Lima Seniman Perempuan Gelar Pameran Lukisan “Denyar Renjana” di Santrian Art Gallery Sanur
(Baliekbis.com), Lima seniman perempuan dari berbagai daerah di Indonesia menggelar pameran lukisan bertajuk “Denyar Renjana” di Santrian Art Gallery, mulai 7 Maret hingga 7 April 2025.
Pameran lukisan ini merupakan kolaborasi antara Santrian Art Gallery Sanur dengan Mola Gallery. Adapun kelima seniman perempuan tersebut yakni Erica Hestu Wahyuni, Mola, Ni Nyoman Sani, Theresia Agustina Sitompul dan Yasumi Ishii.
Menurut Kurator DENYAR RENJANA Anton Susanto, Denyar Renjana (Pulse of Passion) merupakan getaran pancaran hasrat dan gairah yang didasari oleh kekuatan cinta yang menyebar ke segala arah.
“Denyar Renjana menjadi bingkai proses kreatif ke lima seniman yang berpameran yang mana setiap seniman menunjukan kecenderungan yang berbeda satu sama lainnya,” katanya saat acara pembukaan pameran yang ditandai dengan pengguntingan pita Jumat (7/3/2025) malam. Hadir dalam acara itu Owner Santrian Gallery IBG Gede Sidharta, Manajer Santrian Art Gallery Made “Dolar” Astawa dan puluhan Seniman dan undangan lainnya.
Dalam segala perbedaan tersebut, terselip satu kesamaan yaitu gairah dan kecintaaan dalam menghayati pengalaman menjadikan “ada” setiap karya. Penghayatan yang disertai dengan pendalaman eksplorasi tema, teknis, gagasan serta determinasi yang tinggi dalam berkarya rupa dapat ditelusuri melalui karya-karya yang dihadirkan oleh Erica Hestu Wahyuni, Mola, Ni Nyoman Sani, Theresia Agustina Sitompul, Yasumi Ishii dalam pameran Denyar Renjana ini.
Dengan formasi ini di mana setiap seniman memiliki kecenderungan yang cukup spesifik satu sama lainnya sehingga memiliki keragaman dalam modus, media, teknis serta artikulasi gagasan hingga statement dalam ranah “keseniannya”.
Denyar Renjana menjadi haluan yang menjadi rujukan setiap seniman untuk melakukan proses kreatifnya. Sehingga melalui pameran ini, gairah serta artikulasi gagasan setiap seniman kemudian dapat hadir tidak hanya menjadi sensasi visual, namun juga menyentuh relung hati setiap audiens yang melakukan apresiasi atau penghayatan karya baik secara langsung maupun melalui media antara. Serta dapat menandai kehadiran karya-karya tersebut dalam konstelasinya pada perkembangan seni rupa hari ini.
Pada karya-karya Theresia Agustina Sitompul (there) yang dalam pameran Denyar Renjana ini menghadirkan seri karya-karya yang sangat progresif dan sangat ekperimentatif bermain di antara berbagai ambang. Melalui karya-karya dengan tema domestic landscape ini, There selain bereksperimen dan bermain, juga melakukan dialogdialog yang mempertanyakan tentang banyak hal yang kemudian telah menjadi konvensi dalam perkembangan seni rupa hari ini.
Misalnya saja, melalui domestic landscape, secara sadar There mencoba membongkar ulang perjalanan sejarah seni rupa di Indonesia. Dalam rangkaian perjalanan sejarah seni rupa di Indonesia ada satu fase yang ditandai dengan era lukisan Mooi Indie atau hindia molek.
Pada masa yang mana praktek melukis di wilayah nusantara ditandai dengan lukisan-lukisan yang menggambarkan atau merekam keindahan bentang alam di wilayah nusantara. Lukisan-lukisan ini cenderung menampilkan landscape dari perspektif yang lebar dan jauh serta cenderung tidak menampilkan detil-detil suasana kehidupan sebuah masyarakat atau peradaban yang mendiami bentang alam tersebut.
Kehadiran unsur persoalan sosial, ekonomi, dan domestik banyak direduksi atau dihilangkan dalam tradisi lukisanlukisan hindia molek. Hal-hal tersebut kemudian dapat kita lihat pada karya-karya There dalam versi oposisinya, bila dalam tradisi seni rupa modern, seni lukis memiliki posisi sebagai medium dan teknik yang primadona dan berada di garda terdepan sebagai penampang wajah seni rupa, There menghadirkan karya domestic landscape dengan pendekatan teknik carbon press – yang merupakan pendekatan teknik seni cetak.
Hal bersifat kontradiktif pun dihadirkan dalam visualisasi “domestic landscape”. Dalam karya There, landscape tidak lagi berjarak dengan manusianya, tidak lagi terasa “jauh”. Landscape yang
dihadirkan merupakan susunan dari berbagai objek domestic yang ada dalam keseharian masyarakat kita hari ini.
Dengan komposisi yang menggiring pada memori kolektif format lukisan landscape kita diajak melihat realita “kita” hari ini, bahwa pemandangan yang paling akrab dalam kehidupan kita adalah objek-objek yang kita temukan sehari-hari sebagai bagian dari kehidupan kita yang mana kita memiliki interaksi yang lebih intim dengan objek-objek tersebut.
Karya-karya domestic landscape menjadi penanda zaman dan menawarkan kesadaran kita terhadap realita yang kita hadapi dalam keseharian kita. Pun bila kita menghubungkan dengan gejala perkembangan perilaku masyarakat pada waktu-waktu sekarang seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Teknologi informasi dan internet melalui aplikasi media sosial turut menjadi agen perubahan perilaku sosial yang terjadi secara global.
Masyarakat hari ini dihadapkan pada kondisi di mana akses fisik kita semakin terbatas pada ruang publik, di waktu bersamaan, justru ruang-ruang pribadi kita menjadi sangat terbuka dan dapat diakses public secara luas melalui media sosial dan internet.
Saat ini, ruang pribadi dan kehidupan pribadi orang-orang merupakan sebuah pemandangan yang sangat umum dan akrab dalam keseharian kita, mereka menjadi landscape dalam kehidupan kita. Mola yang pada pameran tunggalnya yang terakhir dan beberapa pameran sebelum Denyar Renjana ini menampilkan karya-karya ekspresif dan figurative serta simbolik yang sarat dengan metafora, terlebih pada seri karya Edited Clown. Dalam pameran
Denyar Renjana kali ini, Mola menampilkan karya-karya yang berbeda. Pada seri karyakarya yang ditampilkan, Mola tidak lagi menghadirkan bentuk-bentuk figurative. Dengan menggunakan medium cat air dan tinta di atas kanvas Mola mencoba menghadirkan tentang rasa bukan cerita. Mood dan feels dibangun melalui sapuan kuas gestural yang
ekspresif.
Lapis-demi lapis saling bertumpuk di antara lapisan-lapisan yang transparan sehingga menimbulkan efek kedalaman yang sangat komplekSebagai seorang seniman yang saat ini menekuni yoga dan juga sangat menyukai aktivitas di alam liar, pada karya-karya ini nampaknya ada kecenderungan bagaimana pengalaman batin selama ini yang menjadi bagian dan membentuk dirinya di
transformasikan menjadi karya-karya lukisnya. Sebagai seorang yang menghayati perjalanan di alam liar cenderung memiliki pandangan yang cukup kuat dalam hal
harmonisasi, khususnya dengan alam.
Alam bukan hal yang harus ditaklukan, tapi dipahami dan kita melakukan harmonisasi diri dengan alam. Selaras dengan ala sehingga dapat hidup berdampingan dan saling memberikan manfaat. Cara pandang harmonisasi dan keselarasan dengan alam kemudian dapat kita lacak bagaimana pengalaman dan pandangan tersebut kemudian melatar belakangi kehadiran karyakarya pada pameran ini. Berbeda dengan There yang menggunakan komposisi objek-objek pribadi dan domestic menjadi satu komposisi landscape, pada karya-karya Mola, elemen-elemen alam
menjadi cuplikan inspirasi untuk menghadirkan sebuah suasana batin.
Elemen alam seperti akar, daun, cahaya matahari, bumi, tanah dan spirit jiwa dipanggil dan di elaborasi melalui warna dan sapuan kuas gestural yang ekspresif menjadikan sebuah seri pemandangan jiwa atau soul scape. Mola tidak bercerita, tapi ia mengajak kita menemukan rasa yang ia bangun melalui lukisan. Misalnya “rasa” yang ia bangun dari inspirasi kekuatan akar yang mampu menopang beban dan memberi daya hidup.
Melalui keselarasan antara langit dan bumi, keharmonisan menghayati keTuhanan yang transcendental dan kehidupan di bumi. Menghayati cahaya matahari sebagai energi kehidupan, kehangatan dan kebahagian. Erica Hestu Wahyuni yang juga memiliki energi besar dan intensitas yang tinggi dalam berkarya, dengan pendekatan visualnya yang naif dan sangat khas secara ekspresif menghadirkan berbagai suasana yang merupakan sebuah semesta dari pengalaman batin dan gagasan Erica sebagai seorang seniman.
Melalui kecenderungan karyanya yang ekspresif, Erica menggabungkan berbagai pengalaman visual, pengalaman batin dan fantasinya menjadi sebuah perupaan baik objek maupun sebuah scene. Hasil elaborasi ini memunculkan bentuk-bentuk dan warna yang khas. Simbolisme acap terasa baik dari warna maupun ukuran serta komposisi yang dihadirkan. Jejak jejak kecerdasan pada karya-karya anak-anak tetap dipertahankan sebagai strategi visual, di mana kita akan menemukan di antaranya konsep visual RWD (Ruang-Waktu Datar), X-ray atau objek yang tembus pandang,
rebahan dan multi perspektif.
Travelling sebagai salah satu kegemarannya, merupakan ajang bagi Erica menghayati sebuah suasana atau wilayah. Proses ini pun seperti proses ia melakukan screening terhadap berbagai objek atau aspek yang spesifik di setiap wilayah yang ia kunjungi. Mirip kerja mesin artificial intelligence yang menghimpun data yang kemudian data yang berasal dari pengalaman tersebut dihadirkan Kembali dalam karya lukisannya.
Sehingga dalam karya lukis Erica yang sangat riuh kita akan menemukan objek-objek yang secara spesifik berhubungan dengan tema atau judul lukisan tersebut.Karya Erica cenderung naratif bercerita, ia bercerita tentang segala sesuatu atau fenomena di sekitar kehidupannya. Ia bercerita tentang mimpinya, pun ia bercerita tentang imajinasinya dengan bahasa visualnya yang khas.
Yasumi Ishii sangat terpesona dengan kekayaan warna dan bentuk dari budaya Jawa. Sekaligus ia pun ingin melakukan eksplorasi terhadap warna-warna yang berasal dari kampung halamannya Jepang. Dua hal ini merupakan kunci utama menyelami semesta kekaryaan Yasumi Ishii. Dan pertemuan dua kebudayaan yang berbeda ini sangat terlihat pada karya-karya Yasumi pada pameran Denyar Renjana ini.
Pada karya-karya Yasumi, ia meminjam karakter dua mahluk yaitu kucing dan naga. Pada seri Tujuh Naga, Yasumi menghadirkan berbagai jenis warna naga yang memiliki symbol yang berbeda satu sama lainnya. Di antaranya adalah Naga Emas yang melambangkan kekayaan dan kemakmuran, Naga Merah melambangkan keberanian dan kekuatan. Naga Biru melambangkan ketenangan dan kedamaian.
Naga Hitam melambangkan misteri dan kekuasaan. Naga Putih menjadi lambang kemurnian dan kebijaksanaan. Naga Hijau melambangkan kehidupan dan pertumbuhan. Serta Naga Ungu yang menjadi lambang spiritualitas dan trasnformasi. Setiap naga tersebut divisualisasikan sedang terbang di antara elemen-elemen pendukung yang menjadi symbol dan tugas masing-masing naga.
Sementara pada seri karya yang menghadirkan wajah-wajah kucing, menurutnya, Kucing itu memiliki emosi yang sederhana dan kekayaan ekspresi tanpa bahasa, berbeda dengan manusia yang kompleks bahkan bisa tertutup oleh kepura-puraan.
Pernyataan ini merupakan sebuah pesan yang sangat jelas bagaimana Yasumi melihat interkaksi dan komunikasi antar manusia. Dan kemudian ia hadirkan wajah-wajah kucing dengan
berbagai ekspresi pada lukisannya. Kucing merupakan hewan yang dekat dalam keseharian Yasumi, sehingga ia nampaknya mengenal betul berbagai ekspresi kucing.
Kucing pun memiliki kedekatan yang cukup kuat dalam tradisi masyarakat Jepang. Bahkan kucing merupakan salah satu hewan yang dihormati karena memiliki peranan positif dalam kultur dan kepercayaan yang tumbuh dalam tradisi masyarakat Jepang.
Dan pertanyaannya adalah apakah saat sedang melukis kucing, Yasumi sedang melukis tentang “kucing” atau ia menjadi sebuah metafor dari entitas yang lain. Melalui lukisan wajah-wajah kucing ini terlihat bagaimana Yasumi menunjukan dua pengaruh yang berbeda antara warna-warna yang cenderung dekat dengan tradisi Jawa dan juga Jepang serta cara menggambar wajah kucing yang terlihat sangat bergaya Jepang.
Ada kucing marah, senyum, cemberut, sedih dan lain-lain. Wajah-wajah juga hadir pada lukisan Ni Nyoman Sani (Sani). Dalam pameran Denyar Renjana ini, Sani menampilkan seri lukisan potret wajah pada bidang kanvas berukurang besar. Sehingga terasa sensasi visual yang berbeda dengan lukisan-lukisan potret pada umumnya yang berukuran kecil atau skala 1:1 dengan ukuran manusia.
Pada seri lukisan potret ini karena ukurannya yang besar, lebih terasa mendominasi kendati tidak terlalu ramai dan ekspresi atau mimik pada seri lukisan potret ini pun tidak terlalu ekstrem.Karya Sani dari Look series ini menampilkan potret wajah figure-figur perempuan maupun laki-laki. Baik menghadap ke depan atau pun ke samping. Semua dalam posisi dan gestur yang tenang tidak banyak ekspresi yang ditampilkan. Berbeda dengan pola yang dilakukan pada lukisan Yasumi, yang pada lukisan Yasumi, ia dengan sengaja
merekam berbagai ekpresi dari wajah kucing.
Melalui karya Sani, ia cenderung ingin menghadirkan sebuah suasana atau moods atas bagaimana ia melukis potret wajah dan potret wajah itu sendiri. Tentunya akan mengajak kita merenung untuk menelusuri tentang potret wajah ini dan mengapa Sani memilih untuk melukis wajah seperti ini. Proses penelusuran yang akan membawa kita untuk mengamati sapuan kuas pada kanvas dan beberapa pendekatan yang berbeda.
Dalam praktek seni rupa, lukisan potret wajah selalu hadir dalam berbagai fase serta konstelasinya dengan suasana zaman pada masa tersebut. Di era seni modern dan klasik seniman melukis wajah di dominasi oleh tema tokoh mitologi, tokoh dalam kitab suci, raja, penguasa atau tuan tanah. Namun kini, di era saa ini, hingga kini orang terkenal atau selebriti bahkan karakter film, komik, anime dan lainnya.
Pun dengan karya Sani pada look series ini, bila dihubungkan dengan kondisi Indonesia merupakan wilayah bekas jajahan bangsa Eropa. Genetika post-colonial syndrome yang tertanam dalam setiap individu di wilayah Indonesia dan semua negara bekas jajahan memiliki peranan yang cukup signifikan dalam hal perspektif melihat diri dan melihat yang di luar diri.
Termasuk dalam melihat barat dan timur. Begitupun dalam mengartikulasikan gagasan visualisasi potret figure manusia yang orang Indonesia dalam lukisan bisa jadi beririsan dengan
kondisi di atas. Dan lukisan Sani memberikan ruang tawar bagi kita untuk melakukan interpretasi yang beragam.
“Begitu pun karya-karya dari ke lima seniman ini, kesemuanya memancarkan energi yang beragam, energi yang akan sampai kepada setiap audiens yang berbeda dengan cara yang berbeda. Dan kesemuanya memberikan ruang tafsir bagi kita sehingga kita semua bisa turut hadir menjadi bagian dari setiap karya. Karena kita semua dipersatukan oleh gairah, hasrat dan cinta,” tandasnya. (ist)
Leave a Reply