“Ngejuk Wadak” Perkokoh Kebersamaan dan Semangat Gotong Royong Desa Mengani
(Baliekbis.com), Desa Adat Mengani, Kabupaten Bangli kaya dengan keunikan dan kearifan lokal yang diwarisi secara turun temurun krama setempat. Desa yang berada di wilayah perbatasan Kabupaten Bangli dan Badung ini memiliki tradisi memelihara wadak. Menurut Kelaian Banjar Adat Mengani I Gede Subrata, wadak sejatinya sapi Bali yang upacarai dan dilepasliarkan. “Intinya ini hewan yang disakralkan sesuai keyakinan krama Mengani. Kami menyebutnya sebagai ‘jro gede’ sebagai wujud rasa hormat kami,” papar Gede Subrata didamping I Wayan Puja dan I Wayan Karsana selaku pengliman dan penyarikan di Banjar Adat Mengani disela-sela prosesi “ngejuk wadak” Senin (14/4).
Dijelaskan, prosesi ngejuk wadak merupakan aktivitas sakral mengingat sebelum kegiatan ngejuk (berburu) harus dilaksanakan upacara khusus. Setiap Krama Mengani yang terlibat harus berdoa mohon keselamatan dan ngatur piuning (menyampaikan permakluman) kepada Sang Hyang Pencipta di Pura Bale Agung Mengani. “Mereka yang tidak ikut upacara ini tidak diperkenankan ikut ngejuk wadak, takutnya ada hal-hal yang diluar dugaan terjadi. Mengingat wadak adalah hewan suci pada saat-saat tertentu bisa saja menunjukkan ‘sifat dewa’. Misalnya mengamuk kalau kegiatan ngejuk wadak tanpa didahului upacara keagamaan,” tuturnya.
Wayan Puja menambahkan saat ini ada tiga ekor wadak di Mengani, setiap sasih kedasa (bulan ke-10 kalender Bali akan disembelih sebagai sarana upakara panguangan. “Wadak ini dibuat sekitar sebulan setelah upacara panguangan, melalui upacara ngrasakin. Setelah diupacarai makan anak sapi (godel) jantan di lepas dan dibiarkan tumbuh dan besar secara liar.” Papar Kelih Nopi begitu panggilan akrabnya. Secara prinsip, tambahnya, wadak ini dikembangkan oleh krama Adat Mengani secara komunal namun dalam beberapa kesempatan ada warga yang menghaturkan sesangi (haul), jika usahanya lancar atau kehidupan keluarga lebih sejahtera maka akan menghaturkan “bulu geles”/sapi sebagai wujud rasa syukur. Hal ini menyebabkan keberadaan wadak menjadi lebih dari satu ekor.
I Wayan Karsana menekankan ‘ngejuk wadak” sebagai tradisi yang sangat dinanti oleh warga Mengani baik laki-laki dan perempuan. “Krama sangat antusias mengikuti kegiatan ngejuk wadak, bagi kaum laki-laki kegiatan ini memacu adrenalin, saat mengejar wadak yang lari kencang dan sedikit galak,” tuturnya. Ditambahkan, antusiasme Krama Mengani menunjukkan adanya rasa kebersamaan dan semangat gotong royong yang tinggi. Alasannya, warga siap bergerak secara bersama-sama menuntaskan kegiatan, tanpa harus diberikan arahan khusus. Kalangan lanjut usia, dewasa, remaja bahkan anak-anak kecil terjun langsung terlibat maupun menyaksikan aktivitas ngejuk wadak ini.
Prosesi ngejuk wadak tersebut berkaitan upacara panguangan yang berlangsung antar 12 hingga 20 April 2025. Ratusan warga Mengani dari segala usia tumpah ruah memadati pusat desa di wantila/ Balai Serbaguna desa setempat..Ngejuk Wadak diawali upacara keagamaan yang dipimpin krama keduluan Desa Adat Mengani. Menurut Jro Bayan Mucuk I Wayan Pasek, persembahyangan ini bertujuan agar ngejuk wadak bisa berjalan lancer. “Wadak saat pembuatannya sudah disucikan, ketika ditangkap juga harus didahului penyucian diri bagi krama dan peralatan yang digunakan. Tali yang digunakan untuk menangkap juga diperciki tirta (air suci) sebelum digunakan,” ujar tokoh Mengani yang juga Pekaseh Subak Giri Merta Yoga itu.
Akademisi Universitas Udayana Dr. I Made Sarjana, S.P., M.Sc yang juga krama Adat Mengani, menjelaskan tradisi wadak berkaitan dengan wali/upacara keagamaan budidaya padi gaga. Ada sejumlah rangkain upacara sebelum wali panguangan yang bertujuan agar tanaman di Mengani tumbuh subur sehingga berhasil baik. “Upacara panguangan sebagai puncak dari rentetan wali, ini semacam pesta pasca panen di masa lalu ketika di Mangani hanya mengandalkan budidaya padi gaga,” tegas Sekretaris Ikatan Sosiologi Indonesia Wilayah Bali itu.
Ditambahkan, pada upacara panguangan ada panen beras berlimpah, juga ada pembagian daging sapi (wadak), tuturnya, merupakan implementasi ketahanan pangan bagi warga Mengani. Dr. Made Sarjana menekankan krama Mengani hingga saat ini sangat solid melestarikan tradisi dan berkolaborasi satu sama lain. Dia berharap spirit kehidupan komunal ini menjadi modal sosial memajukan Desa Mengani dari segala aspek ke depannya. (ist)
Leave a Reply