Mendiskusikan dua persoalan utama yakni terkait reformasi birokrasi dan delapan tahun pelaksanaan bantuan hukum. (ika)