Mi-Reng Festival, Eksplorasi Microtonality dalam Gamelan, Ungkap Gongan Karya William Kanengiser dari AS

(Baliekbis.com), Masterclass (Lokacipta) New Music for Gamelan (Mi-Reng) Festival kedua menghadirkan Narasumber Septian Dwicahyo dan Putu Lia Veranika membahas Eksplorasi Microtonality dalam Gamelan, Sabtu (5/4/2025).

Microtonality dalam musik telah menjadi ranah eksplorasi yang membuka kemungkinan baru dalam harmoni, warna suara, dan ekspresi musikal.

Seperti contoh komponis dan gitaris klasik William Kanengiser asal Amerika menciptakan sebuah karya prepared guitar yang berjudul Gongan untuk format empat gitar klasik. Karya ini memiliki keunikan pada timbre yang dihasilkan menyerupai bunyi gamelan, dengan menambahkan busa, metal clips pada gitar klasik.

Gongan adalah komposisi karya William Kanengiser. Istilah “Gongan” dalam musik gamelan merujuk pada rentang waktu bunyi gong dalam siklus periodik waktu. Gongan menjadi menarik karena Gongan adalah komposisi musik dengan Rasa Bali Aroma Amerika.

Mendengarkan Gongan serasa mendengarkan sebuah orkestra Gamelan Bali, namun dibunyikan hanya dengan empat buah gitar akustik saja. Untuk mendapatkan efek bunyi metal dari Gamelan Bali, LAGQ melakukan inovasi yang unik. Tiap dawai pada gitar, dijepit dengan menggunakan penjepit dasi.

Pantulan senar yang disumbat jepitan dasi, saat dipetik menghasilkan efek bunyi metal yang sungguh bernuansa Gamelan Bali.

Dalam Gongan semua elemen dan teknik Gamelan Bali terdengar jelas: imbal -imbalan, tiruan kotekan, bahkan sesi pembuka pun nyata menggunakan pembuka yang lazim dalam gaya Kebyar Gamelan Bali. Yang unik adalah, meski rasa Bali sangat nyata, komposisi Gongan tetaplah disusun dengan latar budaya Musik Barat.

Tampak jelas bahwa komposisi Gongan disusun dengan konsep yang tergarap matang terlebih dahulu. Hal itu berbeda dengan proses kreasi musik Gamelan yang senantiasa berkait dengan spontanitas berdasar nuansa sosial yang terjadi saat itu.

Dalam gamelan, sistem pelarasannya yang tidak berbasis equal temperament secara alami memiliki karakteristik mikrotonal yang kaya.

Masterclass ini mengeksplorasi konsep microtonality, mulai dari sejarahnya hingga aplikasi modern dalam komposisi gamelan kontemporer.

Dengan pendekatan yang menghubungkan sejarah, teori, dan praktik, masterclass ini akan menempatkan gamelan dalam lanskap eksplorasi mikrotonal yang lebih luas dan membuka cakrawala penciptaan baru.

Acara itu dihadiri dari berbagai kalangan diselenggarakan di Ketewel, Gianyar, Rabu (2/4/2025). Mi-Reng Festival dihadiri Kurator, Wayan Gde Yudane dan Warih Wisatsana. Hadir pula Budayawan Putu Suasta yang juga Alumni UGM dan Cornell University.

Kegiatan itu diselenggarakan oleh Mi-Reng, didukung oleh Kementerian Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) melalui Program Pemanfaatan Hasil Kelola Dana Abadi Kebudayaan, dan kali ini bekerja sama pula dengan Bentara Budaya Bali.

Septian Dwi Cahyo, belajar komposisi dengan Beat Furrer di University of Music and Performing Arts Graz. Karyanya telah dipentaskan di Asia Tenggara, Eropa, AS, Asia Timur, dan Meksiko oleh ansambel seperti Orkest de Ereprijs, Talea Ensemble, Spółdzielnia Muzyczna, dan Studio Musikfabrik x ASEAN Youth Ensemble.

Ia menerima ASEA Uninet SP24 dan Ernst Mach Grants (2018–2019) untuk studi di Kunst Universität Graz dan IEM Graz. Babel Scores menerbitkan karyanya. Ia telah diundang untuk memberi presentasi di IEEE Region 10 SYWL Congress, Korea Electroacoustic Music Society, dan Salihara. Pada 2021, ia mengkurasi Beyond Threshold – New Voices from Indonesia di Bangkok. Pada 2023, ia menerima Arbeitstipendium für Musikkomposition dari the Austrian Federal Ministry of Arts, Culture, Civil Service, and Sport.

Septian mengatakan, Mikrotonalitas dalam musik telah menjadi ranah eksplorasi yang membuka kemungkinan baru dalam musik.

Hal ini bisa dilihat dengan bagaimana para komponis mengeksplorasi interval-interval mikro di dalam karya mereka untuk merealisasikan ide-ide musikal mereka.

Mikrotonalitas pun bukan hanya fenomena baru di abad ke 20 dan 21 yang sepenuhnya terputus dari masal lalu dan hanya didominasi oleh kesejarahan Eropa saja.

Nama-nama seperti Delusse dan Vicentino membuktikan bahwa hal ini telah eksplorasi jauh sebelum abad ke 20.

“Yang lebih menarik lagi, fenomena ini juga dapat ditemui di musik-musik lain di luar kesejarahan Eropa,” ujarnya.

Lebih dari itu, seperti dalam taksonomi Haas, tangga nada non-Eropa juga termasuk dalam fenomena mikrotonal.

Sedangkan dalam gamelan, sebagai contoh, pelarasannya yang tidak berbasis equa temprament secara alami memiliki karakteristik mikrotonal. Potensi ini kemudian diekplorasi lebih lanjut oleh para komponis seperti memanfaatkan overtone series dari instrumen gamelan, memadukan dan memodifikasi laras pelog dan slendro, hingga merobak pelarasan gamelan pada gamelan baru yang mereka buat.

Pada kesempatan itu, Septian menyambut baik Mi-Reng Festival sebagai wadah inovasi dan pembaruan gamelan secara kekinian.

Ia meyakini selalu ada perubahan setiap zaman. “Beda zaman, beda eksplorasi. Karena zaman akan selalu berubah,” ujarnya.

Analoginya seperti perubahan pada teknologi handphone, dulu memakai hanpdhone model merek Nokia, sekarang berkembang Smartphone. “Selalu ada perubahan, ada hal baru, dulu Nokia dan sekarang Smartphone,” bebernya.

Sementara itu, Putu Lia Veranika memperoleh gelar Sarjana Seni pada tahun 2017 di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dengan jurusan musik – gitar klasik, minat utama Pertunjukan Musik.

Beberapa kali telah memenangkan kompetisi gitar klasik seperti Juara 1 kategori solo gitar klasik pada ajang Festival Lomba Seni Siswa Nasional tahun 2013, juara 2 kategori junior solo gitar klasik pada Indonesia International Guitar Festival 2013 dan mendapatkan Special Prize pada Valerio Guitar Competition 2015. Lolos seleksi mengikuti masterclass gitar klasik dengan Sharon Ibin, Collin Davin dan Bokyung Byun selama satu bulan pada acara Aspen Music Festival and School di Colorado, Amerika Serikat (2018).

Lia Veranika juga memberikan apresiasi acara Mi-Reng Festival sebagai ajang tukar pikiran dan berbagi pengalaman.

Pada kesempatan itu, pihaknya menjelaskan musik mikrotonal adalah musik yang menggunakan interval yang lebih kecil daripada semitone.

Pada awal abad ke 20, beberapa komponis mulai mengeksplorasi interval mikro dalam karya mereka, di antaranya Alois Haba dan Ivan Wyschnegradsky hingga masa modern sekarang.

Dalam kesejarahan musik Barat terdapat lima era, yaitu, Renaisans (1450-1600), Barok (1600-1750), Klasik (1750-1820), Romantik (1820-1900) dan Modern (1880-sekarang).

Karya musik pada era Renaisans dan Barok memiliki komposisi ciri khas yang hampir sama yaitu penggunaan range nada yang terbatas dan menggunakan teknik komposisi kontrapung.

Namun kontrapung era Renaisans tidak sekompleks dan serumit era Barok. Pada era Klasik, para komponis mulai melepaskan diri dari kontrapung dan memulai dengan gaya komposisi homofoni serta tempo yang statis dan frase simetris.

Era Romantik memiliki ciri khas rubato atau tempo yang dapat ditarik ulur cepat lambatnya serta penggunaan range nada yang lebih luas dari era sebelumnya, dan terakhir era Modern yang khas dengan eksplorasi bunyi.

Era Modern merupakan era yang masih berlangsung sampai saat ini dan dalam kesejarahan musik Barat, era Modern memiliki sub gaya musik yang berbeda-beda.

Beberapa sub gaya dari era Modern adalah Post-Romanticsm, Impresionism, Nationalism, Expressionism, Serialism, Neo-Romanticsm, Minimalism, Jazz, Neo-Classicism, dan masih banyak lagi. Beberapa ciri khas pada era ini yaitu pada eksplorasi bunyi, asimetris ritme, ameter (absence of meter), atonal (tidak terdapat pusat tangga nada), penggunaan melodi cluster, masih banyak lagi yang berkembang sampai sekarang.

Komponis pada era ini melakukan berbagai eksperimen yang digunakan sebagai materi bunyi seperti salah satunya merekam angin, suara kereta atau suara-suara lainnya, hingga kemudian munculah musik elektronik. Komponis pada era ini membuat dan mencari new sounds (bunyi-bunyi baru) dengan melakukan eksperimen berbagai teknik untuk menghasilkan new sounds tersebut. Beberapa komponis era Modern yang terkenal ialah Pierre Boulez, John Cage dan Karlheiz Stockhousen.

Eksplorasi bunyi dan teknik komposisi baru yang dimulai oleh komponis pada akhir abad 20 tentu juga mempengaruhi teknik permainan pada setiap alat musik.

Gitar klasik memiliki beragam extended technique yang menggunakan cara non-tradisional dalam menghasilkan bunyi baru pada gitar klasik.

Beberapa extended technique pada gitar klasik yang ditemukan pada karya-karya akhir abad 20 ialah penggunaan efek perkusi, teknik glissando baru, muted sounds dan prepared guitars (menambahkan objek tertentu pada gitar sehingga menghasilkan bunyi tertentu).

Selain eksplorasi bunyi dan teknik, komponis era akhir Romantik hingga Modern mulai menciptakan karya-karya yang terinspirasi dari musik tradisional, terutama dari daerah asal komponis tersebut.

Seperti contoh karya solo gitar Choros no 1 oleh Heitor Villa-Lobos, yang menggunakan ritme khas Choro, yaitu salah satu genre populer musik Brazil, yang khas dengan penggunaan ritme.

Contoh lainnya ialah karya dari komponis Kuba, Leo Brouwer, yang berjudul La Espiral Eterna, yang merupakan sebuah karya yang menirukan bunyi elektronik musik dan menggunakan prosedur komposisi aleatoric, dimana komponis memberikan kebebasan kepada pemain untuk mengacak nada, improvisasi, dan melakukan pengulangan pengulangan nada yang bebas.

Meskipun La Espiral Eterna masuk dalam komposisi avant-garde, namun Leo Brouwer tetap menghadirkan ritme dari Afro Kuba, yaitu Cinquillo pada karya tersebut.

Selain terpengaruh oleh gaya musik tradisional dari daerah masing-masing komponis, Beberapa komponis juga menciptakan karya berdasarkan musik tradisional daerah lain, salah satunya terinspirasi dari musik gamelan.

Leave a Reply

Berikan Komentar