Nyepi “Unik “ 2018
(Baliekbis.com), Dalam kegiatan agama Hindu, kita mengenal adanya salah satu bahasan yang sangat penting yaitu tentang Hari Suci. Marilah kita ubah pola pikir kita bahwa sesungguhnya Hindu tidak mengenal hari raya. Namun, Hindu mengenal hari suci yang kemudian dirayakan, bukan hari raya yang disucikan. Hal ini didasarkan bahwa dalam perhitungan waktu Hindu atau sering disebut dengan Wariga, yang dalam Veda disebut dengan Jyotisa atau ilmu perbintangan Hindu. Di Bali Jyotisa tidak diserap begitu saja dari India, namun disesuaikan dengan keberadaan dan kebutuhan Hindu Bali sehingga sesuai dengan kebutuhan dan bisa digunakan oleh masyarakat. Inilah yang kemudian disebut dengan wariga atau dewasa yaitu hari yang baik untuk menghubungkan diri kepada para Dewa.
Yang menjadi menarik adalah bahwa Nyepi tahun 2018 pelaksanaannya bersamaan dengan Hari Suci Saraswati yang kita sudah pahami sebagai hari suci untuk memuja kemuliaan Ilmu Pengetahuan. Dalam sistem perhitungan wariga yang melibatkan perputaran bulan dan matahari memang sangatlah rumit dan kita memerlukan energi khusus untuk mempelajari hal tersebut. Hal yang pasti bahwa pada tahun 2064 hari suci nyepi akan bersamaan lagi dengan hari suci Pagerwesi yaitu tepatnya pada hari Rabu, wuku Sinta, tanggal 19 Maret 2064. Untuk 100 tahun ini hal inilah yang menarik, sebab belum bisa diketahui perhitungan tahun berikutnya yaitu tahun 1100 berikutnya. Bersatunya hari pemujaan ilmu pengetahuan dan hari perenungan saat Tahun Baru Saka merupakan hal baik sebab tentulah alam memberikan makna tersendiri pada persoalan ini. Untuk membahas hal itu, baiknya kita pahami dulu beberapa hal tentang apa sebenarnya makna dari kedua hari suci ini.
Hari Suci Saraswati merupakan hari suci dengan perhitungan pawukon yaitu apabila wuku Watugunung mempertemukan pancawara kliwon dengan sapta wara Saniscara. Ini adalah hari suci yang hadirnya setiap 210 hari sekali yang juga merupakan hari suci terakhir dalam sistem satu tahun wuku, yaitu wuku Watugunung. Ilmu pengetahuan memang dipandang sebagai salah satu senjata yang amat sakti bagi keberadaan kehidupan manusia, dimana dengan ilmu pengetahuan diharapkan kita mampu menga,lahkan berbagai musuh yang ada dalam diri kita dan juga musuh dalam kehidupan. Ilmu pengetahuan mampu membuat kita tidak hanya pintar tetapi juga berilmu atau cerdas. Istilah cerdas inilah kemudian dalam bahasa kawi disebut dengan istilah pradnyan. Inilah yang mendasari kenapa kemudian hindu menyatakan penganugerah ilmu pengetahuan perlu diperingati sebagai salah satu upaya membentuk manusia seutuhnya dengan ilmu pengetahuan yang baik untuk kehidupan.
Kita sangat menyadari bahwa dengan ilmu pengetahuan kita mampu memperoleh kesejateraan. Inilah kemudian yang menjadi alasan kita melukiskan keberadaan Dewi S.araswati sebagai dewi yang maha mulia. Seorang yang sudah memiliki ilmu pengetahuan akan terlihat dari keheningan serta kesucian pikirannya bagaikan keberadaan Dewi Saraswati yang berkulit putih bersih, bahwa dengan ilmu pengetahuan kesucian dan kemurnian itu akan tercapai. Orang bijaksana juga merupakan salah satu cerminan dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Hal ini bisa kita lihat bahwa dengan kebijaksanaan seseorang akan mampu memilah dan memilih hal mana yang baik dan buruk serta melaksanakan yang baik itu. Sebab dewasa ini banyak yang tahu kesalahan atau bahkan keburukan namun masih tetap mereka melakukannya. Ilmu pengetahuan juga tidak habis dipelajari, ketika kita mengetahui satu hal kita selali berharap bisa mempelajari hal lainnya, inilah kemudian kecantikan dari ilmu pengetahuan sehingga kita menjadi gila untuk mengejarnya. Ilmu pengetahuanlah yang menyebabkan seseorang memiliki daya kreativitas, nalar yang jelas, dan mampu menginjak-injak egonya sehingga pemilik ilmu pengetahuan sejatis elkalu mempertimbangkan segala hal yang akan dia pikirkan dan lakukan terlebih sangat hari-hari dalam menyatakan sesuatu yang membuat orang lain tersinggung. Intinya ilmu pengetahuan mampu membuat kehidupan seseorang menjadi lebih baik dan bisa bertanggungjawab dalam ‘memelihara’ kehidupannya.
Hal lain yang sering kita rasakan dan lihat saat pelaksanaan Hari Suci Saraswati adalah anggapan masyarakat luas bahwa saat itu tidak boleh membaca, menulis dan intinya tidak boleh belajar. Hal ini menjadi bertolak belakang dengan logika bahwa kenapa saat pemujaan dewi ilmu pengetahuan justru kita tidak disarankan untuk belajar? Melihat hal ini tentu kita harus melihat saraswati dari sudut pandang yang lain. Marilah kita lihat Hari Suci Saraswati dari sudut pandang yoga. Dalam ilmu yoga kita mengenal istilah astangga yoga. Dalam astangga yoga kita diharapkan melakukan yoga dengan beberapa tahapan yang menuntun kita untuk memperoleh semadhi. Delapan tahapan itu adalah yama, niyama, asana, pranayama, prtyahara, dharana, dyana, dan semadhi. Kedelapan ini bisa kita maknai dengan hari-hari mulai dari kajeng kliwonpamelastali, watugunung runtuh. Jika yama dan nyama merupakan pengendalian jasmani dan rohani, sehingga ini adalah kebiasaan kita setiap hari sebagai sadhana spiritual orang hindu. Selanjutnya adalah asana yang artinya sikap dan hal ini kita identikan dengan hari Minggu ketika Watugunung diceritakan runtuh.
Pada hari Senin juga disebut sebagai hari candung watangan, yang mana pada hari ini dinyatakan watugunung meninggal dan menjadi jenasah. Hal inilah yang kemudian bisa dikaitkan dengan asana dimana pada saat itu posisi sawasana sebagai salah satu sikap asana dalam yoga Hatta Yoga. Keesokan harinya disebut dengan anggara paid-paidan, dimana diceritakan jenazah watugung di paid (tarik) kesana kemari. Pada saat inilah kemudian kita identikan dengan pentingnya nafas dalam kehidupan. Selanjutnya adalah buda urip atau kita identikan dengan pratyahara yaitu pengendalian diri. Dalam cerita, saat inilah Watugunung kembali diberikan kehidupan oleh Bhagawan Buda yang diberikan dengan catatan harus lebih mengendalikan diri (pratyahara). Setelah itu pada wrespati wage disebut dengan hari panegtegan, hari dimana setelah kehidupan baru, mesti menjaga kondisi badan agar siap menjalani kehidupan baru. Hal ini identik dengan upaya menyatukan pikiran, yang didalam astangga yoga disebut dengan dharana. Keesokan harinya pada sukra kliwon disebut dengan sukra pangredanan atau didalam Astangga Yoga disebut dengan Dhyana, diam dari berbagai aktivitas tubuh, rileks dan bersiap untuk melakukan tahapan selanjutnya yaitu meditasi, jika didalam rangkaian Saraswati bagian ini adalah puncaknya yaitu Hari Suci Saraswati. Inilah yang menjadi dasar kenapa kemudian kita tidak diharapkan untuk membaca menulis pada saat Saraswati karena disana ada meditasi, atau penyatuan yang sering disebut dengan semadhi. Demikianlah hakikat Hari Suci Saraswati sebagai salah satu hari suci untuk memuliakan pengetahuan sehingga hidup kita menjadi lebih bermakna.
Selanjutnya kita akan membahas Hari Suci Nyepi. Hari suci ini didasarkan dengan perhitungan sasih, sehingga hadirnya setiap tahun sekali. Inilah yang menarik, bahwa umat hindu menyambut Tahun Baru Saka dengan cara nyepi, sepi, sunyi. Kenapa demikian? Kita awali dengan sejarah Nyepi. Tahun baru saka sesungguhnya berasal dari sebuah peperangan dan pertumpahan darah di India, saat itu terjadi peperangan yang memperebutkan kekuasaan yang dilakukan oleh suku-suku antara lain suku saka, suku pahlawa, suku yawana dan suku malawa. Singkat cerita bertemulah mereka dalam pertempuran besar untuk memperebutkan kekuasaan. Pertempuran itu dimenangkan oleh suku saka yang kemudian menobatkan Raja Kaniskha 1, sebagai raja yang tepatnya dilakukan pada 14 maret tahun 78 masehi. Inilah dinyatakan sebagai tahun baru saka, yaitu tahun 1 saka. Sehingga dengan demikian untuk mencari tahun saka maka kurangilah tahun masehi dengan 78. Dan hasilnya adalah tahun saka itu sendiri.
Perkembangan Hindu dari india menuju Indonesia yang dilakukan oleh warga suku saka sampailah di rembang jawa tengah. Disana dilakukan pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh Sang Aji Saka yang sangat ahli dalam ilmu perbintangan atau jyotisa atau di bali disebut dengan wariga. Beliau mengajarkan bagaimana bercocok tanam di rembang sampai akhirnya hasil bumi disana melimpah ruah. Inilah kemudian setiap tahun baru saka mereka membuat gunungan untuk diarak keliling alun-alun kota yang terbuat dari buah-buahan dan sayuran. Hal ini masih berjalan di bromo dan tengger serta beberapa wilayah lainnya yang intinya sebagai rasa syukur atas segala anugerah hasil bumi. Sampai di Bali perayaan tahun baru saka dilakukan dengan cara yang snagat luar biasa yang sampai sekarang kita kenal dengan Nyepi.
Di Bali hari suci ini selain sebagai salah satu perayaan tahun baru, juga sebagai salah satu hari dimana dilakukannya kegiatan-kegiatan untuk menyucikan bhuwana agung dan bhuwana alit. Rangkaian Nyepi ini dibahas tuntas dalam duat lontar upacara di Bali yaitu Lontar Sundarigama, dan Lontar Swamandala. Kedua lontar ini saling melengkapi sehungga pelaksanaan Nyepi berjalan seperti sekarang. Upaya ini sebenarnya merupakan salah satu upaya untuk menyeimbangkan bhuwana alit dan bhuwana agung sehingga kesejahteraan bisa terwujud. Rangkaian nyepi dilakukan mulai dari melis, meprani, tawur agung, catur brata penyepian, dan terakhir ngembak geni. Melis adalah upacara dimana umat melakukan pemujaan menuju sumber air dengan membawa berbagai uparengga, upacara dan berbagai bentuk pratima yang disucikan oleh desa pakraman. Masyarakat mengiring acara tersebut dengan berjalan kaki menuju sumber air yang bermakna memohon penyucian alam semesta. Dilanjutkan dengan semua pratima Ida Bhatara di bawa ke Pura Desa atau Bale Agung untuk kemudian disana akan dilakukan meprani dan pelaksanaan Tawur Agung Kesanga. Kesokan harinya akan dilakukan catur brata penyepian atau nyipeng dimana umat diharapkan untuk melakukan brata dengan penuh keyakinan dan sradha dan bhakti yang mantap.
Catur Brata Penyepian merupakan salah satu upaya melatih diri dalam upaya menghasilkan manfaat spiritual baik bagi diri sendiri maupun alam semesta. Kunci dari pelaksanaan catur brata penyepian ini adalah Upawasa atau tidak makan dan minum seharian penuh yaitu dari jam 6 pagi sampai keesokan harinya jam 6 pagi. Inilah sebagai wujud nyata dari Catur Brata Penyepian itu. Amat geni bisa kita terjemahkan sebagai tidak menyalakan api, artinya dengan tiadanya api maka makanan juga tidak tersedia. Hal lain juga bahwa api dalam diri manusia yang disebut dengan jatraagni yang terdapat dalam tubuh utamanya di perut juga akan mati karena tidak ada makanan yang masuk untuk diolah. Selanjutnya dengan tiadanya makanan yang dilah oleh tubuh maka akan muncul amati karya atau tiada bekerja, hal ini karena energy dalam tubuh tidak tercipta sehingga kita akan diam dan tak melakukan apa-apa. Selanjunya adalah amati lelungan atau tidak bepergian, inipun tidak bisa kita lakukan tanpa energy, bepergian itu tidak dilakukan sebab energy tubuh khusus diperuntukan untk menjaga kestabilan tubuh atau berdiam diri di rumah. Terakhir adalah amati lelanguan atau tiada berceria hati. Bagaimana kita mencari kebahagiaan jika kita tidak memiliki energy? Inilah sebenarnya kunci dari Nyepi, bahwa energi ini kita resert atau kembalikan menuju ke titik 0. Manfaatnya adalah alam semesta juga akan merasakan upaya diam atau sunyi ini sebagai bentuk pembersihan.
Dilakukannya catur brata penyepian adalah agar keheningan itu semakin terwujudkan dengan nyata, hal lainnya adalah bahwa Prana sedang dalam keadaan penuh di alam semesta akibat dari persembahan tawur agung kesanga sehari sebelumnya, maka saat nyepi merupakan hari yang sangat baik untuk kemudian melakukan brata atau meditasi untuk memperoleh prana semesta itu. Prana inilah kemudian akan membuat jasmani dan rohani manusia serta seluruh isi alam terbaharukan sehingga keheningan itu menjadi nyata, dan kesejahteraan hidup akan diperoleh. Keesokan harinya dilakukan kegiatan untuk saling mengunjungi dengan makna untuk saling memahami satu sama lainnya agar kerukunan tetap terpelihara dengan baik. Kegiatan ini dirangkai dengan dharma santih yaitu dalam rangka membuka ‘pintu’ brahma atau ngembak geni. Inilah adalah upaya umat hindu untuk mencerminkan hubungan yang baik kepada sesame manusia., dengan lingkungan adalah dengan melakukan aktifitas tanpa polusi saat nyepi dan melakukan pemujaan, tapa, brata sebagai bentuk pemujaan kepada Tuhan untuk kesejahteraan segala sekalian alam semesta.
Bersamaannya hari suci Nyepi dengan hari suci Saraswati merupakan salah satu keunikan di tahun 2018, yang kemungkinan baru akan ditemui ratusan tahun yang akan datang. Hal ini menjadi penting untuk kita maknai sebagai bagian anugerah dan pesan kepada sekalian alam semesta agar selalu menjaga dan mengupayakan kebaikan kepada alam semesta. Kepradnyanan yang diperoleh sebagai anugerah dari alam semesta saat melakukan pemujaan Saraswati sebagai sarana untuk melakukan introspeksi diri. Ilmu lah yang digunakan untuk bertanya kedalam untuk mengetahui hakikat sang diri sejati. Ilmulah yang harus dipertegas untuk memperkokoh sradha dan bhakti guna kemudian menjadi senjata untuk menghadapi perkembangan jaman. Hidup tidak hanya terpenuhi secara jasmani, namun juga terpenuhinya aspek rohaninya menjadi hal yang sangat penting. Inilah kemudian akan memberikan kita kekuatan sehingga menjadi manusia yang purusa utama, atau purusotama yaitu manusia sejati yang tidak terganggu lagi olrh suka dan duka, serta segala kehidupannya mengalir bagaikan air dari pegunungan menuju samudra yang maha luas. Hal inilah yang menjadi salah satu landasan kenapa saat nyepi kita perlu khusyuk untuk merenungi diri dengan kepradnyanan. Hal lain juga sebagai alasan kenapa internet dimatikan saat Nyepi. Yaitu untuk mampu melaksanakan hakikat nyepi dan menuju pada hakikat nyepai dengan sesungguhnya. Pengendalian diri dengan kesadaran atau kepradnyanan menghasilkan manusia seutuhnya. Rahajeng ngelaksanayang rahina suci Nyepi lan rahina Suci Saraswati. (* I Kadek Satria/akademisi)