Lembaga Pemerhati Perempuan Bentuk Solidaritas Lawan KDRT
(Baliekbis.com), Solidaritas Lawan KDRT terbentuk karena keprihatinan atas maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi. Solidaritas Lawan KDRT terdiri dari elemen-elemen gerakan dan aktivis yang peduli dengan perlindungan terhadap korban KDRT dan hak-haknya yaitu Bali Woman Crisis Center (Bali WCC), Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum Indonesia (LABHI) Bali, Tim Advokasi Perlindungan Anak (TAPA), Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) Bali, Badan Kerjasama Organisasi Wanita (BKOW) Bali, LBH Apik Bali, Ladies Lawyer Bali, Luh Bali Jani, Lentera Anak Bali, Asosiasi Profesi Hukum Indonesia (APHI) Bali, Bali Sruti dan LBH Panarajon.
Menurut I Made Somya Putra, Penggiat Hak-hak Azazi Manusia dari Woman Crisis Center (WCC) Bali di Denpasar, Minggu (4/11), Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang sejatinya dibuat untuk memberikan perlindungan terhadap korban KDRT terutama kaum rentan (perempuan dan anak-anak) nyatanya belum mampu memberikan perlindungan yang maksimal di lapangan.
Belum maksimalnya perlindungan terhadap perempuan yang menjadi rentan atas kekerasan psikis dan fisik yang dialami, dapat menjadikan perempuan yang awalnya adalah korban dapat berubah menjadi pelaku. “Hal tersebut dapat dilihat pada keadaan dimana perempuan yang mengalami KDRT. Selain mengalami luka fisik cenderung juga mengalami trauma (luka psikis) yang akan mengakibatkan korban mengalami depresi hingga gangguan psikologis,” jelas pengacara ini.
Rentannya perempuan menjadi korban KDRT menimbulkan dampak negatif pada perempuan tersebut, dalam hal ini perempuan yang menjadi korban KDRT juga menjadi pelaku dari suatu tindak pidana. Tindak pidana tersebut menurut Somya dapat terjadi karena korban KDRT yang berupaya melindungi dirinya atas KDRT yang ia alami maupun terjadi karena luka psikis yang dialami oleh korban KDRT. Dengan demikian korban KDRT akan cenderung dihukum secara pidana, padahal seyogyanya korban KDRT harus diberikan rehabilitasi untuk menyembuhkan trauma yang dialaminya.
Contohnya adalah kasus Ni Putu Septyan Parmadani di Sukawati Gianyar Bali, yang sebenarnya adalah korban dalam KDRT.
“Atas fenomena tersebut, Minggu 4 November 2018 kami mendeklarasikan terbentuknya Solidaritas Lawan KDRT yang telah terbentuk pada tanggal 25 Oktober 2018,” tambah Somya. Dengan terbentuknya Solidaritas Lawan KDRT, ia berharap agar ke depannya dapat dilakukan penyempurnaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), memberikan advokasi terhadap perempuan yang sebenarnya adalah korban namun dapat berubah menjadi pelaku dan mendorong masyarakat lebih peka terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga, sehingga korban lebih cepat mendapatkan perlindungan serta
mengupayakan pemberian rehabilitasi terhadap korban KDRT baik fisik maupun psikis. (som)