Nyama Selam, Sisi Harmoni Bali
(Baliekbis.com), Program Bali Tempo Doeloe #22 yang berlangsung di Bentara Budaya Bali (BBB), Jl. Prof. Ida Bagus Mantra No.88A, Ketewel, Gianyar, pada Minggu (5/05) mengetengahkan perbincangan seputar Nyama Selam (Nyame: Saudara, Selam: Islam). Selain membahas sejarah dan keberadaan Nyama Selam di Bali, dipaparkan pula perihal proses akulturasi yang menyertainya. Sebagai narasumber yakni Ketut Syahruwardi Abbas, seorang penyair serta Nyama Selam dari Pegayaman, Buleleng, dan Dr. I Ketut Sumadi, M.Par yang merupakan akademisi dari IHDN Denpasar sekaligus pemerhati budaya. Sebagai pemantik diskusi, ditayangkan pula video dokumentasi tentang akulturasi dan Nyama Selam di Bali.
Nyama Selam merupakan sebutan bagi masyarakat Muslim yang tinggal di Bali. Istilah ini juga digunakan untuk menyebut umat Muslim yang telah menjadikan kebudayaan Bali sebagai bagian kehidupannya. Keberadaan Nyama Selam sering dianggap sebagai salah satu wujud harmoni dan toleransi antar umat beragama di Bali. Dr. I Ketut Sumadi, M.Par menyebutkan bahwa Nyama Selam telah ada di Bali sejak zaman kerajaan-kerajaan Hindu. Mereka yang umumnya berasal dari orang Jawa, Bugis (Sulawesi Selatan), Sasak (Lombok), ataupun Melayu datang ke Bali dengan berbagai alasan, antara lain mengabdi kepada raja, berdagang, politik, ataupun perkawinan.
“Pertemuan dalam sejarah panjang ini menjadikan saling-silang dan pertukaran budaya satu sama lain yang terakumulasi menjadi konsep Nyama Bali-Nyama Selam, “ ungkap Ketut Sumadi. Hingga kini keberadaan Nyama Selam dapat ditemukan di beberapa lokasi, seperti Kampung Loloan (Jembrana), Desa Pegayaman (Buleleng), Kecicang (Karangasem), Yeh Sumbul, Kampung Nyuling, Kepaon (Denpasar), Kampung Jawa (Denpasar), dan lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari, komunitas-komunitas ini juga memiliki kebiasaan yang mengacu pada unsur percampuran budaya Islam dan Bali.
Akulturasi atau pembauran budaya antara kaum Muslim dengan umat Hindu berlangsung dalam proses sejarah yang panjang. Pembauran yang harmoni ini tecermin pada laku budaya yang mempertemukan kedua belah pihak dalam peristiwa kebudayaan yang penuh persaudaraan, merefleksikan toleransi, tenggang rasa dan penghormatan pada keberagaman. Misalnya, upacara “petik laut”, yakni tradisi nelayan yang ke laut bisa mewarnai pergaulan nelayan Islam maupun nelayan Hindu di Bali Barat. Atau tradisi “Ngejot” yakni membawa makanan ke tentangga sebagai sarana silahturahmi yang dilakukan Nyama Selam dan Nyama Bali (istilah untuk umat Hindu di Bali) di Pegayaman, Buleleng menjelang perayaan hari besar masing-masing. Nyama Selam Pegayaman pun memiliki tradisi unik dalam menyambut Lebaran. Mereka merayakan hari besar tersebut dalam beberapa rangkaian, dimulai dari Penapean, Penyajaan, Penampahan Lebaran, Lebaran, dan Umanis Lebaran.
Bentuk-bentuk akulturasi yang lain tecermin pula pada beberapa arsitektur atau bangunan masjid yang menggunakan ornamentik Bali, atau bentuk kesenian Bordah (Burdah) di Pegayaman Buleleng. Dialog kali ini juga mencoba mengkritisi kenyataan era kontemporer kini, di mana kemajuan teknologi berikut kehadiran gawai dengan beragam media sosialnya, tak jarang menimbulkan “ketegangan sosial” atau kesalahpahaman sebagai akibat hoaks atau berita palsu, serta limbah sosial berupa hujatan, kecaman, hasutan berbau SARA dan perilaku negatif lainnya. Di satu sisi, kehadiran gawai dan kemajuan teknologi IT mengukuhkan kesamaan hak dalam memperoleh informasi serta mendorong tumbuhnya semangat egaliter dan demokratisasi di segala lini.
Ketut Syahruwardi Abbas mengungkapkan bahwa hidup dalam lingkungan yang plural, di mana perbedaan begitu banyak ditemukan saban hari, dan tidak semua orang berjalan pada satu jalur, memang dibutuhkan kearifan besar untuk saling memberi tempat dan berbagi secara proporsional. “Pada dasarnya saya tidak pernah percaya ada konflik agama. Saya tidak pernah percaya kalau ada konflik yang disebabkan oleh keyakinan agama. Agama tidak pernah mengajarkan konflik. Manusialah yang menunggangi agama untuk kepentingan-kepentingan di luar agama,” ujarnya.
Hal ini selaras pula yang diniatkan serta disampaikan oleh Ketut Sumadi, bahwa keharmonian dan toleransi harus senantiasa dijaga. “Untuk menghindari terjadinya disharmoni, maka nilai-nilai yang bersumber dari agama dan kearifan lokal dijadikan sebagai dasar etika manyamabraya, yakni sebuah konsensus fundamental minimum berkaitan dengan nilai-nilai yang mengikat, standar-standar yang tidak bisa diganggu gugat, dan sikap moral fundametal,” ungkapnya. (ist)