Ngurah Wisnu Kembali Launching Buku “Catatan Jurnalistik Amor Ing Acintya, Kehidupan setelah Kematian”

(Baliekbis.com), Sabtu, 29 Juni 2024 dipilih sebagai ‘hari baik’ untuk me-launching buku “Catatan Jurnalistik Amor Ing Acintya, Kehidupan setelah Kematian” karya dari Ngurah Wisnu, nama lengkap dari I Gusti Ngurah Wisnu Wardana yang hampir 50 tahun bergelut dalam profesi jurnalis. Acara ini bertajuk ‘Bedah Buku, Sembari Nyerumput Kopi’ di warung milik wartawan Bali, Kubu Kopi.

Menurut Ngurah Wisnu yang juga Ketua Yayasan Tri Hita Karana Bali, buku ini ditulis untuk mengisi hari tua, karena profesi jurnalis tidak mengenal kata pensiun. Ia sangat percaya bahwa umur manusia hanya tiga hari yaitu kemarin; hari ini dan hari esok. “Kemarin adalah kenangan; hari ini kenyataan; dan hari esok adalah harapan,” katanya sambil menambahkan, meski tiga hari, apapun aktivitas yang dilakukan oleh seorang jurnalis tidak akan pernah tuntas hingga ke liang lahat.

Buku “Catatan Jurnalistik, Mencari Kitab Suci” merupakan karyanya pada hari kemarin (2023), sedangkan buku “Catatan Jurnalistik Amor Ing Acintya, Kehidupan setelah Kematian” sebagai karya hari ini (2024). Dan, hari esok, ia telah menyiapkan buku “Catatan Jurnalistik: Goa Gajah-Bali Setara Kampus Oxford-Inggris”.

Seluruh karya Catatan Jurnalistiknya, mengisahkan catatan kebudayaan (nusantara, khususnya Bali) yang berbau spiritual. Seperti buku Mencari Kitab Suci yang mengisahkan bahwa sejatinya kitab suci bangsa Indonesia itu ada dalam diri-sendiri yaitu bagaimana kita bertfikir, berkata dan berbuat yang positif. Bahkan budaya ‘sesajen’ yang dilakukan sehari-hari oleh nenek moyang bangsa ini, ternyata dapat dibuktikan secara ilmiah (dengan teori Kimia Nano) dimana bunga mampu memancarkan aura positif bagi lingkungannya. Mungkin itu sebabnya, pulau Bali sering mendapat kunjungan dari orang-orang suci seperti Dalai Lama dan tokoh lainnya, termasuk Raja Salman (raja Arab Suadi) yang memperpanjang masa liburannya di Bali.

Kemudian buku Amor ing Acintya menggambarkan bahwa orang luar melihat upacara kematian di Bali bagaikan sebuah pesta-pora. “In Bali, even funeral is a joyful festival,” tulis sebuah koran pariwisata yang terbit di kota Quebec (Kanada).

Dalam buku “Goa Gajah-Bali Setara Kampus Ofxord-Inggris”, Ngurah Wisnu ingin membandingkan bahwa situs Goa Gajah mampu menyaingi situs Kampus Oxford-Inggris setelah ia melihat 6 lokasi syuting film Harry Potter di Inggris.
“Untuk belajar ‘sakti-mandraguna’ (mampu terbang) seperti yang dilakoni tokoh Harry Potter dan kawan-kawan, ternyata situs Goa Gajah jauh lebih unggul. Di sekitarnya ada Goa Garba yang dijadikan ‘kampus’ (melakukan tapa/meditasi) oleh mahapatih Kebo Iwa. Lewat ‘kuliah’ dan pertapaannya, ia memiliki kesaktian dan ilmu Kanuragan yang tinggi,” kata Ngurah Wisnu dengan harapan (hari esok) agar bukunya terbit awal tahun 2025.

Sebagai wartawan yang lahir, sekolah dan besar di Bali, Ngurah Wisnu berharap agar hasil karya ‘Catatan Jurnalistiknya’ ini mampu membuka cakrawala berfikir bahwa sebagai orang Bali dan nenek moyang Nusantara ini adalah bangsa besar, tapi dikerdilkan oleh kaum penguasa ‘peradaban Barat’, seperti bangsa Yunani dan Eropa. Sebagai penguasa ‘peradaban Timur’ dengan goal of life nya spiritual, maka kekayaan budayanya melebihi bangsa-bangsa Barat.

Memang peradaban Barat mampu mengemas logika hidupnya yang rasional-logis dengan catatan science yang terus berkembang. Sementara ilmu-ilmu dengan dasar spiritual sering mengajarkan muridnya harus kurang dari ilmu milik sang guru. Itu sebabnya, bila guru menguasai 10 ilmu, maka sang murid maksimal diajarkan 9, dan seterusnya hingga ilmu-ilmu spiritual itu punah.

“Beda dengan peradaban Barat. Bila guru memiliki 10 ilmu, seluruhnya diserahkan kepada sang murid, sehingga science terus-berkembang, seperti kata akhir dalam tulisan sebuah disertasi (karya tulis dari peraih gelar doktor) yang menyarankan bila karya tulis itu diteruskan oleh sang murid, maka akan menghasilkan penelitian yang lebih maju,” katanya.

Sebagai akhir keterangannya, Ngurah Wisnu mengungkap bahwa hal-hal seperti inilah yang dicari kemudian dituangkan dalam sebuah Catatan Jurnalistik. (ist)