Munculnya Identitas Bali di Era Kolonial
(Baliekbis.com), Dua antropolog asal Prancis, Michel Picard dan Jean Couteau, membahas perihal munculnya identitas Bali semasa era kolonial, berikut transformasinya kini. Acara timbang pandang tersebut berlangsung pada Jumat (22/03) di Bentara Budaya Bali (BBB), Jl. Prof. Ida Bagus Mantra No.88A, bypass Ketewel, Sukawati, Gianyar.
Michel Picard merupakan seorang peneliti dan pendiri Pusat Studi Asia yang berpusat di Paris, Prancis dan telah banyak menerbitkan buku terkait Bali, terutama perihal studi pariwisata, budaya, identitas, etnis dan agama. Pada timbang pandang ini iamemaparkan hasil kajiannya terkait bagaimana orang Bali kala itu mengkonstruksi indentitas ke-Bali-an mereka, terutama terkait dengan konteks agama, adat dan budaya.
Seturut penggabungan Bali dalam kuasa kolonial Hindia Belanda, pada pergantian abad ke-20, tak pelak mendorong tumbuhnya kehidupan intelektual Bali. Hal mana disebabkan pemerintah kolonial kala itu membutuhkan penduduk asli yang berpendidikan untuk menjadi jembatan atau penghubung antara penduduk lokal dan pendatang asing dari mereka. Generasi pertama Bali yang memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan era kolonial itu, turut serta terlibat dalam proses identifikasi diri sebagai orang Bali. Mereka mendirikan organisasi modern dan mulai menerbitkan majalah dalam bahasa Melayu, yang konten dan bentuk terbilang inovatif atau kreatif.
Dalam terbitan-terbitan ini, orang Bali menafsirkan identitas Kebaliannya – yang mereka sebut sebagai “Balineseness”- dalam istilah “agama” (agama), “tradisi” (adat) dan “budaya” (budaya). Kala itu, masih jauh dari ekspresi esensi primordial, sebagaimana akan lebih mengemuka belakangan, kategori-kategori konseptual ini adalah hal baru dan harus diselaraskan serta ditafsirkan oleh orang Bali sesuai dengan referensi dan keprihatinan serta pengharapan mereka sendiri. Mengemukanya pergulatan intelektual dan upaya pengindentifikasian diri sebagai orang Bali tecermin pada empat majalah yang diterbitkan di Bali selama era kolonial: Bali Adnjana (1924-1930), Surya Kanta (1925-1927 ), Bhawanagara (1931-1935), dan Djatajoe (1936-1941).
“Tujuan dari Surya Kanta adalah memberi posisi pada kaum jabayang ingin mengakhiri dominasi gaya Barat dan mereka merasa hambatan mereka adalah keistimewaan yang diperoleh kaum Tri Wangsa. Hal ini memiliki tujuan yang berbeda dengan Bali Adnjana. Namun terlepas dari pertentangan kedua media ini, di Bali Adnjana dan Surya Kanta inilah orang-orang Bali pertama kali mendeklarasikan diri sebagai sebuah masyarakat, society, people, yaitu kaum Bali sendiri, karena awalnya mereka hanya dilihat berdasarkan etnis atau apa yang didefinisikan oleh penjajah Belanda,” terang Michel Picard.
Lebih lanjut, media Surya Kanta dan Bali Adnjana mulanya dipublikasikan dalam bahasa Melayu. Hal mana ini juga menimbulkan krisis identitas bagi orang-orang Bali terdidik kala itu.
Sementara itu, Jean Couteau, penulis yang telah puluhan tahun bermukim di Bali, lebih banyak mengungkapkan perihal identitas orang Bali kontemporer atau saat ini. Adapun program timbang pandang ini digelar serangkaian perayaan Hari Frankofoni Internasional atau la journée de la francophonie, yakni perayaan bagi para penutur Bahasa Prancis di seluruh dunia, yang diperingati setiap tanggal 20 Maret. Buah kerja sama Institut Français d’Indonésie (IFI) dan Alliance française Bali dengan Bentara Budaya Bali.
Pekan Frankofoni menjadi pertemuan budaya dalam berbagai bentuk, seperti pertunjukan seni, pemutaran film, diskusi, kuliner serta pameran. Tercatat bahwa bahasa Prancis telah menjadi bahasa pengantar di dunia yang dipakai oleh 220 juta orang yang tersebar di lima benua. Bahasa Prancis juga menjadi bahasa resmi di berbagai organisasi internasional seperti PBB dan Uni Eropa, serta lembaga-lembaga nirlaba antara lain Palang Merah Internasional dan Amnesti Internasional. Di Asia Tenggara, bahasa Prancis diajarkan di sekolah-sekolah dasar maupun menengah, Alliance Française dan institusi Prancis lainnya.
Turut memaknai perayaan Hari Frankofoni Internasional di Bali, ditampilkan pembacaan dan dramatisasi puisi oleh Teater Kalangan, pemutaran film pendek Prancis adaptasi puisi Apollinaire, serta persembahan musik Prancis DJ Soundsekerta.(ist)