Ocean20: Kerangka Kerja Baru tentang Pengelolaan Laut yang Mandiri
(Baliekbis.com), Pemerintah Indonesia, dengan dukungan Green Climate Fund, Conservation International dan Konservasi Indonesia, meluncurkan model baru dari konservasi laut dan pengelolaan perikanan di Indonesia. Model ini, yang disebut dengan Blue Halo S, adalah inisiasi pertama yang mengintegrasikan pendekatan perlindungan laut dan pengelolaan perikanan berkelanjutan. Blue Halo S dirancang untuk ke depannya bisa mendanai kegiatannya sendiri secara berkelanjutan. Inisiasi Blue Halo S diperkenalkan pada Tri Hita Karana Forum, site event dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 dan konferensi Ocean 20 yang merupakan pertemuan dari para pemimpin KTT G20 Leaders’ Summit yang fokus pada isu kelautan dan diadakan di Bali pada minggu ini. Inisiasi ini bertujuan untuk memobilisasi USD $30 miliar modal kalalitik dan komersial untuk mendukung proyek-proyek terkait SDG.
Hadir dalam peluncuran Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Kelautan dan Perikanan, German Velasquez, Director of Division of Mitigation and Adaptation, Green Climate Fund, M. Sanjayan, Chief Executive Officer, Conservation International dan Meizani Irmadhiany, Ketua Pengurus, Konservasi Indonesia. “Indonesia berkomitmen penuh untuk menjadi negara yang terdepan dalam isu perubahan iklim melalui proteksi ekosistem dan produksi perikanan yang terintegrasi. Inisiasi Blue Halo S mendukung ekonomi kelautan yang tangguh di Indonesia melalui penyelarasan secara insentif dari sisi ekologi dan ekonomi secara lebih baik,” ungkap Luhut mengenai inisiasi Blue Halo S. Blue Halo S mengintegrasikan dua elemen pengelolaan kelautan yang sering dianggap bertentangan: perlindungan lingkungan dan produksi ekonomi.
Di bawah inisiasi Blue Halo S, manfaat ekonomi dari pengembangan sumber daya kelautan yang berkelanjutan diinvestasikan kembali dalam perlindungan lingkungan. Pada saatnya, proses ini meningkatkan sumber daya alam yang mendukung produksi komersial. Kerangka kerja “perlindungan-produksi” ini menjadi dasar untuk pendekatan Blue Halo S. Trenggono menjelaskan, “Kawasan konservasi perairan kami, sebagai kawasan konservasi terbatas, memberikan layanan lingkungan dan ekologi yang penting. Kawasan konservasi yang dikelola dengan baik akan meningkatkan kesehatan laut dan menciptakan peluang ekonomi bagi masyarakat lokal.” “Ada kebutuhan kritis untuk melestarikan ekosistem dan keanekaragaman hayati laut serta beriringan membangun peluang mata pencaharian yang sejahtera dan berkelanjutan bagi masyarakat. Blue Halo S berfungsi sebagai cetak biru yang memungkinkan hal ini berkembang bersama,” kata M. Sanjayan, Chief Executive Officer, Conservation International. Blue Halo S didukung melalui pendekatan blended finance.
Pendekatan ini berupaya untuk memobilisasi pendanaan publik dan filantropi secara strategis guna mendorong investasi swasta dalam konservasi laut dan pembangunan berkelanjutan. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi serta Kementerian Kelautan dan Perikanan akan mengkoordinasikan implementasi model keuangan dari Blue Halo S, mengawasi kegiatan lintas kebijakan, dan keuangan inovatif. Green Climate Fund (GCF) hari ini mengumumkan persetujuan Project Preparation Facility (PPF), senilai hingga USD $1,5 juta, yang akan membantu dimulainya Blue Halo S di Indonesia. Penyusunan proposal pendanaan GCF akan dikoordinasikan oleh Conservation International yang akan berkontribusi senilai ~USD $350,000 untuk bersama membiayai persiapan proyek.
Blue Halo S bertujuan untuk mengumpulkan dana sampai USD $300 juta dari GCF dan sumber lain untuk skema blended finance, yang terdiri dari fasilitas hibah untuk Mekanisme Adaptasi Ekosistem Biru (BEAM) dan Blue Bond, untuk dikembangkan bersama dengan Pemerintah Indonesia. “Inisiatif yang sangat inovatif ini akan menjadi model untuk konservasi laut dan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Ini adalah contoh dari apa yang dapat dicapai dengan bekerja secara bermitra dan dengan jelas menunjukkan efek halo – perlindungan lingkungan dan produksi ekonomi tidak perlu saling eksklusif,” kata Yannick Glemarec, Executive Director of the Green Climate Fund. Pendekatan pengelolaan Blue Halo S akan diujicobakan di Wilayah Pengelolaan Perikanan 572 yang terletak di bagian barat Sumatra. K
egiatan percontohan mencakup investasi dalam perlindungan dan rehabilitasi ekosistem karbon biru, dukungan untuk perluasan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan laut, pengelolaan perikanan berkelanjutan, dan pembangunan ekonomi biru yang inklusif. Semua hal itu diharapkan dapat berkontribusi terhadap peningkatan mitigasi, adaptasi, dan ketahanan iklim di Indonesia. “Indonesia telah lama menjadi yang terdepan dalam perlindungan laut, jadi kami senang melihat kerangka kerja BLUE HALO S diujicobakan di sini,” kata Meizani. “Model ini sangat skalabel dan dapat direplikasi. Kami optimis ke depannya model ini juga dapat diadaptasi untuk ekosistem laut di wilayah lain di dunia.” (ist)