Ny Putri Koster Harap Desainer Bali Kekayaan Tenun Lokal
(Baliekbis.com), Bali memiliki kekayaan budaya, salah satunya berupa tenun lokal yang merupakan warisan leluhur. “Diharap agar para desainer Bali mengangkat kekayaan tenun lokal dalam karya-karya mereka,” demikian harapan yang disampaikannya Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi Bali Ny Putri Koster di Gedung Jayasabha Denpasar, Jumat (11/10/2019).
Harapan diungkapkan saat bertemu para desainer yang akan terlibat pada acara fashion show Pesona Wastra Dewata 2019 di BNDCC Nusa Dua, 16 November 2019 dan perajin yang hendak mengikuti pameran Crafina di Jakarta, 15 hingga 20 Oktober 2019.
Ny Putri Koster mengatakan bahwa Bali memiliki ratusan jenis tenun tradisional. Menurut dia, itulah yang menjadi kelebihan Bali yang dapat dijadikan modal dalam persaingan di dunia fashion nasional hingga internasional. Dalam pengembangan mode, wanita yang piawai membaca puisi ini mengingatkan agar para desainer Bali jangan selalu berorientasi pada trend fashion dunia.
Ia lantas mencontohkan, peragaan busana di ajang fashion show tingkat internasional yang identik dengan para model berwajah dingin ketika berjalan di atas catwalk. “Kita tak perlu meniru mereka karena kita sendiri punya kepribadian yang ramah. Tampilkan para model dengan wajah ramah, banyak senyum,” urainya sembari menambahkan bahwa Bali bisa menjadi trend center modeling yang punya ciri khas tersendiri.
Pada bagian lain, ibu dua putri ini juga mengingatkan agar para desainer membuat karya yang bisa dipakai sehingga laku di pasaran. “Jangan membuat model yang aneh-aneh, lalu siapa yang memakai. Hanya sebatas diperagakan,” ujarnya. Idealnya, ujar Ny Putri Koster, rancangan para desainer bisa diproduksi, dipasarkan dan diminati masyarakat.
Masih dalam arahannya, Ny Putri Koster kembali mempertegas komitmennya dalam upaya pelestarian dan pengembangan tenun ikat Bali. “Dekranasda itu ibarat sayap yang menerbangkan produk kerajinan dari berbagai bidang, khususnya dalam hal ini kain tenun,” tambahnya.
Untuk itu, ia mengajak seluruh komponen bahu membahu dalam upaya pelestarian dan pengembangan tenun ikat Bali. Menurutnya, sektor sandang belakangan memang berkembang pesat. Namun di balik pesatnya perkembangan tersebut, tenun ikat Bali menghadapi tantangan yang begitu pelik yaitu kemajuan teknologi yang mengakibatkan banyak motif songket atau endek diproduksi dengan teknik printing atau bordir.
“Karena harganya jauh lebih murah dengan tampilan yang menarik, kain printing dan bordir laku keras,” tambahnya. Ny Putri Koster tak serta merta menyalahkan inovasi dalam produksi tenun lokal Bali. Menurutnya, dikaitkan dengan upaya pengembangan, inovasi adalah hal yang wajar.
“Nah, untuk tanggung jawab pelestarian, kita yang berpenghasilan lebih jangan ikut-ikutan berorientasi pada harga murah. Yuk, kita ambil bagian dalam upaya pelestarian tenun ikat yang masih dibuat secara tradisional,” ucapnya.
Menurut Ny Putri Koster, perajin juga memegang peranan penting dalam upaya pelestarian tenun ikat yang masih dikerjakan secara tradisional seperti ATBM dan cagcag. Ia mewanti-wanti agar para perajin jangan malah ‘bunuh diri’ dengan ikut-ikutan gencar memasarkan tenun printing atau bordir. Sejumlah perajin tenun ikat yang sempat ditanya beralasan karena kain tenun printing dan borbir belakangan memang lagi trend dan banyak diminati. Kondisi ini sangat mengkhawatirkannya, sebab lambat laun alat tenun cagcag akan makin terpinggirkan.
“Saat ini hanya tersisa tak lebih dari 10 alat cagcag. Jika kita tak peduli, bukan tidak mungkin alat tradisional warisan leluhur itu akan diklaim negara lain lalu mereka mengambil keuntungan dengan promosi kalau alat itu sudah berumur ratusan tahun,” urainya.
Oleh sebab itu, Ny Putri Koster mengajak perajin untuk mengambil jalan tengah yaitu dengan tetap memasarkan produk printing atau bordir, namun menyarankan kepada konsumen kalau kain jenis itu hanya untuk bahan baju. “Kalau untuk kamen, tetap harus diarahkan membeli tenun ikat tradisional,” ajaknya. Ia berharap, upaya pengembangan tenun ikat tradisional bisa berjalan beriringan dengan upaya pelestariannya. (ist)